Mahasiswa UI yang Apatis, Siapa Peduli?

Memasuki bulan Oktober-November, kondisi perpolitikan di kampus UI biasanya semakin memanas. Apa sebabnya? Pemilihan raya tingkat fakultas dan universitas akan segera berlangsung di bulan November-Desember. Suksesi kepemimpinan lembaga yang resmi sebagai penyalur aspirasi mahasiswa baik di tingkat legislatif (MPM/BPM/DPM) dan tingkat eksekutif (BEM/Senat Mahasiswa) menjadi topik yang seksi untuk dibicarakan, bagi sebagian kalangan.

Bagi para kelompok yang menjadi kontestan suksesi kepemimpinan tersebut, ajang ini menjadi tolak ukur seberapa besar pengaruh merka di kancah perpolitikan kampus. Sementara, bagi mahasiswa independen yang idealis, mereka menjadikan ajang ini sebagai pembuktian bahwa idealisme mereka pun dapat bertarung di atas kepentingan kelompok atau grup-grup yang memang sudah bermain sejak lama di kawasan ini.

Namun, ada sebagian mahasiswa UI yang tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Mereka mahasiswa yang menganggap BEM dan DPM tidak lagi relevan keberadaannya dengan kehidupan mereka di kampus. Mereka adalah orang-orang yang tidak ambil pusing dengan keadaan perpolitikan kampus. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya berpotensi untuk menjadi lumbung suara besar bagi kandidat yang tidak punya masa tetap, namun sayangnya tidak diperhatikan secara lebih oleh kandidat yang berkontestasi.

Mahasiswa apatis, sebutan itu yang kiranya merepresentasikan golongan yang tidak ambil pusing dengan isu-isu politik kampus. Mahasiswa apatis ini biasanya berasal dari golongan kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) dan mereka yang study oriented. Mereka banyak juga yang berasal dari golongan hura-hura dan mahasiswa pragmatis yang menganggap kuliah hanya sebagai cara untuk mendapatkan pekerjaan. Mahasiswa apatis inilah yang kemudian coba direbut suaranya oleh pemangku kepentingan yang dapat melihat celah bagi mereka untuk mendapat suara.

Apa signifikansi keberadaan mahasiswa apatis? Bagi para kandidat yang berpikiran pragmatis, orang-orang ini bisa dijadikan sebagai alat untuk merebut suara mereka sebanyak-banyaknya. Sementara, bagi mereka yang sudah merasa PD akan menang, kelompok apatis ini tentu saja tidak akan dipedulikan dan bahkan cenderung diabaikan. Belum pernah saya lihat ada satu kandidat/kelompok pun yang berupaya memberdayakan mahasiswa apatis ini agar menjadi mahasiswa yang lebih peduli pada isu politik kampus.

Apatis, memang sebuah pilihan. Tapi, apa yang saya lihat di UI, mahasiswa apatis lebih disebabkan karena sistem akademis yang menuntut mahasiswa untuk lulus cepat dan memaksa mahasiswa untuk tidak bersinggungan dengan kelompok-kelompok kepentingan yang ada di UI.

Mahasiswa apatis dapat juga dihasilkan dari sebuah kekecewaan atas peran BEM dan DPM yang kurang maksimal sebagai “pelayan” mahasiswa dan penyalur aspirasi mereka. Ada banyak alasan mengapa seorang mahasiswa menjadi apatis, namun yang peduli terhadap mereka (yang benar2 peduli) hanya sedikit orang dari sebagian besar mereka yang maju dalam kontes suksesi kepemimpinan. Mahasiswa apatis, bagaimanapun juga merupakan potensi bagi kandidat untuk merebut suara dalam pemira. Di sisi lain, keapatisan mereka membuat orang-orang yang berkontes tidak sempat memikirkan mereka lagi. Jadi, siapa peduli mahasiswa menjadi apatis atau tidak?

24 thoughts on “Mahasiswa UI yang Apatis, Siapa Peduli?”

