Aku duduk termenung di kursi stasiun kereta api. Menunggu rentetan kuda besi yang akan mengantarku ke kota Depok. Kupegang amplop coklat berlabel nama dan NPM ku erat. Tak akan kulepaskan, inilah hal yang aku nanti dan perjuangkan 2 tahun belakangan ini.
Pekikan klakson kepala kereta tedengar begitu parau, seperti enggan membawa tubuh dan ekor-ekornya yang berat. Berbeda denganku yang berteriak setengah riang dan manja begitu melihat kereta bercat silver itu. Lagi-lagi tak mampu aku menyembunyikan ekspresi bahagiaku, sehingga aku menjadi pusat perhatian dengan sekejap oleh teriakanku barusan. Namun pandangan aneh orang-orang justru semakin ingin membuatku “bertingkah” agar mereka menanyakan ada apa, lalu aku jawab “Aku diterima di Universitas Indonesia!”
Dengan Basmallah, aku memasuki gerbong kedua kereta, mataku bak hyena kelaparan mencari kursi kosong. Tentunya untuk melengkapi kebahagianku hari ini. Senyumku merekah begitu melihat dan menduduki tempat duduk nyaman yang empuk dan berbusa. “untung sepi, gak ada orang tua atau ibu hamil yang butuh tempat duduk” kataku untuk mempernyaman posisi duduk. Kereta berjalan tak lama setelah itu, dan sekali lagi,dia memekik parau.
Kereta berjalan begitu cepat, kalau begitu, bukan berjalan namanya, namun berlari, bahkan lebih dari itu. Namun mengapa kita tetap menyebut kereta berjalan? Yasudahlah, mungkin memang aku yang terlalu aneh. Majunya kereta justru membuat pikiranku terbang ke belakang. Membiusku dalam sensasi memori fana. Terasa sekali efek sihir waktu yag luar biasa, yang membuat bayi menjadi dewasa, yang membuat si muda menjadi si tua, yang membuat hidup menjadi mati, juga yang membuat fluktuasi tajam dalam bagan hidupku.
Masih kuingat jelas bagaimana jahatnya tawa orang-orang saat itu, waktu kubilang “nedi pengen kuliah”. Lalu tawa mereka semakin bengis saat kubilang “di UI”. Apanya yang lucu dari sepotong harapan? Haruskan melodi tawa jahat itu merusak ritme dalam nyanyian cita-citaku? Horor sebenarnya dimulai saat ada yang bilang “liat dong, orang tua lo gembel, rumah aja gak punya, masih nekat mau kuliah? Di UI pula” perih sekali rasanya saat cita-citaku ditertawakan, namun aku tak bisa diam mendengar orang tua ku di Hina. Kuhadiahkan dia sebuah bogem mentah tepat diwajahnya, dan hal itu membuat aku dibencinya sampai sekarang.
Bergetar, aku bergetar, bukan karena sedang di dalam kereta, namun karena aku kembali terbawa angin waktu. Kuingat saat itu, 2 tahun yang lalu, saat aku masih seorang guru bahasa inggris. “Mak, pak, nedi mau kuliah” kataku to the point saat ibu dan ayahku sedang makan. Tidak perlu berlama-lama sampai berhari-hari, berjam-jam, namun jawabannya kudapatkan murni dalam hitungan reflek. “Nggak!” kata ibuku cuek sambil tetap makan. Seperti bisa membaca pikiranku yang bertanya-tanya mengapa, ibuku langsung melanjutkan “kuliah dapet duit dari mana? Buat makan aja susah. Ijazah kamu aja belom ditebus, adik-adikmu masih sekolah, ga mungkin kamu bisa kuliah”. “di UI mak, murah kok, bisa bayar dengan sistem sesuai pendapatan, jadi bisa kuliah murah” kataku berusaha membujuk. “biar bapak gak sekolah, bapak tau UI, itu kampus orang-orang kaya, ga mungkin kamu bisa kuliah disitu” kata ayahku yang kontra dengan kemauanku. Aku terdiam. “belum lagi kalau kamu kuliah siapa yang biayain adik-adik kamu sekolah? Siapa yang bayar kontrakan? Siapa yang bayar listrik? Kan selama ini kamu yang bayar” susul Ibuku yang kupanggil emak. Pahit, namun itu benar. Itulah pertama kali air mataku jatuh karena aku merasa begitu jauh dari impianku.saat itu aku merasa seperti menjadi seonggok arang yang berharap menjadi lampu neon. Seperti pengemis yang ingin menjadi raja.
