Meminimalisasi Kemacetan di Kampus Salemba
Kali ini penulis ingin mengajak pembaca untuk bertamasya ke Kampus Perjuangan Salemba. Kampus yang bersejarah bagi pergerakan mahasiswa Indonesia dan juga kampus yang tak pernah mendapatkan akses informasi yang cepat jika dibandingkan dengan Kampus Depok. Bahkan asumsi penulis adalah baik berita-berita dari rektorat hingga pergerakan mahasiswa yang di motori oleh BEM seolah-olah tak pernah terkomunikasikan, makanya tak salah jika akhirnya mereka memiliki dunia sendiri, semacam kampus “Autis”.
Persepsi saya dengan pembaca mungkin berlainan, tapi kalaupun tidak sama, tak usahlah digembar-gemborkan bahkan dibesar-besarkan. Karena point of view yang ingin dikedepankan bukan masalah akses info cepat atau lambat tapi bagaimana meminimalisasi kemacetan di Salemba yang salah satu penyebabnya adalah terbatasnya lahan parkir untuk mahasiswa dan dosen di Salemba sehingga areal jalan Raya Salemba dijadikan alternatif lahan parkir.
Lahan Parkir
Pernahkah di antara kita menuju Atrium dari arah Kampung Melayu melawati UI Salemba pada jam kerja maupun akhir pekan? Jikalau ada yang pernah melewatinya pasti melihat pemandangan yang begitu semrawut yang diakibatkan mobil-mobil dari mahasiswa, dokter maupun dosen yang parkir hingga keluar dari areal parkir. Belum lagi ulah para sopir-sopir angkutan kota yang berhenti di sembarang tempat (ngetem atau menurunkan penumpang di depan Kampus), alih-alih kelakuan yang mereka lakukan menambah kemacetan selepas lampu merah UI Salemba.
Kondisi ini sudah berlangsung lama, mendekati lima tahun hilir mudik di daerah tersebut, penulis tidak melihat ada perubahan sedikitpun. Entah apa yang ada dalam benak pemangku kebijakan DKI Jakarta ataupun Rektor UI melihat kemacetan yang terjadi. Ironis melihatnya jika dibandingkan areal parkir di Kampus Depok, hamparan lahan parkir menjamur dan luas, nyaman, tidak perlu adu otot, minim terjadinya stress, terjamin keamanannya, dan sebagainya.
Kolega yang saya temui baik S1 kedokteran, kedokteran gigi, S2, dan dosen pun agak mengeluhkan parkiran di Kampus Salemba. Jika pada waktu yang seharunya menjadi aktivitas utama mereka justru terhambat akibat disibukkan dengan terbatasnya areal parkir. Kolega di S1 kedokteran, mengeluhkan mobil yang dibawanya lebih sering lecet/penyok akibat senggal-senggol mobil yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan, sopir-sopir putus asa melihat tak ada space untuk memarkir mobilnya, ini bisa dilihat cara memarkirkan mobil yang tidak presisi.
Lain cerita S1, lain pula cerita S2, kolega saya di S2 pun mengalami keterlambatan untuk masuk kelas karena kendaraan yang dibawanya harus mengantri untuk parkir. Dia mengalaminya tidak hanya sekali atau dua kali tetapi dia mengalami keterlambatan berkali-kali. Jika dihitung dalam seminggu tiga kali kuliah maka selama tiga kali itu pula dia sering terlambat masuk kelas ±10 menit.
Berbeda dengan mahasiswa, dosen pun acap kali bermasalah dengan parkir yang dikhususkan untuk mereka. Tempat parkir yang seharunya diberikan kepadanya justru ditempati oleh mahasiswa. Ada pula kenyataan, tidak ada kekhususan tempat parkir untuk dosen seperti yang biasa kita lihat di Kampus Depok. Mereka diharuskan merasakan apa yang dirasakan oleh mahasiswa, seolah-olah tempat parkir di Kampus Salemba memiliki makna “kebersamaan itu kunci utama”, baik dosen maupun mahasiswa semua sama tempat parkirnya. Padahal makna dari tidak ada kekhususan parkir bagi dosen adalah lambang dari tidak dihargainya dosen yang akan mengajar bahkan bisa dikatakan sebagai ketidak mampuan untuk manata areal parkir itu sendiri.