  1. Sudah menjadi hak sebagai mahasiswa dong untuk bersifat apatis atau tidak, mereka pasti punya pemikiran dan alasan sendiri mengapa mereka menjadi apatis, tolonglah bagi yang merasa dirinya tidak apatis, nggak usah memaksa orang tersebut untuk ikut organisasi atau apalah itu, hak mahasiswa dia mau jadi kupu-kupu atau mau study oriented, pasti ada alasan mengapa seseorang menjadi apatis, misalkan dia tidaklah terlalu pintar, untuk mengejar pelajaran saja dia sudah tersendat-sendat, tapi pihak-pihak non apatis ini terus memaksa orang2 apatis ini untuk tidak jadi apatis dan aktif di organisasi yang bisa membuat nilai mereka menjadi jelek karena pikiran terbagi dua antara organisasi dan kuliah. Saya miris melihat banyak kenyataan seperti itu. Apalagi berdasarkan penglihatan saya, jaman sekarang mahasiswa terutama mahasiswa baru sepenglihatan saya di beberapa fakultas yang tidak usah saya sebut, LEBIH MEMENTINGKAN ORGANISASI/ANGKATAN/ACARA2 yang gak ada hubungannya dengan kegiatan akademis, mereka seperti nyantai saja kalau nilai scele dapet jelek, nyantai saja padahal UTS sudah mau deket, dsb. Tapi begitu ada acara sama senior dsb(khusus mahasiswa baru), ada acara angkatan,dsb nya mereka kalang kabut kepanikan takut gagal lah acaranya, takut senior ngapain mereka, dsb. Saya sungguh miris melihat keadaan ini di kampus yang katanya nomor satu di Indonesia. Mahasiswa jadi menganggap sisi akademis nomor 2, padahal jelas SISI AKADEMIS NOMOR SATU. Tolong diperhatikan ini. Organisasi bagus dan tetep harus ada, tapi tolong beri orang kebebasan untuk mau ikut atau tidak. Kalau tertarik , silahkan ikut, Kalau nggak, silahkan nggak ikut , ajakan boleh saja, tapi jangan sampai terkesan memaksa dan ada hukuman sosial jika tidak ingin ikut. Satu lagi, Organisasi itu nomor 2, Akademis nomor satu, Tolong ini paradigma yang harus ditancapkan dalam otak sedalam-dalam nya. Mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan, sebab ini untuk kebaikan bersama juga. Terima kasih.

    Reply
  2. Menurut pengalaman saya di fakultas psikologi, mahasiswa apatis ini semakin lama semakin diarahkan untuk memilih kok. Bukan untuk mengikuti organisasi yaa.. Tulisan ini menarik, tapi sarat muatan politik. haha

    @Zulfikri: komentar Anda sepertinya agak OOT. Penulis tidak sedang mempersuasi/ bilang bahwa banyak mahasiswa yang dipaksa untuk aktif. Ini tentang suksesi di UI. hehe.. Tapi saya setuju dengan pendapat Anda ASALKAN masih ada mahasiswa yang mau perduli. Jangan sampe semua mahasiswa jadi apatis. masalah organisasi nomor 2, itu juga sepakat. Kalau diselaraskan antara organisasi dan akademis gimana? jadi 2 2nya berjalan bersama2 dan seimbang. Orang jaman dulu bisa, mahasiswa sekarang mungkin juga bisa. CMIIW

    Reply
  3. PEMIRA on FIRE….!!!

    saya suka PEMIRA..

    @zulfikri: eh saya juga perhatian kok sama akademis saya, tapi saya imbangi dengan kemampuan organisasi saya, jadi yah kita berusaha balance lah…bosen loh kalo kuliah cuma kuliah aja, kurang berwarna gitu..(hhe..maaf ya, soalnya dari awal kehidupan akademis saya turut diwanai dengan kehidupan organisasi saya..)

    Tapi kan lagi-lagi ini pilihan ya,,pada dasarnya Allah ngasih kita waktu yang sama, 24 jam..
    Tapi yang membedakana adalah bagaimana kita mennggunakan waktu kita,,

    Yah kalo Zulfikar dkk..memilih untuk menyibukkan dirinya dengan akademis itu lagi2 pilihan..

    ayo, pergunakanlah hak suara kita,,kan sayang kalo gak dipake..

