“Mengapa saya harus berbuat baik?”
Pertanyaan ini adalah suatu pertanyaan terbuka dan bersifat moral. Tetapi saya pikir setiap orang merasa tidak perlu untuk memperdebatkan apakah kebaikan harus benar-benar dilaksanakan atau tidak. Jika ditanya kepada setiap individu yang hidup di dunia ini tentang pertanyaan ‘apakah kebaikan harus dilakukan?‘, Semua individu akan secara pasti menjawab dengan afirmatif.
Tetapi ada suatu hal yang lebih menarik untuk diperdebatkan dan juga bisa menjawab pertanyaan mengapa perbuatan baik harus dilakukan. Hal tersebut adalah motif dari perbuatan baik. Motif dari perbuatan selalu mencerminkan suatu keputusan yang eksistensial.
Mungkin kita melihat seorang politikus dan seorang ustadz berbuat baik dan memberi makanan kepada orang-orang miskin, tetapi apakah kualitas eksistensial dari tindakan politikus dan ustadz itu sama? Tentu berbeda karena politikus dan ustadz tersebut mendasari tindakannya pada dua motif yang berbeda, mungkin politikus dalam melaksanakan tindakannya bermotifkan elektabilitas yang sifatnya keduniawian sementara ustadz dalam melaksanakan tindakannya bermotif pahala yang sifatnya kesurgawian. Dua-duanya merupakan tindakan yang baik tetapi memiliki kualitas yang berbeda karena memiliki motif yang berbeda.
Suatu keputusan eksistensial sangatlah ditentukan oleh motif. Kali ini saya akan membahas motif dalam keputusan eksistensial.
BACA JUGA: Membanggakan! Prestasi dan Inovasi Mahasiswa UI yang Dapat Mengubah Dunia
Motif-Motif dalam Tindakan Baik
Saya suatu kali pernah melihat poster di mading Gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Adapun poster tersebut berbunyi sebagai berikut.
“Beramalah karena hal tersebut akan bermanfaat untuk diri anda di masa depan”
Setelah saya membaca poster itu saya berfikir bahwa ternyata segala perbuatan baik kita sebenarnya didasarkan pada kemunafikan. Motif selalu mencerminkan kemunafikan, poster tersebut mengajak kita untuk beramal dengan motif menguntungkan diri kita di masa depan!
Jelas hal tersebut adalah suatu kemunafikan sehingga membuat perbuatan baik yaitu beramal mengalami penurunan kualitas eksistensial.
Seharusnya seseorang berbuat baik seperti beramal bukan karena hal tersebut menguntungkan diri mereka di masa depan ataupun akan mendapatkan pahala melainkan karena sadar memang hal tersebut adalah suatu kewajiban kita sebagai manusia.
Jika kita berbuat baik karena alasan seperti ingin mendapatkan pahala ataupun ingin mendapatkan keuntungan pribadi jelas motif-motif ini adalah suatu hal kemunafikan dalam suatu perbuatan baik sehingga menurunkan kualitas eksistensial dalam suatu tindakan.
Tanpa hadiah surga atau neraka dari Tuhan pun, perbuatan baik memang harus dilakukan karena itu adalah kewajiban otonomi manusia. Suatu ibadah kepada Tuhan dengan motif ingin mendapatkan kebahagiaan di dalam surga adalah juga kemunafikan. Kita beribadah kepada Tuhan bukan karena kita ingin mendapatkan surga dan ingin menghindari neraka tetapi kita beribadah kepada Tuhan karena hal tersebut adalah suatu kewajiban otonomi kita.
Seandainya Tuhan memberikan hadiah berupa neraka pun untuk orang yang taat kepadanya, kita tetap tidak akan merubah tindakan kita untuk menyembahnya. Keputusan eksistensial moral yang dilakukan dengan motif adalah suatu kemunafikan, mengapa kemunafikan? Karena kita mengharapkan pamrih didalam tindakan baik kita bukan karena kita sadar tindakan tersebut adalah kewajiban kita. Tindakan pamrih akan mengurangi penghayatan eksistensial.
BACA JUGA: 5 Tanda Ini Menunjukkan Bahwa Kamu Akan Jadi Orang Sukses di Masa Depan
Suatu Pencarian Eksistensi Manusia
Mengapa manusia berada di dunia ini? Keberadaan manusia di dunia ini bukanlah karena keinginannya? Manusia menghayati eksistensinya secara hampa makna karena eksistensi mendahului esensi. Jalan hidup yang kita pilih akan menentukan esensi kita dan masing-masing orang menciptakan esensinya sendiri.
Tetapi saya ingin mencetuskan suatu way of life bahwa tujuan manusia berada di dunia ini adalah menuju yang transendensi yaitu Tuhan. Karena di dalam ke-tak-bermakna-an hidup manusia, kita harus mencari makna dan satu-satunya pemberi makna di hidup kita adalah Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya sosok pemberi makna kepada eksistensi manusia. Sebagai way of life kepada trasedensi Tuhan, manusia tidaklah boleh pamrih dalam setiap perbuatan baik, mengapa? karena trasedensi kepada Tuhan didasarkan kepada keimanan. Di dalam perspektif iman tidak perlu kalkulasi, karena ini, karena itu, begitu sudah kalkulasi itu sudah bukan iman. Tindakan baik juga tidak perlu motif dan kalkulasi seperti ingin masuk surga ataupun mendapatkan keuntungan pribadi. Tindakan baik harus dilakukan karena tindakan itu adalah kewajiban kita sebagai iman kepada yang trasedensi karena kita telah memutuskan mencari makna hidup didalam Tuhan. Setiap motif tindakan baik adalah suatu kemunafikan eksistensial.
BACA JUGA: Hidup Adalah Perjalanan dan Perjuangan