Kebijakan Penggunaan Kondom: Sudah Tepatkah?

Kampanye penggunaan kondom adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia untuk menanggulangi merebaknya HIV-AIDS. Hal ini disampaikan oleh Nafisah Mboi, Menteri Kesehatan Republik Indoenesia, saat jumpa pers di gedung kementrian kesehatan, Kamis (12/06/2012), di Jakarta. Pendapat tersebut menuai kritik pedas dari segenap elemen masyarakat.

Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan tahun 2009, secara kumulatif jumlah penderita HIV-AIDS sejak 1978 adalah sebanyak 18.442 kasus, sedangkan menurut globalhealthfacts.org tahun 2009 sebanyak 310.000 jiwa.

Menteri kesehatan menerapkan kebijakan kampanye kondom sebagai solusi atas kondisi ini. “Seluruh jajaran kami siap untuk mengampanyekan penggunaan kondom pada kelompok seks berisiko,” ujarnya, saat jumpa pers di Gedung Kementerian Kesehatan, Kamis, (14/6/2012), di Jakarta.

Namun, hal ini menimbulkan penolakan dari berbagai kalangan. Salah satunya yang disampaikan oleh anggota DPR komisi IX, Herlini Amran, “Kami sangat menyesalkan statement ibu Menkes yang mengatakan akan menggalakkan penggunaan kondom untuk kelompok seks berisiko, termasuk kepada remaja. Justru, dengan itu, pemerintah melegalkan seks bebas dengan alasan mensosialisasikan penggunaan kondom,”

Menurut Menteri Kesehatan, kampanye ini menjadi penting, mengingat masih banyak kasus kehamilan yang tidak direncanakan terjadi pada anak-anak remaja. Terlebih lagi berdasarkan data BKKBN, ada sekitar 2,3 juta wanita dewasa muda yang melakukan aborsi karena melakukan hubungan seks di luar nikah. “Oleh karena itu, ada kampanye yang menyasar generasi muda 15-24 tahun.” ujar Nafisah Mboi beberapa waktu lalu.

Sekilas, strategi ini dapat digunakan untuk menekan penyebaran HIV-AIDS yang terus meluas. Namun, efektivitas kebijakan ini terhadap permasalahan HIV-AIDS masih perlu dikritisi. Pertama, harus ada data mengenai penggunaan kondom di kelompok berisiko, pekerja seks komersil misalnya, apakah sebenarnya sudah pernah dicoba dan bagaimana hasilnya. Jika kondom sudah digunakan oleh pekerja seks komersil sebelumnya dan sampai sekarang belum ada perubahan yang berarti, itu tanda bahwa hal ini tidak efektif dilakukan. Kedua, perlu diketahui secara klinis berapa besar kemampuan kondom untuk mencegah penularan penyakit seksual. Perlu ada bukti mengenai seberapa besar kondom dapat melindungi penggunanya atau orang lain dari penyakit seksual.

Hal lain yang perlu dicermati adalah jalur penularan HIV-AIDS bukan hanya dari hubungan seksual. Selain melalui hubungan seksual, HIV-AIDS dapat menular melalui transfusi darah, pisau cukur, dan penggunaan jarum suntik bergantian. Berdasarkan hasil survey BNN bekerjasama dengan Puslitkes UI, ada sekitar 2,21 persen atau 3,8 juta orang pengguna obat-obatan terlarang yang dapat menularkan HIV-AIDS ke orang lain melalui pemakaian jarum suntik bergantian. Pertanyaannya adalah sudahkah penyebaran HIV-AIDS melalui kelompok pengguna obat-obatan terlarang diminimalisir. Jika perlu dilakukan minimalisir haruskah kita memberikan jarum-jarum suntikan sekali pakai kepada mereka agar suntikan tidak digunakan bergantian?

Di sisi lain, kebijakan pemberian “pengaman” menjadi cermin kebobrokan moral yang terjadi di Indonesia. Pemberian pengaman berupa kondom dapat dianggap sebagai tembok terakhir untuk menanggulangi penyebaran HIV-AIDS. Dengan kata lain, tembok-tembok di depannya sudah tidak efektif lagi di Indonesia. Penyuluhan, edukasi, dan sebagainya sudah tidak lagi dapat menghalangi masyarakat untuk melakukan hubungan seksual secara bebas.