    Reply
  4. @girafi: tak ada qo yang “menyuruh” mahasiswa untuk masuk organisasi tertentu. Tak pernah ada paksaan. Terutama untuk organisasi yang skalanya fakultas atau universitas. Semua sifatnya sukarela dan open recruitment. Jika konteksnya dibawa ke organisasi (baca: perkumpulan/himpunan) mahasiswa jurusan/angkatan, itu beda lagi. Karena alumni pun masih tergabung di sana. jadi tidak bisa dikatakan pula organisasi mahasiswa.

    @zulkifli: Kita perlu kembali ke kodrat ksorang mahasiswa. Tugas seorang sarjana (baca: orang terpelajar) adalah berfikir dan mencipta yang baru. Ia harus dapat memanfaatkan ilmu yang didapatkannya untuk bermanfaat bagi orang lain/masyarakat sekitar. Jika paradigma kita mengarah pada organisasi adalah beban atau akan merusak akademik, itu menurut saya adalah hal yang kurang sesuai. Organisasi adalah sebuah wadah bung, wadah bagi kita untuk dapat berkontribusi lebih konkrit. Organisasi bukan hanya di kampus, lbayak lagi yang di luar kampus. Selama dia bisa berkontribusi dengan ilmu yang dimiliki bagi masyarakat luas, dia telah menunaikan tugasnya sebagai seorang terpelajar.

    Oia, mungkin bisa juga sebagai gambaran. Bahwa masa depan kita tak akan sama dengan selama menjadi mahasiswa. Kita akan dihadapkan oleh dunia luar yang jauh berbeda dengan kelas2 selama kuliah. Jika sekali lagi, organisasi dijadikan sebagai wadah pula untuk belajar, maka kita akan dapat benefit dari organisasi.

    Soal hak mahasiswa untuk apatis, iya itu adalah hak. Namun, tak ada sesuatu yang diciptakan lantas tidak bermanfaat bukan? Ini mungkin tergantung bagaimana passion kita. Tak ada masalah dengan mahasiswa aktivis atau apatis. dua2nya sama2 berakhiran suku kata “is”. Ini fenomena sosial, patut kita pahami besama.

    Hidup mahasiswa! Hidup ilmu pengetahuan Indonesia!

    Reply
  5. Menurut gw menjadi apatis itu pilihan, bukan karena “terpaksa” akibat terlalu ketatnya jadwal kuliah atau semacamnya. Gw sendiri merupakan orang yg apatis dengan dunia politik, kenapa? karena gw gak suka dan gak mau nyemplung di dunia politik, sama kayak lo mungkin gak mau nyemplung dan bersikap apatis terhadap permasalahan di dunia bisnis, dunia ilmiah, dunia olahraga atau dunia2 lainnya yang gak lo minati.

    Reply
    • setuju banget. Setiap orang punya jalan masing2 dimana mereka akan berjuang. Ada saatnya nanti kita berkontribusi dan memberikan dari apa yang kita punya dan kita dapatkan dari sesuatu yang kita pilih/minati itu. Karena pada dasarnya manusia punya tanggung jawab di dunia yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

      Reply
  6. mahasiswa apathis? hmm..tentunya pun kita semua harus tau kenapa mereka bisa begitu,jgn sampai kita menjudge segala sesuatu yg berbau acuh terhadap dunia politik kampus dll menjadi org apatis,atau tak peka dengan lingkungan kampus dan gejala2 sosialnya. Lebih baik kita stimulus saya,persuasif dengan cara yang baik,
    Ujung2nya mereka juga bisa memilih jalan baik mereka,kita hanya membantu mendirect nya.

    Reply
  7. saya ngerti kok keapatisan teman2 semua karena say pernah menjadi bagian dari itu. namun, setelah say dipikir, mau dibawa kemana Indonesia ini kalau UI notabene kampus terbaik di Indonesia aja apatis kayak gini…
    yukkk,,, ikutan dalam pesta demokrasi kita
    PEMIRA IKM UI 2010
    Aku, Kamu, Kita Bersuara!