Itu baru masalah mobil, lalu bagaimana dengan kendaraan roda dua (Sepeda Motor)? Sepeda motor ternyata juga tidak ketinggalan permasalahannya. Lahan yang sempit (dibawah pohon beringin) juga menyebabkan beberapa sepeda motor yang lalu lalang (seperti lebah) tidak mendapatkan tempat parkir yang memadai. Sehingga menyebabkan baik mobil maupun sepeda motor, pengendaranya sama-sama memperjuangkan lahan parkir. Akibat rebutan lahan parkir, makin semrawutlah kondisinya. Harus dengan kesabaran dan adu otot untuk menyelesaikannya. Semua tidak mau mengalah, kalaupun mau mengalah, potretnya bisa dilihat di luar pagar Kampus Salemba.
Parkir di luar merupakan solusi menyiasati keterlambatan masuk kelas, adu otot dan mau menang sendiri untuk memperebutkan tempat parkir. Padahal dengan parkir di luar Kampus Salemba, justru menimbulkan masalah baru! Ya jawabannya sudah dikemukakan pada judul dan paragraf awal tulisan ini, menimbulkan menimbulkan kemacetan selepas lampu merah. Tapi, tidak semua mahasiswa, dokter, maupun parkir di luar Kampus Salemba. Beberapa dari penghuni Kamupus Slemba merasa enggan untuk parkir di luar Kampus Salemba karena keamanannya kurang terjamin.
Bahkan, kondisi ini lagi-lagi diperparah dengan dibangunnya infrastruktur Lapangan Basket/Futsal di dalam Fakultas Kedokteran (di depan Perpustakaan 24 jam FK UI). Padahal sebelumnya, lahan ini dipergunakan untuk parkir. Dengan demikian, pembangunan infrastuktur (lapangan basket/futsal) ini justru menyebabkan lahan parkir ini berkurang.
Usulan
Kondisi minimnya parkiran ini menjadi salah satu kondisi yang patut dipikirkan masak-masak dan segera dibuatkan kebijakan yang terintegrasi dengan berbagai pihak. Pasalnya dua masa jabatan Rektor UI (Prof. Ustman dan Prof. Gum) juga tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi ini. Membangun kerja sama dalam menyelesaikan terbatasnya lahan parkir tidak hanya di lakukan oleh pemangku kebijakan di Kampus Salemba tetapi harusnya dilakukan oleh Birokrat Kampus Depok dan DKI Jakarta. Kenapa DKI Jakarta, karena Kampus Salemba berada di DKI Jakarta dan secara otomatis pihak Birokrat DKI Jakarta pasti memiliki Blue Print untuk menyiasati kemacetan di Salemba. Jikalau ada blue print, pastinya dapat bekerja sama dalam mengurangi kemacetan di jalan Raya Salemba.
Tapi, kalaupun belum memiliki rencana, maka melalui media ini penulis mencoba untuk mengajak ke segenap civitas akademika untuk membantu menyelesaikan permasalahan di Salemba. Penulis mencoba menawarkan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh derenungkan oleh semua pihak, yaitu:
1. Building Park
Menciptakan lahan parkir vertikal merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan terbatasnya lahan parkir horizontal. Dengan adanya lahan parkir vertical ini semua mobil bisa di tata dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan baru. Sistem keamanannya juga bisa terkontrol dengan baik, tidak ada rasa was-was kendaraan akan lecet/kecelakaan ataupun hilang dicuri maling.
UI juga bisa mendapatkan income yang lebih besar dan rasional jika membangun building park ini. Kenapa saya katakan rasional, karena UI bisa menetapkan kebijakan retrebusi dengan jenis flat tariff untuk semua jenis kendaraan seperti yang dilakukan di Kampus Depok dan bisa mengantongi banyak income karena telah memperoleh kepercayaan dari civitas akedemika di Kampus Salemba atas lahan parkir yang telah dibangunnya.
Di samping itu, UI juga bisa melakukan dengan mudah pemisahaan antara kendaraan dosen dengan mahasiswa. Maksudnya, kendaraan dosen boleh di areal parkiran horizontal tetapi mahasiswa harus menuju ke lahan parkir vertikal. Jadi pengelompokkannya lebih mudah dan akurat, satpam UI juga tidak susah payah untuk mengaturnya dan dosen pun juga pasti akan merasa senang, nyaman, dan bangga jika mereka memiliki lahan parkir khusus.