Aku tidak tau hal apa yang merasukiku, namun perasaan jauh itu justru semakin membuatku semakin menyala-nyala penuh semangat. Setiap hari kubujuk kedua orang tuaku dengan argumen-argumen baru, walaupun seringnya berakhir pada keributan diantara kami. Pernah dalam suatu keributan, aku sampai diusir dari rumah. Lalu, bagaimana caraku mendapatkan restu orang tua? Aku diam-diam belajar dan ikut tes SNMPTN, lalu berhasil, kemudian baru memberitahukannya pada orang tuaku. Sehingga mereka sama sekali tak punya pilihan. Jahat ya?. Taukah kalian kawan? Biarpun aku begitu keras kepala mendapatkan restu dari orang tuaku, di sisi lain aku merasa begitu bersalah. Aku merasa aku begitu kejam kepada keluargaku, karena bagaimanapun aku adalah tulang punggung keluarga apa jadinya bila sebuah tubuh kehilangan tulang punggung? Seakan berperang, perasaan bersalah dan logika mengejar impian kerap beradu, gesekannya begitu besar sehingga sejak saat itu, aku sering sekali menangis dalam kebingungan.
“Manggarai” kataku pelan tanpa alasan seraya mengusap bulir air mataku yang bercucuran sejak tadi. Bagaimana tidak? Aku merasa begitu terharu, apa yang kuperjuaangkan selama 2 tahun berbuah hasil yang begitu manis. Betapa banyaknya air mata yang keluar dari mataku karena perang batin terbalas dengan perasaan meluap-luap penuh sukacita. “aku Mahasiswa UI” bisikku ke diri sendiri.
Berbicara soal Mahasiswa, aku jadi teringat saat aku masih menjadi siswa di salah satu SMK Negeri di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur. Aku jadi senyum-senyum sendiri, karena ternyata perjuanganku sudah dimulai disini. Percaya atau tidak, aku sama sekali tidak pernah membayar apapun ke sekolahku selain uang transport dan buku. Bukan karena tidak mau bayar, namun aku dan orang tuaku dapat digolongkan tidak mampu. Untungnya, aku sering dapat santunan dan beasiswa sehingga utangku tidak terlalu banyak. Aku ingat sekali, saat ujian tengah semester atau ujian semester, ibuku pasti dipanggil ke ruang Bendahara sekolah agar aku bisa ikut ujian. Setelah itu, di rumah ibuku pasti menangis, tapi ia tak memberitahuku apa-apa selain “emang kita yang salah, gapapa”. Akhirnya pertanyaanku terjawab saat hendak “meminjam” Ijazahku untuk keperluan daftar ulang di UI. Tahukah kawan? Bahkan aku harus menandatangani surat pernjanjian bermaterai untuk “meminjam”ijazah milikku, ironi bukan? Itupun setelah beberapa proses panjang dan sedikit pembicaraan bernada menyudutkan aku dan ibuku. Setelah kudapatkan ijazahku, seorang guru bertanya padaku “Mau kuliah dimana?”. Lalu kujawab “di UI bu”. “emang punya duit buat kuliah? Disini aja nunggak melulu”katanya ketus. Saat itu ibuku menggenggam tanganku erat, aku mengerti, ia bermaksut menyuruhku bersabar. Setelah pergi dari ruangan itu, Ibuku menangis. Baru saat itu terjawab mengapa ibuku kerap menangis setelah pulang dari sekolah. Dan kuarasa, ini bukan akhir dari tangisan ibuku, karena Adikku masih bersekolah di sekolah yang sama denganku, dengan total hutang hampir 5 juta rupiah. Sabar ya mak, tunggu anakmu jadi sarjana dan membuatmu hidup tenang di sisa hidupmu.
