Hari Sastra Indonesia (Nasional), Sebuah Gagasan

Menyaksikan sastrawan dari negara-negara serumpun di acara Temu Sastrawan Nusantara Melayu Raya (Numera) yang telah berlangsung dari tanggal 16 hingga 18 Maret 2012 di Padang, Sumatera Barat, membawa kita ke sebuah pemikiran konstruktif agar bagaimana bangsa Indonesia lebih memikirkan sastrawan-sastrawannya dan menghargai hasil-hasil karya dalam sebuah forum terhormat, dihadiri para petinggi negara, sebagaimana di Malaysia.

Kita akui bangsa kita serba terdepan mempelopori berbagai kegiatan, berbagai penemuan istilah dan berbagai karya besar. Hanya kita kurang menghargainya, kurang memeliharanya dan bahkan melupakannya. Sementara kalau kita jujur pada sejarah, dari tanah air yang namanya Indonesia inilah muncul sastrawan-sastrawan terkenal yang hingga negara-negara lain ikut mengagguminya.

Lihatlah misalnya novel-novel karya sastrawan bangsa, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Layar Terkembang dan Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia. Begitu pula novel-novel bangsa kita lainnya yang sudah merambah manca negara. Tidak pula bisa dilupakan hasil karya anak muda bangsa Indonesia sekarang ini, yang boleh dikatakan sebagai generasi penerus. Kita merasa bangga.

Saya sependapat tidak ada niat mereka (sastrawan-sastrawan) ini minta dihargai. Mereka bekerja di jalurnya sebagai seorang sastrawan. Sebagai seorang profesional. Tetapi bagi mereka yang telah menghasilkan karya-karya terbaik, berhasil mengharumkan nama bangsa, sebaiknya ada acara khusus dari pejabat-pejabat pemerintahan seperti di Malaysia. Semangat memang perlu dihidupkan terus menerus. Disegarkan di setiap pertemuan khusus setiap tahunnya. Disegarkan di setiap pertemuan khusus setiap tahunnya. Semangat jangan sampai padam. Ya, kalau bukan dari semangat generasi penerus muda-muda ini yang kita harapkan, dari siapa lagi?

Apalagi hanya dengan budaya kita mempersatukan bangsa-bangsa di seluruh dunia ini. Kadangkala permasalahan sebuah bangsa tidak bisa diselesaikan dengan politik. Harus ada solusi baru. Solusi itu adalah budaya. Bagaimana pun pengungkapan tesis melalui pendekatan budaya tentu jauh lebih baik dari pendekatan politik. Pendekatan budaya membuat sekat-sekat etnis, agama dan aliran-aliran politik terlampaui. Budaya memiliki kemampuan untuk menerobos struktur dan melintasi batas-batas wilayah, agama, politik, etnis dan anasir-anasir, pembentuk keberagaman lainnya. Karena budaya selalu memiliki rasa universalisme, tentang nilai-nilai kemanusiaan yang dipahami secara bersama—meskipun dalam diam-diam—oleh seluruh ummat manusia, budaya dengan akar-akarnya yang luhur. Budaya diharapkan mampu berfungsi sebagai perekat masyarakat Nusantara, memperkuat solidaritas bangsa yang serumpun.

Akan hal ini, saya ingin mengutip sebagian Pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1961 di Istana Negara:

“Sumber kekuatan kita bukan hanya kekayaan alam yang berlimpah-limpah di tanah air kita ini. Sumber kekuatan kita bukan hanya letak geografis negeri kita yang strategis di antara dua benua dan dua samudera. Sumber kekuatan kita bukan hanya ilmu teknik yang sedang kita tumbuhkan.Sumber kekuatan kita adalah di dalam semangat dan jiwa bangsa. Sumber kekuatan kita tertimbun dalam sejarah perjuangan bangsa dan semangat Proklamasi, bahkan juga dalam sejarah nasional yang kita warisi dari nenek moyang yang telah mangkat.Segala kebijaksanaan yang ditinggalkan oleh sejarah, segala tekad, segala semangat yang menjadi api-pembakar perjuangan kita yang telah lampau, ini semua harus dijadikan tulang punggung dari pada kepribadian nasional.”

Leave a Comment