Luruh Bahasa Indonesia di Kampus Kita

Beberapa waktu yang lalu, saya dengan seorang teman saya sedang asik berdiskusi tentang bahasa negara kita, bahasa Indonesia. Lalu ia pun memunculkan sebuah wacana tentang penggunaan bahasa Indonesia yang sudah mulai luruh di kampus. Ia bercerita, ketika kemarin ia lewat di halte bis kuning FIB, sebuah pemandangan menarik menyinggung matanya:

Jadual
Sungguh, saya sungguh miris melihatnya. Satu lagi:

Senen

Kampus kita dinamakan Universitas Indonesia bukan karena ia tanpa makna. Kampus kita adalah satu-satunya kampus yang menyandang nama bangsa. Sesuai dengan semangat 28 Oktober 1928, bahasa kita adalah satu, bahasa Indonesia. Namun ketika kampus terbaik di negara ini sudah tidak lagi memperhatikan kebakuan bahasanya, apa jadinya bangsa ini?

Bahasa adalah bagai bandara budaya, ia adalah pintu masuk kepada suatu budaya tertentu. Halte bis kuning FIB UI (dan dari inspeksi selanjutnya, halte-halte fakultas lain) adalah fasilitas yang diberikan sebuah institusi pendidikan formal yang seharusnya menggunakan bahasa formal.

Namun di sini terjadi sebuah hal yang menarik: kata jadwal pun ditulis jadual; kata Jumat ditulis Jum’at dan yang paling miris, Senin ditulis Senen. Padahal dulu mungkin hal-hal kecil seperti ini yang dimasukkan dan menjadi soal penjebak di seleksi masuk Universitas, dan mereka salah menuliskannya.

Alangkah malangnya kata-kata itu ketika mereka ditulis dengan tidak mestinya. Mungkin mereka juga bingung, karena di Kamus Besar Bahasa Indonesia mereka tidak memiliki makna.

Hal-hal yang saya tulis di sini mungkin hanyalah contoh-contoh kecil yang bisa Anda bilang tak bermakna besar bagi Universitas. Tapi ini mencerminkan sesuatu: ketika bahasa Indonesia perlahan mulai tertinggal, sedikit demi sedikit, bahkan oleh institusi pendidikan terbaiknya sendiri, maka kita akan perlahan-lahan kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia. Tak sulit untuk melihat ini dari kacamata positif sebagai sebuah jalan menuju perbaikan. Perbaikan bahasa, seperti perbaikan-perbaikan lainnya, seharusnya dimulai dari diri kita sendiri.

Salam,

Arkan La Sida

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univ. Indonesia 2010

 

27 thoughts on “Luruh Bahasa Indonesia di Kampus Kita”

  1. wah, ini kan papan jadwal yg ada di tiap halte ya. berarti di semua halte salah dong ya?

    ya ampun, waktu pihak rektorat bikin ini, nggak ada editornya yak?

    Reply
    • Saya rasa sih iya, soalnya di halte FISIP dan Psiko juga seingat saya salah. Besok saya coba lihat lagi sembari lewat dua halte itu… 🙂

      Reply
    • Yang lebih peka sih sebenarnya Clara, teman saya yang ada di tulisan ini juga. Saya cuma menulis dari wacana kemarin… Hehehe. 🙂

      Reply
  2. Wah, artikel yang menarik sekali, bahkan saya tidak memperhatikan se detail itu,,,
    cuma mau meng “kroscek” masalah kata nih, setahu saya kata yang baku benar yang ditulis diatas yaitu “jadual”, bukan “jadwal”, sama halnya dengan kata yang baku “kualitas” bukan “kwalitas”

    kalo tulisan hari benar banget, keduanya salah, yang bener itu senin dan jumat,,, bukan senen dan jum’at

    Reply
  3. Setahu saya sih, emang jadual benar kata bakunya. Inget banget, pelajaran SD nehh *haha.
    Namun bahasa Indonesia sama halnya dengan bahasa lain, yang mengalami perkembangan dan perubahan, bisa saja kata ‘jadwal’ mengalami pembakuan..

    Reply
  4. Di mipa juga salah kok. kayaknya emang di tiap halte gitu deh tulisannya. waktu nunggu bikun,sempet ngeh juga,tapi nggak kepikiran buat ambil foto,hehe.
    Salut buat yang nge-fotoin dan nulis. 😀

    Reply
    • Ohya, kalau tidak salah,penulisan kata Jum’at pun tidak menggunakan petik tunggal. Jadi, seharusnya ditulis Jumat.

      Reply
  5. Mantap! *sudah jarang naik bikun. Jadi sudah tidak aware dengan itu. Anyway, saya juga bingung kalau mau ngaduin kayak gitu ke pihak rektorat itu kemana yak? ❓

    Reply
  6. waaahh udah lama gak buka anakui.com (maklum lah derita mahasiswa tingkat akhir, hahahha) setelah di SMS kak Ilman baru inget lagi hehehe..
    *basa basi nya cukup

    iya nih perlu banyak instrospeksi diri.. kadang yaa kadang (bahkan keseringan) apa yang kita pelajri di bangku kuliah TAPI gak diterapin di lingkungan.

