Tampaknya Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri tidak menjumpai ganjalan yang berarti. Langkah tegapnya untuk menjadi orang nomor satu di Kepolisian RI bakalan mulus nyaris tanpa batu sandungan. Pasalnya, sebagian besar anggota Komisi III di Senayan merespons baik.
Kelak jika Komjen Danuri terpilih sebagai Kapolri, beban tugas yang dipikulnya tidak jauh beda dengan pendahulunya, Jenderal Pol Sutanto. Setumpuk pekerjaan rumah maha berat telah menantinya. Jika Kapolri era 1998-an dihadapkan pada pembenahan di masa transisi, pasca-1 April 1999, penerusnya ditantang dengan tugas penguatan citra polisi dalam konteks negara demokrasi.
Jika kita sorot balik, Jenderal Sutanto pada masa-masa awal kepemimpinannya amat peduli pada masalah, seperti perjudian, peredaran narkotika, dan sebagainya. Publik pun bertanya, apa pula yang bakal menjadi concern Komjen Danuri pada hari-hari pertama ia menjabat Kapolri jika terpilih?
Apa pun itu, yang jelas pijakan beliau, yakni UU No 2/2002. Harapannya ialah bagaimana seorang Bambang Hendarso Danuri mampu menjadi leader dan manager yang baik serta menjadi panutan jajaran/bawahannya. Beliau harus kian memperlihatkan citra kepolisian yang semakin profesional di tengah masyarakat (termasuk profesional dalam hal penciptaan public order/kamtibmas dan penegakan hukum). Juga semakin melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat.
Selain itu, jika terpilih, Komjen Danuri juga bakal ditantang dengan berbagai persoalan, seperti netralitas pada Pemilu 2009, kasus Munir, mengupayakan agar angka kejahatan relatif rendah dengan strategi yang jitu, penguatan community policing (pemolisian masyarakat), terorisme, pencegahan potensi konflik di berbagai daerah, kasus salah tangkap oleh aparat, citra oknum aparat di lapangan (terkait kesejahteraan aparat), serta masalah rekrutmen di Akpol dan Bintara. Kesemuanya itu pada esensinya bertujuan untuk menciptakan rasa aman kepada masyarakat demi menopang kesejahteraan sosial.
Penempatan para kapolda yang kompeten dan mampu menerjemahkan kebijakan sang kapolri di 33 provinsi seluruh Indonesia (dan penguatan koordinasi dengan mereka) juga penting karena merekalah (bersama kapoltabes, kapolres, kapolsek, dan jajarannya ke bawah) yang menjadi ujung tombak dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Dalam matra pertahanan, TNI dalam kebijakan serta pertanggungjawabannya secara politik berada di bawah Dephan. Nah, mumpung waktunya pas, maka dalam dimensi keamanan wacana menempatkan Polri di bawah suatu institusi/kementrian sipil layak dibentangkan kembali. Apakah Polri berada di bawah Depkum & HAM (mengingat kepolisian merupakan pintu gerbang sistem peradilan pidana sebelum kejaksaan, kehakiman, dan LP), di bawah Depdagri, atau justru di bawah suatu Kementerian keamanan? Dalam mendukung security sector reform di Indonesia, Kapolri yang baru harus kian menguatkan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi, institut/lembaga kajian, serta LSM/civil society.
Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Undip Prof Satjipto Rahardjo berpendapat, “Salah satu tantangan perubahan dalam diri polisi Indonesia adalah bagaimana ia bertindak sebagaimana ‘orang sipil’ dan bagaimana memperlakukan masyarakat sebagai ‘orang sipil’.”
Lebih jauh, pakar kepolisian itu mengatakan, “Sebagai ‘polisi sipil’, tentu saja polisi Indonesia diharapkan menempatkan diri secara proporsional, kapan ia harus bertindak sebagai a strong hand of society, dan kapan harus bertindak dengan karakter a soft hand of society.”
Pada akhirnya, bagaimana dan seberapa besarkah komitmen seorang Bambang Hendarso Danuri untuk mampu memimpin Polri rentang beberapa tahun mendatang dengan segala tugas beratnya? Hal itu niscaya akan sangat tergambar dari track record, persepsi, kepercayaan, serta integritas yang selama ini telah beliau bangun.
Senin (22/9) lalu, tatkala tes kelayakan digelar di Senayan, setidaknya gambaran itu akan semakin tampak. Kita lihat saja, Anda tentu bisa, Jenderal!
(Dari Iwan Sulistyo, dimuat dalam Opini Pembaca, Media Indonesia, Jumat 26 September 2008).