Mental Illness, Salah Satu Penyebab Hidup menjadi Kelabu yang Masih Dianggap Tabu

Sobat anakui.com pernah ngerasa depresi atau gak berminat ngapa-ngapain karena kepikiran terus mengenai suatu hal tertentu? Misalkan depresi gara-gara dihujani tugas yang bertubi-tubi, kerjaan kepanitiaan yang bikin males buat menghadapi kenyataan, atau bahkan masalah keluarga yang gak selesai-selesai dan kamu bingung gimana cara mengatasinya.

Ketika lagi depresi, kamu langsung males sama dunia sekitar, menganggap gak ada yang peduli, dunia itu kejam, dan pengin aja gitu rasanya ngilang buat sementara biar lupa sama masalah-masalah yang ada. Alhasil, yang kamu lakukan cuma diam, berpikir panjang, dan ujung-ujungnya hanya tidur agar menghindari kenyataan barang sejenak.

Normal kok kayak gitu, setiap orang pasti punya masa dalam hidupnya di mana dia males ngapa-ngapain dan penginnya menghilang sejenak aja; lari dari kenyataan. Tau gak sih, perilaku depresi kayak gini termasuk salah satu mental illness atau gangguan jiwa? Sebenernya banyak sih jenis-jenis mental illness, seperti bipolar disorder, drapetomania, ADHD, fobioa, psikopat, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, pada tulisan kali ini anakui.com mengambil contoh depresi karena paling banyak ditemukan apalagi di kalangan mahasiswa kayak kita.

BACA JUGA: Tugas Numpuk Bikin Stress, Ini Dia Trik Gak Gampang Stress Saat Menjalani Hidup Sebagai Mahasiswa

mental illness

 

 

Yang masih disayangkan, masih banyak banget orang yang menganggap mental illness adalah hal yang tabu sehingga yang tergambar dalam pikiran kita adalah sosok menakutkan berkelakuan aneh dan bicara sendiri.  Gak jarang loh, mindset yang salah itu akhirnya menciptakan kata kata seperti “gila, miring, atau sarap” yang pada akhirnya melahirkan stigma di khalayak umum. Pada kasus-kasus gangguan jiwa, tindakan ini pada akhirnya membangun prejudice tanpa dasar yang mengarah pada usaha-usaha mendiskriminasikan penderita gangguan jiwa dalam banyak hal.

Hal ini tentu saja memperburuk keadaan karena para penderita gangguan jiwa semakin menarik diri—tidak mau terbuka karena takut dihakimi dan disudutkan. Yang lebih menyakitkan adalah ketika bayangan ketakutan akan dihakimi dan ditertawakan membuat penderita tidak mau mencari pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan, sehingga kebanyakan penderita berusaha membohongi diri sendiri dan menganggap gejala psikotik adalah hal yang biasa saja. Padahal, orang depresi itu hanya butuh didukung dan diyakinkan kalau mereka gak sendiri, bahwa mereka itu berharga bagi dirinya dan hal-hal di sekelilingnya.

Yup, they, or even we, just need somebody to hold on.

Ujung-ujungnya, masalah ini akan menjadi semakin kompleks di kalangan pemberi layanan jiwa itu sendiri. Hal ini terutama tampak pada pelabelan penyakit penyakit jiwa yang oleh masyarakat umum diartikan berbeda. Tindakan dan perlakuan seperti memberi julukan penyakit jiwa terhadap para penderita udah biasa diterima masyarakat dan jadi hal yang wajar.  Pada akhirnya, masyarakat menjadikan hal tersebut sebagai acuan bahwa penyakit jiwa memang sangat mengerikan.

Di satu sisi, pelabelan yang diberikan masyarakat kepada para penderita gangguan jiwa juga berakibat pada pribadi penderita itu sendiri. Bukannya membantu, justru malah memperburuk kondisi kejiwaan para penderita. Coba deh kamu kalo lagi depresi, dikatain temen kamu sakit jiwa, rasanya gimana? Yaaa emang bener sih lagi sakit jiwa, tapi pasti maksud temen kamu itu sedang meledek. Alhasil, kamu malah semakin down dan menganggap dirimu sendiri gak berharga, gak guna, ansos, rendah diri, dan malah makin lama recovery-nya.

Ada banyak jenis-jenis mental illness via time
Ada banyak jenis-jenis mental illness via time

 

 

Selain dari stigma masyarakat, media turut memperparah stigma yang diterima para pengidap gangguan jiwa. Kita semua tahu kalau peran media adalah sebagai penyampai informasi, khususnya media televisi yang sering mempertontonkan penderita gangguan jiwa sebagai sosok yang berbahaya. Misalnya ada pemeran sinetron atau film yang menggambarkan kalau orang penderita gangguan jiwa sebagai sosok yang menakutkan, sadis, berbahaya, dan sering mengamuk tanpa alasan yang jelas. Nah, di sini media justru semakin membangun penghakiman tanpa dasar yang semakin memperparah kondisi kejiwaan penderita gangguan jiwa.

Padahal ya, penderita penyakit jiwa itu ada banyak banget, bahkan di sekeliling kita dan bisa dialami siapa saja.  Umumnya, para ahli mendefinisikan penyakit jiwa sebagai suatu kondisi serius yang mengganggu pikiran, pengalaman, dan emosi.  Hal ini bisa memicu berkurangnya fungsi sebagai manusia utuh, disebabkan oleh terjadinya kesulitan dalam membina hubungan interpesonal, kesulitan dalam melakukan pekerjaan, dan bahkan bisa merusak diri sendiri. Sayangnya, masyarakat masih menganggap tabu hal ini sebagai sesuatu yang menakutkan dan harus dijauhi penderitanya.

Bagi temen-temen yang sedang depresi berat, ingin curhat tapi gak tau mau ditumpahkan ke siapa, bisa banget nih ke Klinik Terpadu Psikologi yang terletak di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Gratis bagi Mahasiswa UI! Kapan lagi kan konsultasi bebas biaya dengan orang yang udah ahli dalam bidangnya? Di sana kamu bisa cerita keluh kesah kamu dan segala hal yang mengganjal dalam benak dan pikiran kamu. Inget ya, ke pskiater itu bukan berarti orang gila. Dengan kita menyadari bahwa diri sendiri butuh konsultasi ke pskiater, itu menunjukkan bahwa kita telah sadar dan peduli terhadap diri sendiri akan penyakit kejiwaan.

Nah, sekarang bagi pembaca baik itu keluarga, temen, maupun penderita gangguan jiwa itu sendiri, mari menerima penyakit itu sebagai bagian dari diri sendiri.  Mulailah untuk jujur pada diri sendiri walaupun prosesnya rumit.  Emang sih, gak gampang berdamai dengan penyakit yang masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat, tapi jangan sampai gangguan jiwa yang hanya terjadi pada saat momen-momen tertentu jadi menghambat keseluruhan hidupmu serta segala potensi dan prestasi yang ada. Percaya deh, kamu itu berharga dan mampu untuk berkarya serta berprestasi. Kamu itu berarti bagi diri kamu dan orang-orang di sekeliling kamu.

1 thought on “Mental Illness, Salah Satu Penyebab Hidup menjadi Kelabu yang Masih Dianggap Tabu”

Leave a Comment