Ironi di Samping UI: Matinya Hati Nurani

Jumat, 24 September  2010, 20:26

Malam ini saya terpaku menatap televisi, baru kali ini saya terpaku di depan televisi, di depan stasiun Metro TV tepatnya. Malam ini diputar film dokumenter berjudul “Sekolah Master, Sekolah Anak Jalanan”,  film ini adalah salah satu film yang menjadi finalis kompetisi Eagle Award.

Alkisah pada tahun 2000 ada seorang bapak yang berhati mulia yang mau memusingkan kepala dan hati nuraninya saat melihat banyaknya anak jalanan di kota Depok ini. Kota yang katanya kota pendidikan. Kota tempat bercokolnya universitas, yang katanya, universitas terbaik di negeri ini, Universitas yang saat disebut namanya banyak orang yang bergumam kagum, Universitas itu namanya UI.

Bapak ini pusing kepalanya dan sakit hati nuraninya waktu melihat banyaknya anak jalanan dikota pendidikan ini. Akhirnya tercurahlah semua isi kepala, perasaan dan tenaganya untuk membuat sebuah sekolah alternatif yang dia beri nama Sekolah Masjid Terminal A.K.A  Sekolah Master.

Tak terhitung banyaknya orang yang menertawakan usahanya, yang berkata bahwa usahanya sia-sia, yang berkata kalau usahanya sama seperti meminta buaya untuk menjadi vegetarian saja, untuk tidak makan daging dan makan sayuran saja. Namun pria  yang baik hati ini tidak kenal menyerah dan terus berusaha, sampai akhirnya sekarang sekolahnya sudah berdiri, mendapatkan banyak decak kagum, dan bantuan dari donatur disana sini.

Sayangnya banyak orang yang hanya melihat bagaimana sekolah Master ini sekarang, tidak banyak yang memikirkan berapa banyak waktu, tenaga, keringat, air mata dan mungkin pengorbanan lain yang tak terkirakan banyaknya yang dilakukan lelaki yang baik hati ini.

Bukan pengorbanan pria ini yang membuat saya terpaku, bukan bagaimana sekolah ini mengubah banyak pikiran dan nasib anak jalanan di terminal depok, bukan itu semua. Saya terpaku karena menurut pria baik hati ini, pemerintah Depok berencana untuk menggusur sekolah yang selama 10 tahun ini telah menjadi tumpahan pikiran, hati dan tenaganya.

Jika kalian penasaran apa alasannya? Alasannya sungguh sederhana daerah sekitar terminal Depok direncanakan untuk menjadi daerah Ekonomi, pusat kapitalisme di kota Depok, tidak selayaknyalah ada representasi kebaikan dan nurani di dekatnya, mungkin akan panas mata dan badan kapitalis yang tak punya nurani saat melihatnya, lebih baik disingkirkan saja, mungkin di pikiran para kapitalis jahat ini, sekolah ini bisa membuat orang-orang tak nafsu berbelanja, membuat orang berpikir ulang apa pentingnya punya banyak baju dan sepatu, saat tak bisa banyak membantu. Mungkin itulah pikiran kapitalis itu yang disambut hangat oleh para birokrat kota depok..

Saat menonton acara ini mau tak mau saya teringat dengan masyarakat yang tinggal di Barel dekat UI, yang sudah beberapa waktu ini dizalimi oleh petinggi UI. Betapa gundahnya hati dan kehidupan mereka saat pintu itu ditutup, saat rezeki mereka diputus.

Mungkin banyak dari kalian yang belum tahu atau lupa kenapa pintu barel ini ditutup? Alasannya adalah keselamatan mahasiswa UI, takut mahasiswa UI terlindas kereta api katanya, rupanya petinggi UI menganggap mahasiswa UI tidak cukup cerdas untuk menyebrangi rel sepanjang kurang dari 15 meteran itu, sungguh alasan yang menurut saya sangat luar biasa.

Betapa pintar pemikiran petinggi UI ini, ini sama saja seperti seseorang yang menginginkan satu high heels tapi memutuskan untuk membeli kepemilikan butik Manolo Blahnik. Sungguh tidak efisien pemikirannya.

Namun sekali lagi, bukan kepintaran petinggi UI yang membuat saya terpekur, bukan juga kenyataan kalau rezeki masyarakat barel ini yang terputus yang membuat saya terpekur. Yang membuat saya terpekur  adalah matinya hati nurani UI, hati nurani kampus rakyat ini, mungkin hati nuraninya hilang saat kampus rakyat ini mencoba untuk menjadi world class university.

Dan sedihnya lagi banyak juga mahasiswa UI yang katanya akan menjadi penerus negeri tercinta ini, acuh tak acuh dan tak peduli bahkan setuju dengan keputusan ini. Miris sekali hati ini rasanya melihat mahasiswa yang seperti ini.

Ironi di samping UI ini semakin terasa saat saya menonton iklan acara Eagle Award ini, dimana pemimpin tertinggi di UI, Prof.DR.Der.Soz. GRS, berkata kalau pendidikan dan kecerdasan harusnya bisa menjadi jalan bagi banyak orang, bahwa acara seperti Eagle Award ini harus terus dilaksanakan untuk melatih kepekaan. Saya rasa dia tidak punya satu lembar kacapun di dalam rumahnya. Atau mungkin dia menderita penyakit otak dan kepribadian yang cukup parah.

Malam ini tampaknya akan menjadi malam yang panjang bagi saya, saat saya terpekur disini menyaksikan matinya hati nurani. Menyaksikan Ironi di kota Depok, Ironi di samping UI.