Membangun Building Park ini akan dirasakan besar manfaatnya oleh berbagai pihak, dosen tetap dapat mengajar dengan baik tanpa memperdulikan kendaraannya lecet dan tak mendapatkan lahan parkir. Bagi mahasiswa, dengan dibangunnya lahan parkir vertical, mahasiswa dapat melakukan aktivitasnya tanpa memikirkan masalah keterlambatan masuk kelas dan keamanan kendaraan yang mereka miliki.
2. Pembatasan Kendaraan
Kalau usulan pertama sulit dilakukan karena biaya yang dikeluarkan juga sangat besar maka penulis menyarankan agar, kendaraan yang dapat masuk ke Kampus Salemba hanya Dosen dan staff yang lain saja. Dokter diharapkan parkir di RSCM sedangkan mahasiswa diharapkan tidak membawa kendaraannya.
Pada dasarnya usulan ini simple untuk dilakukan, asalakan pemangku kebijakan memiliki political will untuk melaksanakannya. Penulis mencoba membayangkan jika ini benar-benar terjadi maka, seperti judul tulisan ini “Meminimalisasi Kemacetan di Kampus Salemba”, kemacetan yang salah satunya diakibatkan oleh mobil yang parkir di luar Kampus Salemba pasti akan terhindar dan terminimalisasi dengan adanya building park atau pembatasan kendaraan.
Kalaupun tidak dilakukan, penulis mengasumsikan, tuntutan dari Kampus Salemba sendiri yang sangat dibutuhkan untuk menyuarakan keluh kesahnya. Karena, aspirasi yang dibawa langsung oleh “korban” dan secara masif, pasti akan didengar oleh pemangku kebijakan.
Kalau sampai saat ini belum terdengar keluh kesah dari Kampus Salemba di Kampus Depok, mungkin saja akses informasi dari sana ke Kampus Depok terhambat. Iya, terhambat seperti apa yang penulis tuliskan pada paragraf awal. Oleh sebab itu, arus informasi selama ini mengenai pergerakan mahasiswa tentang pemilihan ketua BEM ataupun yang lainnya biasanya sampai sana seminggu setelah dipublikasikan (sudah basi beritanya) ataupun tidak ada sama sekali.
Wallahu’alam
Seno – Kebijakan Publik 19
Perlu ditegur nih para rektorat, ijin dishare ya…
kritik yang sangat baik…kayanya paling cucok untuk di salemba, pembatasan kendaraan…untuk mahasiswa yang punya mobil,naik kendaraan umum dan cukuplah diantar -tak perlu ditunggu…
stuju bgt tuh, ini masalah yg ga dibikin masalah ama birokrat kita. mnarik untuk usulan kedua karena di depok ini aja rektor kita sempet ngeluarin ide untuk sistem park n ride(/bike). tapi di salemba sendiri parkiran dosen aja diembat mahasiswa. harusnya ky bgitu2an udah bisa ditindak dgn keras tuh.
tapi di lain pihak gw ngeliat fenomena yg aneh (tapi terjadi juga di luaran). di mana semua pengendara itu tau seberapa ruwetnya parkir di salemba, tapi mereka tetep aja bawa kendaraan.. ini tuh fenomena masyarakat Jakarta yg sangat aneh tau ga. di jalan raya jg kan bgitu. bahkan urusan masuk jalan tol, yg mana mereka tau bakalan macet juga, tapi tetep aja willing to pay for it. makanya masalah ky gini mgk lebih enak klo kita dipaksa ga pake kendaraan pribadi. yaa tutup mata dikit deh dgn kondisi angkutan umum kita. kan klo skrg smua orang teriaknya macet doank, coba klo smua teriaknya angkutan umum ga nyaman.. mgk pemerintah juga ga cuma ngurusin pelebaran jalan tapi ngebenahin angkutan umum.
