Masih Merakyatkah Kampus UI?

Banyak orang mengatakan bahwa Universitas Indonesia adalah universitas yang memiliki sifat kerakyatan. Sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai sekarang, UI terus berjuang untuk pembangunan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik. Oleh karena itu, UI sering disebut sebagai kampus rakyat.

Seiring pengembangan universitas yang terus menjadi acuan bagi pembangunan bangsa Indonesia, UI terus mengembangkan kampusnya untuk menjadi universitas yang mampu bersaing di tingkat dunia. Namun, sifat-sifat kerakyatan yang dimiliki oleh UI semakin lama semakin luntur.

Sifat-sifat kerakyatan yang luntur ini ditandai dengan berbagai tindakan. Salah satu tindakan yang cukup keras adalah pelarangan pedagang-pedagang keliling yang berjualan di sekitar UI. Sebelum tahun 2008, pedagang-pedagang keliling yang berjualan UI sangat bebas berjualan di sekitar UI. Mereka bisa mendapatkan keuntungan dari mahasiswa/mahasiswi UI yang menjalani kuliah di kampusnya. Keuntungan itu sangat membantu kehidupan para pedagang tersebut dengan lebih sejahtera. Akan tetapi, hal-hal yang merakyat seperti ini sudah tidak dijumpai lagi di UI.

Banyak karyawan-karyawan UI yang mengeluh tentang kampus Universitas Indonesia yang sekarang. Gaji para  karyawan petugas UI yang di bawah UMR merupakan suatu hal yang dialami oleh para karyawan tersebut. Misalnya, seorang tukang sapu yang mempunyai gaji sekitar 400.000-an per bulan mempunyai tugas menyapu dari gerbang pintu masuk UI sampai Fakultas Ekonomi.

Namun, sebenarnya bukan hal-hal seperti itu yang menjadi hambatan. Mereka ikhlas dengan gaji yang mereka dapatkan. Mereka mengeluhkan tentang kurangnya rasa kekeluargaan antara para karyawan petugas dan petinggi di UI. Para petinggi di UI kurang berinteraksi dengan para karyawan dan petugas tersebut. Mereka kurang memperhatikan apa yang diinginkan oleh para karyawan dan petugas itu.

Barel juga menjadi gunjingan masyarakat tentang kampus UI. Walau masalah barel sudah berakhir, hal ini menjadi dampak negatif bagi masyarakat.

Melalui masalah-masalah seperti ini, apakah UI masih memiliki sifat kerakyatan ? Ada apa dengan UI ? Masalah seperti ini mungkin bisa menjadi asupan bagi Universitas Indonesia dan hendaknya dapat diperbaiki dengan lebih bijak. Kita mungkin dapat belajar dari sejarah bahwa sesuatu yang terlalu represif juga dapat menjadi tidak baik bagi yang menerimanya.

Kemudian, apakah masalah tentang pelarangan tentang pedagang-pedagang keliling yang berjualan di UI harus diterapkan ? Bukankah hal itu akan memberikan kesulitan bagi para pedagang untuk memberi nafkah anak dan istrinya? Masalah tentang peradagangan di sekitar UI ini mungkin ada dampak negatifnya juga terhadap lingkungan, yakni banyaknya sampah yang berserakan akibat perdagangan yang dilakukan di lingkungan UI tersebut. Akan tetapi, apakah tidak ada solusi lain tentang hal seperti itu selain pelarangan pedagang-pedagang keliling tersebut ?

Masalah interaksi juga patut dikoreksi kembali oleh UI. Kita semua hendaknya lebih ramah terhadap lingkungan sekitar UI bukan hanya untuk para petinggi UI, tetapi juga untuk mahasiswanya juga. Kita harus bisa menunjukkan kalau kampus kita adalah kampus yang sangat merakyat. Rasa kekeluargaan itu mungkin dapat dilihat dari hal-hal kecil, seperti bersosialisasi dan bercengkrama dengan mereka. Walaupun hal-hal seperti itu dianggap sepele, saya percaya hal-hal ini dapat berkontribusi besar untuk mereka. Inilah tugas kita sebagai bagian dari civitas akademika Universitas Indonesia untuk saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia dan lingkungan. Terima kasih semua.

By Agil Kurniadi

5 thoughts on “Masih Merakyatkah Kampus UI?”

  1. Sebenarnya masalahnya malah bukan apa pedagang diperbolehkan di sekitar UI. Justru kenapa bisa ada pedagang jalanan itu? Karena seharusnya UI kan mengadakan tridharma pendidikan, yang mana hingga sekarang masih saya lihat belum terlaksana dengan baik. Jalan di Pondok Cina masih berantakan, padahal memperbaiki jalan tersebut dapat menjadi sebuah pembuktian bahwa UI masih merakyat.

    Tidak hanya berhenti di situ saja, seharusnya warga-warga di sekitar UI mendapat berkah lebih dengan keberadaan UI. Pengentasan warga miskin harus dilakukan. Saya akui memang, keberadaan UI membuka banyak lapangan potensial baru bagi masyarakat di sekitar UI. Tapi tentu saja, dengan poin-poin yang telah Anda jelaskan di atas dan dengan banyak kesempatan lainnya, potensi-potensi tersebut seharusnya dapat dimaksimalkan.

    Mahasiswa juga bisa berperan aktif.

    Reply
  2. Saya membaca tulisan ini dan sepertinya yang menjadi ide tulisan ini adalah “pelarangan pedagang-pedagang keliling yang berjualan di sekitar UI”. Sedangkan kalimat lain hanya sebagai pendukung, terlihat jelas dari pembahasannya yang kurang detail.

    Ya tidak bisa dibilang bahwa tindakan UI tersebut salah seutuhnya. Saya yakin seyakin-yakinnya ada persepsi lain bagi para petinggi UI. Salah satu alasan yang sempat terpikir adalah pasar kampus dipusatkan ke kantin-kantin fakultas UI, yang jelas identitasnya. Kalo ada pedagang kecil, pasar mereka akan terambil, itu sudah jelas.

    Kemudian bisa saja karena alasan keamanan. Bukan berprasangka buruk seutuhnya, akan tetapi waspada itu perlu. Akan tetapi tidak sekeras itu juga kok. Saya masih sering menemui pedagang kecil berkeliling di FISIP atau di Fasilkom sendiri, sering ada pedagang gorengan saat sore hari. Ga ketahuan kali ya 😆

    Anyway, solusi yang kamu tawarkan apa ya mengenai pertanyaan kamu di atas?

    “Akan tetapi, apakah tidak ada solusi lain tentang hal seperti itu selain pelarangan pedagang-pedagang keliling tersebut ?” 😀

    Reply
  3. Hello there fellow Indonesians and bloggers 🙂 Apa kabar? Just wanted to say hi and spread the news about our 2012 Million-Man-March to save Indonesia. Please check out our videos and we hope you can be part of our nation’s history next year. Merdeka and spread the news! http://www.youtube.com/user/SaveIndonesia

    Reply

Leave a Comment