    Misal belajar ttg Bhs.Indonesia dgn baik dan benar, tapi ternyata penulisannya masih ada ajah yg salah (pdhl itu kan di public facility made by UI lagi kan?)
    itu cuma contoh kecil kok yg kebetulan nemunya di FIB.

    gw di FKM ajah juga gt, belajar ttg safety tiap hari tapi kampus sendiri gak begitu concern ama yg namanya safety (bahkan dosennya pun seakan gak peduli) hehehhe….

    Reply
  7. Pada hakikatnya, bahasa adalah sarana komunikasi–baik lisan maupun tulisan–yang memiliki nilai-nilai sosial tinggi dalam masyarakatnya. Beberapa hari yang lalu saya pun menemui ‘kesalahan’ ini di halte depan FIK/PKM. Ya, kesalahan ini memang masif alias salah secara keseluruhan di tiap halte. Postingan ini merupakan kritik yang dapat meningkatkan kualitas bahasa kita, baik rektorat, penulis, maupun orang-orang yang membaca postingan ini.

    Bahasa adalah sesuatu yang dinamis. Dalam suatu kurun waktu, bisa saja penulisan dan/atau maknanya mengalami perubahan. Dahulu mungkin maknanya berupa “A”, tetapi bisa saja hari ini sudah berubah menjadi “B”, atau “AB”. Perubahan itu terjadi atas beberapa alasan, peminjaman kata, temu-budaya, dan beberapa aspek lain. Inilah yang membuat bahasa menjadi sesuatu yang aktual di masyarakat.

    Dalam isu ini, memang ada kesalahan yang dibuat oleh pencetak jadwal itu. Saya sangat mengapresiasi teman-teman yang ‘gatal’ dalam menyikapi hal-hal seperti ini. Mereka [mungkin] tidak memakai jasa editor untuk menyunting bahasa yang digunakan dalam informasi di tiap-tiap halte itu. Tetapi perlu diingatkan bahwa kesalahan-kesalahan itu jangan langsung dianggap sebagai sesuatu yang membuat kita “kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia”. Karena tidak semua perubahan bahasa seperti di atas adalah sesuatu yang buruk. Maksud saya, jangan tiba-tiba menyalahkan institusinya. Plis, Anda telah melanggar maksim relevansi [CMIIW].

    Apa yang ingin saya sampaikan adalah, perkembangan bahasa seperti di atas merupakan sesuatu yang sulit untuk dibahas dalam lingkup diskusi seperti ini [hanya akan sampai pada kulit luarnya saja]. Juga, karena kita sama-sama masih baru, masih belajar, maka apa yang kita utarakan akan sangat bermakna bagi kita semua [karena inilah proses pembelajaran]. Jangan sampai konteks diskusi yang keren ini [sekali lagi, saya salut dengan penulis postingan ini] mbleber kemana-mana.

    Semoga kita semakin sadar bahwa bahasa adalah sesuatu yang teramat penting dalam suatu sistem pendidikan. Semoga para pemimpin bangsa kita paham dan menyadarinya. Amiin.

    Reply
  8. Sekedar informasi, sebelum “jadwal”, dahulu penulisannya memang “jadual”. Entah karena pengecualian atau apa [berbeda dengan aturan “kualitas”], inilah yang ditetapkan di dalam EYD kita.

    Selain itu, “Jumat” ditetapkan sah dalam EYD karena hal ini mempermudah kita dalam berbahasa. Sebelumnya memang telah dipakai “Jum’at”, yang asalnya dipinjam dari bahasa Arab.

    Ya, kesemuanya ini adalah kebijakan politik dari pemerintah kita agar masyarakat bahasa Indonesia–kita–dapat berkata-kata dengan baik dan benar, serta mudah.

    Semoga membantu.

    Reply
  9. Saya kira ini bisa menjadi topik riset yang menarik, terutama bagi mahasiswa Sastra/FIB.
    Senin/Senen (dari Ithnan), Jumat/Jum’at (Jamaa, Juma, dst) dan Jadwal/Jadual semuanya adalah kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diambil dari kata-kata dalam bahasa Arab, seperti halnya kata-kata dalam bahasa Indonesia lainnya (istirahat, wilayah, selasa, rabu, kamis, sabtu, mati, wafat dst). Pelafalannya lalu disesuaikan dengan pelafalan setempat. Saya kira rekan-rekan yang ahli dalam
    historical linguistic dapat menjelaskan lebih lanjut.
    Lily-FT-0486057038

    Reply
  10. menurut saya, bukan hanya soal lingkungan adanya kesalahan tulisan tersebut yang kebetulan ada di lingkungan UI.. tapi juga masalah siapa yang membuat ‘cetakan’nya.. beliau-nya paham atau tidak mengenai bahasa baku dll?
    oleh karena itu,pentingnya berbahasa yang baik dan benar bukan hanya di kalangan akademisi tapi juga masyarakat secara umum yang berpartisipasi aktif dalam bidang cetak-mencetak.. :p

    Reply

Leave a Comment