Kemungkinan lain yang dapat terjadi dan menjadi ketakutan sebagian besar masyarakat yang menentang adalah pergeseran budaya. Kebijakan kesehatan yang tujuannya untuk mencegah penularan HIV-AIDS justru semakin membuka pintu pergaulan bebas dan memungkinkan semakin merebaknya penyakit meluar seksual lain yang tidak dapat ditanggulangi dengan kondom.

Bahkan sebenarnya kebijakan ini tidak sesuai dengan undang-undang. Berdasarkan undang-undang kontrasepsi hanya boleh diberikan pada seseorang yang telah menikah. Jika kebijakan ini hendak diberlakukan artinya perlu dilakukan perubahan pada undang-undang tersebut.

HIV-AIDS merupakan penyakit yang berbahaya dan perlu dilakukan penghentian penyebaran secara intensif. Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembuatan kebijakan perlu memperhatikan segala aspek, termasuk aspek budaya dan dampak sosial. Walaupun kebijakan ini dapat berpengaruh efektif di negara lain, kebijakan tersebut belum tentu memberi perubahan secara signifikan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada penimbangan dari sisi keilmuan, penelitian berbasis komunitas, dan penjelasan yang adekuat kepada masyarakat mengenai hal ini. Kebijakan pemberian kondom kepada kelompok berisiko tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia tanpa melalui persetujuan dari masyarakat seutuhnya.

 

Sumber:http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/4208

3 thoughts on “Kebijakan Penggunaan Kondom: Sudah Tepatkah?”

  1. tepat. karena ditujukan pada kelompok seks beresiko. masalah moral, silahkan lakukan tindakan-tindakan preventif lain sehingga orang “suci” ga masuk ke kelompok seks beresiko. dengan ditemukannya obat ga berarti orang jadi berani sakit toh. jadi ga benar lah klo dibilang kampanye ini malah mendorong orang untuk seks bebas.

    Reply
    • setuju bangat ma Udaya. Terlalu jauh gw pikir apabila kita langsung menyimpulkan kampanye penggunaan kondom sama dengan menyuruh generasi muda untuk melakukan seks bebas. Ibarat kampanye pemilu mereka (tim kampanye) bisa ngomong apa aja supaya kita memilih mereka tapi pilihan kan kita yang nentuin sendiri sesuai hati kita masing-masing. Demikian juga kampanye penggunaan kondom ini, pilihan tetap kita yang nentuin, Menkes hanya mencoba mengurangi resikonya. Ibarat sudah jatuh, janganlah sampai tertimpa tangga pula

      Reply
  2. oke mas yang komen diatas, ini adalah jawaban saya 1 tahun setelah apa yang mas berdua bayangkan.

    Apa yang dikatakan hanya untuk kelompok berisiko. Saya setuju jika kondom ini dibagikan untuk kelompok yang tidak bisa lepas dari free seks, misalnya PSK *maaf*. Tapi, tahun ini kondom itu dibagi-bagikan ke universitas-universitas dan tempat nongkrong anak muda biasa. Bahkan ada bus yang mengelilingi jakarta untuk membagi-bagikan kondom.

    Saya setuju kondom bisa dijadikan upaya preventif tapi tidak ke kelompok yang sebenarnya masih bisa dicegah dengan seloga bersama “no free sex” dan “setia pada satu pasangan”.

    Jika pakai logika berpikir kampanye, memang benar yang menentukan pilihan untuk mencoblos saat pemilu adalah kita, tapi masifnya kampanye menentukan pilihan kita. Itu sebabnya kan, ramai2 calon presiden kampanye, dari kampanye yang masif akan mempengaruhi mindset berpikir seseorang.

    Saya seorang dokter nantinya dan saya seorang ibu nantinya. Saya tidak mau generasi berikutnya dibentuk dengan mindset, freesex itu sah asal sehat.

    Reply

Leave a Comment