8 thoughts on “Ironi di Samping UI: Matinya Hati Nurani”

  1. Saya bingung rektor menutup pintu barel dengan dalih UU lalulintas..

    Padahal ada sebagian orang hukum yang memandang larangan lintasan tidak diinterpretasikan secara rigid.

    Seorang prof hukum bahkan mengatakan pintu barel punya fungsi sosial.

    Artinya, yang orang hukum mempertimbangkan aspek2 sosiologis..

    Saya jadi meragukan benarkah rektor kita yg pintar itu prof sosiologi???

    Terkait Master, masalahnya lbh besar. Saya sendiri tidak tau banyak soal rencana penggusuran. Sudahkah ada LBH yg mendampingi? Seperti apa prosesnya sekarang??

    Reply
  2. “rupanya petinggi UI menganggap mahasiswa UI tidak cukup cerdas untuk menyebrangi rel sepanjang kurang dari 15 meteran itu, sungguh alasan yang menurut saya sangat luar biasa.”
    —> dibandingkan dengan argumentasi satir Anda, fakta dan data kecelakaan di perlintasan KA jauh lebih valid untuk menyatakan tingkat keselamatan di daerah tersebut. kenyataannya masih bnyk mahasiswa UI yg “kurang pintar” dalam menyebrang rel KA sehingga menjadi korban..

    untuk permasalahan tata kota juga saya kira tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. memang perlu diakui bahwa tidak mudah untuk bisa mempercayai dinas tata kota di kota manapun. tapi adalah hal yg menjadi keinginan kita semua jika pemerintah bisa benar2 mempunyai rencana tata ruang yg baik dan dapat diterapkan. jangan lupa bahwa bencana Situ Gintung terjadi kemarin ini karena lemahnya pelaksanaan tata ruang yang telah ada.

    Reply
  3. Udaya, sepanjang ingatan saya antara 2005-2010 tidak pernah ada mahasiswa tertabrak ataupun orang tertabrak di Barel..beberapa dosen hukum mengiyakan hal yang sama..

    Kalau memang membahayakan faktor yang membahayakan sebaiknya di eliminasi saja, butuh palang pintu? Warga sudah membuatkan..

    Faktanya, hukum tidak bisa berlaku secara rigid, kaku, keras, dan tidak memperdulikan fakta sosial. Ini salah satu wajah hukum yang harus kita akui. Tegakkan hukum walaupun langit runtuh adalah ungkapan yang sedikit sesat kalau dalam perspektif saya..karena hukum Indonesia mengatur manusia Indonesia yang berarti harus memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

    Rektor membentuk sebuah kebijakan yang dalam pandangan saya pribadi cenderung menafikan dampak sosial dengan menggunakan dalil keselamatan mahasiswa. Satu fakta saja bahwa kebijakan rektor ini tidak efektif adalah, pintu tersebut di las agar tidak ada yang menyebrang, faktanya saat ini masih banyak mahasiswa yang menyebrang, bahkan dosen..dan pada akhirnya memanjat pagar itu dengan resiko bahaya yang bertambah.

    Contoh penutupan pintu barel rekan-rekan, adalah contoh bahwa hukum tidak bisa berjalan tanpa penguatan dan utamanya, kehendak masyarakatnya. Kebijakan barel dan penggusuran itu harus dipertimbangkan lagi efektifitas dan akibatnya.

    -maaf kalau ngalor ngidul ga jelas begini..bukan argumen yg diniatkan disusun secara rapih

    Reply
  4. Udaya, saya setuju dengan pernyataan anda bahwa tata kota yang baik memang diperlukan, namun yang sekarang terjadi adalah tata kota yang buruk, hal ini tidak hanya membuat masyarakat merasa tidak nyaman dan aman, namun juga mempengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial mereka, oleh karena itu mungkin memang sudah saatnya orang-orang yang mengerti tentang tata kota ini belajar juga mengenai masalah sosial yang mungkin timbul atas apa yang mereka kerjakan.

    Reply
  5. pengen jadi yang pro kebijakan (sekali-sekali boleh la…hehe)

    pintu barel bukan satu-satunya pintu masuk UI. masih ada pintu-pintu masuk resmi lainnya. memang beberapa tahun terakhir belum memakan korban, tapi apa harus ada korban dulu baru bertindak? ini bukan masalah mahasiswa UI itu cerdas atau tidak, tapi yang namanya lalai dan lupa adalah lebih dominan pada diri manusia.

    Reply
  6. Pernah gak teman2 memperhatikan bahwa setiap pagi berangkat kuliah, selalu ada “kemacetan” di sekitar pintu barel? yup, setiap pagi itu selalu ada antrian untuk memanjat barel. Saya adalah termasuk salah satu orang yang setiap hari terpaksa memanjat barel, dan harus mengantri. Sungguh pemandangan yang sangat ironis.

    Hal tersebut mengindikasikan bahwa akses masuk UI melalui pintu barel adalah kebutuhan yang sangat penting tidak hanya oleh mahasiswa, tetapi juga oleh para dosen, pegawai UI, dan masyarakat Barel pada umumnya..

    Terkait dengan penyelesaian masalah Barel, masalahnya sudah sampai ke Komnas HAM, dan setau saya hasilnya adalah Komnas HAM merekomendasikan rektorat UI untuk mempercepat perundingan dengan masyarakat terkait dengan pintu barel, dan selama masa perundingan itu rektorat harus memelihara status quo dengan membuka pintu barel sebagai akses untuk memasuki UI..

    @nisa: Terkait dengan Master.. Sudah ada pendampingan yang dilakukan oleh paralegal dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).. Berminat untuk gabung? 🙂

    Salam, nay
    *BUKAPINTUBARELSEKARANGJUGA*

    Reply

Leave a Comment