Kita, Lelaki, dan Perempuan

Kita dan mungkin juga Anda setidaknya pernah mendengar sebuah pemeo, perempuan kerjaannya didapur sajalah atau Anda juga mendengar perempuan bisanya apa sih, kalau tidak masak atau pun ngurus anak.

Ya, pemeo ini telah begitu berkembang dimasyarakat, apalagi di masyarakat paternalistik seperti Indonesia. Dari ujung Sumatra sampai ujung Papua, perempuan ‘masih’ dianggap sebelah mata. Mungkin yang tidak terlalu ektrim pada masyarakat Minang dimana perempuan sejak dahulu dapat menduduki jabatan kultural politik sebagi salah satu pemangku adat.

Itu baru satu, bagaimana dengan Jawa? Justru ia berbanding terbalik, adat Jawa selalu saja memposisikan perempuan sebagai suatu minor, mengurus dapur, ranjang, anak, dan pemeo sejenis lainnya. Dan tentu saja, ini pemeo ini berkembang dan terus berkembang sehingga menentukan posisi kewarganegaraan.

Konsepsi ini muncul ketika perempuan dihadapkan pada posisi pada ruang privat dan publik. Saya mengambil teoritisi Marshall yang dianggap sebagai teori-teori politik arus utama (mainstream). Gagasan utamanya adalah teori dan praktek kewarganegaraan (ruang publik) selalu mendefinsikan perempuan sebagai warga kelas dua, yang pasif dan tidak terlibat serta sering tidak diperhitungkan dalam keputusan-keputusan ataupun kegiatan yang menentukan masyarakat umum, keluarga, dan diri mereka sendiri. Buktinya? Mudah saja, Indonesia saja baru menerapkan jaminan terhadap perempuan yang menduduki kursi parlemen sejak 2009. Ini tataran makro, bagaimana tataran mikro?

Semenjak Kartini berhasil memperjuangkan hak-hak perempuan, barulah diskurus mengenai posisi perempuan dalam ruang privat maupun publik mulai ramai. Siapa yang dapat membantu mempertinggi derajat manusia dan perabadan?

Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang menjawab demikian, “Peradaban dapat dibangun dengan kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi, dan perempuanlah yang lebih banyak berusaha memajukan kecerdasan budi dan membantuk mempertinggi peradaban. Pada haribaan si ibu itulah manusia mendapat didikan yang pertama dan dari itulah watak terbentuk. Dalam konteks makro secara tidak langsung bahwa pentingnya peran perempuan dalam memajukan pendidikan baik mikro dan makro.

Contoh lainnya, Ibu saya adalah orang yang luar biasa, saya dapat sejajarkan ia dengan Kartini jika saya mau. Ibu selain mengurus anak-anaknya di rumah, Ia juga bekerja untuk mencari nafkah keluarga, terlebih ketika sang ayah sudah tidak bekerja. Dapat dikatakan Ibu menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Dalam konteks lebih luas, secara tidak langsung dapat menaikkan derajat ekonomi keluarga. Pendidikan pun juga menjadi santapan, pernah suatu ketika SD, Ibu memarahi saya agar dapat menyelesaikan soal matematika sehingga saya dapat mengerti dan mengerjakan soal dengan lancar. Peristiwa inilah yang selalu menjadi kenangan dan semenjak ini saya menjadi bersemangat untuk belajar.

Belum lagi masalah kenegaraan, peran Ibu negara tidak dapat dinafikan. Obama memimpin negara sebesar Amerika dengan begitu handal akibat dari diskusi tak lain dengan istrinya, Michelle Obama. Jadi, dari dua contoh diatas, dapat membalikkan sebuah pemeo mengenai ekslusivitas negatif perempuan menjadi “Dibalik lelaki hebat terdapat perempuan yang hebat pula.”

-Anarkie…

2 thoughts on “Kita, Lelaki, dan Perempuan”

Leave a Comment