Oh iya, diterima di UI bukan berarti perjuangan aku berhenti kawan. Justru semakin ekstrim. Hal itu adalah, hal di UI yang tak ada di Universitas lain, yang membuatku jatuh cinta pada UI, yang membuatku terus berjuang selama 2 tahun ini, itu adalah BOPB, sistem pembayaran sesuai kemampuan penanggung biaya pendidikan. Aku dan orang tuaku tentu berusaha keras untuk melengkapinya. Hanya butuh waktu 3 hari, berkas-berkas lengkap. Aku berdebar-debar sambil menunggu pengumuman BOPB, begitu harinya tiba, aku langsung membuka akun UI ku. Ada tulisan dengan kotak Hijau “Berkas BOPB anda sudah diterima” dan aku senang sekali. Saat itu aku mengajukan BOPB senilai 300 ribu dan UP senilai 200 ribu. Aku shock total saat melihat angka yang meledak sampai di angka 6 juta rupiah. Saat aku bilang ke orang tuaku, mereka malah menuduhku “katanya murah! Bohong!”. Aku pun tak mengerti mengapa bisa begitu. Itulah pertama kalinya ada setan jahat yang berbisik “udah, ga mungkin bisa kuliah di UI”. Sialnya, aku menuruti bisikan jahat itu, aku menyerah. Ini tidak mungkin. 500 ribu pun angka yang tinggi buat aku dan keluargaku. Namun seperti sebelumnya, logika dan perasaanku beradu. Perasaanku bilang “udah, gak usah, ga mungkin” namun Logika ku bilang “udah sejauh ini nyerah? Buat apa perjuangan 2 tahun ini?”. Karena kata “perjuangan” tadi, aku kembali berjuang. Saat itu, aku mengingat-ingat perjuanganku, banyak yang sudah kulakukan untuk sampai disini. Dan menyerah akan membuatnya sia-sia. Lalu mengapa aku ingin berhenti berjuang setelah mengetahui apa yang kulakukan akan sia-sia? Saat itu aku semakin terbakar semangat. Aku giat bertanya-tanya dan mencari info, sampai akhirnya berhasil mendapat potongan dengan total 4,1 juta rupiah. 4 juta pun masih hal yang mustahil buat kami. Namun karena adanya pilihan cicil sampai dengan 5 kali. Aku menolak untuk menyerah. Bisikin menyerah itu datang lagi saat aku membaca cicilan pertama bernilai 2 juta rupiah. Fantastis. Ittu angka yang mustahil kudapatkan dalam jangka waktu sebulan. Saat itu aku sedang mengikuti rangkaian acara kamaba. Harusnya aku senang dan antusias mengikuti acara nya. Namun aku dihantui status Drop out karena sampai saat itu, aku belum membayar sepeserpun. Sampai akhirnya ada senior yang membantuku dengan cara mengantarku ke Pusat pelayanan Mahasiswa, lalu “menukar” urutan cicilannya. Jika awalnya besar lalu kecil, sekarang dari kecil, sampai akhirnya besar. Aku pikir, setelah beberapa lama kuliah, aku akan mendapatkan bantuan atau info-info beasiswa.
Tak terasa, kereta sudah melewati fly over UI, sudah hampir tiba di kampus impianku. Air mataku semakin membludak dan aku agak kerepotan membersihkannya. Untungnya ibuku selalu membawakanku saputangan ketika aku pilek seperti saat itu. Saat turun dari kereta dan keluar dari stasiun, aku kembali menangis. Aku negitu terharu, bahkan Mimpi dapat dijadikan kenyataan bila kita bersungguh-sungguh. Kawan, aku mohon padamu, setinggi apapun kau gantungkan mimpimu, sebesar apapun kau membuat mimpimu, pasti kamu bisa menjadikannya nyata selama kamu berjuang. Kau tahu mengapa darahmu bewarna merah? Itu karena darah diciptakan untuk mengaliri setiap tubuih dengan semangat. Merah melambangkan semangat, seperti Bendera kita, Indonesia.
Kulihat spanduk besar bertuliskan “Selamat datang Mahasiswa baru UI”. Lalu tanpa ragu aku berteriak keras sambil menunjuk spanduk itu “Aku Muhammad Junaedi! Dan UI, selamat datang di Hidupku yang selalu menarik dan penuh warna!”
semoga menginpirasi ^^
=)
=)