    Reply
  8. paragraf dua: “independen idealis”?? wuiiih..keren banget kayaknya. kesannya netral gitu, padahal memilih satu pihak itu naluri. se sok netral apapun pasti punya kecenderungan. kita manusia, bukan robot. yang memilih bukan berarti ga idealis

    Reply
    • setiap orang punya kepentingan, pasti mereka yg bertarung di pemira juga punya kepentingan. yang membuat mahasiswa independen ini berbeda dengan mahasiswa yg jelas2 didukung kelompok kepentingan tertentu adalah idealisme mereka yg tidak disetir pihak luar, walaupun demikian setiap orang berhak memilih mau mengikuti idealisme yang mana.

      Reply
  9. wuihh..prasangka kayak gini nih, model lama. kita harus mengubah trauma persepsi.
    mungkin bisa ikutan kuliah dipsikologi, so bisa memahami bahwa ga ada yang namanya manusia tanpa kecenderungan

    Reply
  10. mau jadi mahasiswa apatis ato ga itu terserah tiap mahasiswa…mereka pasti udah tau dnk konsekuensi dari sikap apatis itu sendiri,,pastinya mereka udah punya pertimbangan sendiri..emang sih,tugas mahasiswa lain yg “ga apatis” untuk mengingatkan n mengajak mahasiswa apatis biar ga apatis..tp klo mereka tetap pada pendiriannya buat ga apatis ya mau apa lagi..

    hehehhe

    maap ya klo ada salah kata..

    Reply
  11. Apatisme memang menyelimuti sebagian mahasiswa, tidak hanya di UI tentunya. Mahasiswa di beberapa universitas lainnya juga mengalami yang sama. Mahasiswa apatis lebih ke study oriented dan hanya melakukan aktifitas kuliah, kantin dan kost/kamar saja.

    Bisa dikatakan ketidak pedulian mereka karena tidak merasa membutuhkan apa apa dari kampus kecuali nilai matakuliah yang bagus dan juga fasilitas yang baik. Tidak semua mahasiswa apatis ini tergolong orang “Mampu dalam materi” tapi yang hidup sederhanapun ada yang apatis.

    Terlepas dari apatis apa tidaknya seharusnya BEM/DPM melakukan sebuah terobosan untuk mengajak mahasiswa itu terlibat dalam kegiatan sosial, training atau kegiatan lainya walau mereka tidak ada dalam stuktur kepemimpinan organisasi kampus.

    Kemungkinan apatisme mereka karena tidak diajak dan juga diberitahu betapa pentingnya suara mereka, pemikiran mereka dengan sukarela memberikan perhatian terhadap permasalahan kampus. Edukasi lebih baik dari pada sekedar memberika selebaran untuk ikut acara ini atau itu. Tatap muka dan memberikan penjelasan langsung kepada mahasiswa tersebut lebih efektif ketimbang hanya sebuah pengumuman.

    Reply
  12. apatis memang tidak baik. tapi tunggu dulu apakah orang yang dianggap apatis itu benar2 apatis? benarkah?

    tapi tunggu dulu mengutip kata2 di atas:
    “Mereka mahasiswa yang menganggap BEM dan DPM tidak lagi relevan keberadaannya dengan kehidupan mereka di kampus.”

    Kalau mereka menganggap BEM dan DPM tidak lagi relevan. Salahkah kalau mereka jadi ‘apatis’ (seperti yang dikatakan penulis)?

    Bukannya yg salah itu yang menganggap BEM dan DPM sangat relevan tetapi masih bersikap acuh tak acuh?

    Bukannya yg salah itu yang menganggap BEM dan DPM tidak relevan tetapi malah terjun di dalamnya?

    Jadi selama orang-orang itu berpikiran hal yang dijalankan benar, ya nggak masalah. Yang masalah itu kalau berpikir sesuatu hal itu salah tetapi masih saja melakukan kesalahan itu.

    Haha… idealnya sih memang mahasiswa itu aktif, peduli sekitar, seimbang organisasi ama akademis. 😀

    Reply

Leave a Comment