untuk mas sofan, klo mo di share ojo lali yo karo jenengku neng kolom share mu, ben koyok artis, wkwkwkwkwkwkwkwk
untuk mas udaya dan ismail, hmmmmm bingung mo ngebales ape, cuman kayaknya balik dengan point yang saya tulis dah need political will from the top level management, klo yang di top level cuman political will yang “anget-anget … ayam lebih baik masuk DPR dah, hahahahahaha
Tambahan buat mas udaya, mungkin klo kita anak nunjauh dimato pasti alternatif menggunakan kendaraan pribadi itu sangat penting, mo usrusan macet, parkiran penuh, ntu urusan belakangan yang penting nyampe dolo lah, gak keringetan, bau, lusuh, lepek, dll. Pa lagi lingkungannya udh elit, yaaaaa klo menurut kite sih agak sulit klo menerangkan ke arah yang lebih baik untuk meminimalkan kendaraan seperti apa yang saya sebutkan pada point k2… yaaa mau gak mau masuk usulan pertama dong… Kecuali si pemilik kendaraan mau, menjemput banyak orang dalam 1 mobil, nahhh tuh bisa jadi alternatif.. Tapi saya yakin lebih banyak yang 1 mobil 1 orang dibandingkan dengan 1 mobil 4-5 orang.
Wah, ternyata ada toh temen2 Depok yg peduli dg keadaan Salemba. Sebelumnya gw mo bilang makasih dulu…
Share info dari Salemba yah… Masalah ini udah diangkat berkali2 dalam beberapa rapat dekanat dg Senat Mahasiswa. Pada dasarnya semua udah saling mengerti keadaan kita yg serba terbatas masalah perparkiran ini. Kita juga udah sepakat mana yang parkiran dosen, mana yang parkiran mahasiswa. Dan, sepanjang pengamatan saya, biasanya masing2 menempati posisinya masing2. Karena petugas parkir yang ada g akan kasih masuk mahasiswa ke tempat dosen (biasanya kalo pagi dikasi batas). Masalah akan timbul pada orang2 yang masuk “kesiangan”. Klo udah lewat dari 7.30, silakan banyak berdoa untuk dapet tempat parkir (terutama mahasiswa; kalo dosen biasanya dateng pagi).
Menyikapi beberapa usul dari temen2:
1. Tentang gedung parkir, hmm… menurut mas Seno, mau dibangun di mana ya gedungnya? Ini yg menurut saya salah satu masalah utama kampus salemba: lahannya udah susah dikembangkan. Tapi, ini juga kalo jadi, rencana pembangunan Twin Tower di FKUI (klo temen2 tahu) setahu saya akan mengikutkan 3 lantai gedung parkir. Tapi untuk sementara ini, hmm…saya sebagai mahasiswa sini cukup mesti sabar aja menghadapi kampus yang begini.
2. Pembatasan Parkir,,prnah dikemukakan, tp kurang feasible diaksanakan. Anak tingkat 1 dilarang bawa mobil, tp setelah mabim selesai, banyak juga yang bawa… RSCM klo temen2 tahu, sudah sangat2 penuh juga. Sekian banyak dokter dan pasien, yang juga butuh lahan parkir. Ada yang pernah coba parkir di parkiran depan RSCM selepas jam 9? Lahan parkir di belakang juga khusus buat dokter yang punya stiker parkir rscm. Tempatnya juga terbatas.
Masalah bawa kendaraan biarpun penuh, ada beberapa alasan sebetulnya:
1. Dosen2 yang dokter biasanya bakal pergi setelah jam ngajar atau prakteknya di rscm, buat ke tempat prakteknya yg lain. Otomatis butuh mobil.
2. Temen2 yang jaga di luar rscm pastinya butuh kendaraan buat transportnya (apalagi yang jaganya jauh2).
3. Emang senengnya naik mobil…
Perlu temen2 tahu, selain yg butuh/hobi naik mobil, banyak juga kok yang memilih naik angkutan umum. Dosen, staff, dokter, maupun mahasiswa; jauh ataupun dekat rumahnya.
Saya bukan orang ahli kebijakan. Selama ini hanya menempatkan diri saya sebagai mahasiswa fkui yang mesti dateng pagi kalo mau dapet parkiran (itung2 biar rajin, lagian kuliah kita mulai jam 7). Sebenernya sih, kepikiran juga solusinya: fkui pindah ke depok. Hehe. Kapan ya…?