Beberapa tahun lalu, orangtua mengajak saya untuk turut serta tunaikan ibadah umroh&haji, tapi sayangnya karena bentrok dengan kuliah, maka saya pun lebih memilih untuk tetap di tanah air dan jalani perkuliahan sbg mana mestinya.
Beberapa hari yang lalu, seorang karib kerabat orangtua bertandang ke rumah jelang Lebarang yg diputuskan secara labil oleh Departemen Agama RI. Kata Beliau setelah obrolan santai singkat, eh saya malah disarankan & dianjurkan untuk kembali rencanakan tuk pergi naik haji, karena kata Beliau, saya cocok jadi ustadz.
Tahun ini seperti biasa saya tidak turut serta mudik Lebaran, krn mengingat deadline skripsi yg dikumpulkan awal September, mepet dengan jadwal kepulangan keluarga besar dr kampung halaman. Namun beberapa tahun lalu, saya sempat ikut mudik, itu pun karena harus tuntaskan tugas wawancara terkait mata kuliah tertentu yg mengharuskan saya ke kota yg dekat daerahnya dari kampung halaman kami.
Maaf, kalau seandainya saya memulai tulisan ini dengan sedikit curhat yang mungkin tidak hanya terkesan colongan, tetapi juga tempelan. Maklum lha, namanya juga mahasiswa psikologi, kalau kata orang memang sudah tugasnyalah melayani curhat. Tapi boleh dong sekali-kali kami yang curhat 🙂
Lalu apa hubungan antara pergi naik haji dengan mudik? Dan apakah alasan ketidaksiapan akademis saya cukup untuk dijadikan alasan tuk menangguhkan kedua ritual & rutinitas religius juga spiritual tsb? Marilah kita lihat persamaan dan perbedaan dari beberapa fenomena di atas, karena sebenarnya ada lebih dari 2 kasus yg terjadi, yakni
(1) Pergi Naik Haji
(2) Jadi Ustadz
(3) Kesiapan Akademis
(4) Mudik
1. Pergi Naik Haji
Anda bisa search di Google, baca di Quran, kliping Koran, atau tanya kepada Ustadz & atau Ustadzah terdekat. Tapi saya disini ingin mengajak bertanya: Apakah Haji menurut saya, anda, kita, dan mereka? Sejauh manakah penting nya haji? Di manakah letak prioritas nya dalam hidup kita? Sudah siapkah kita pergi berangkat naik haji dengan jiwa raga, ekonomi, fisik, psikis, akademis (seperti saya), bahkan secara sosial yg tidak hanya menjadi tanggungan pribadi, tetapi juga tanggung jawab bersama?
Bagi saya, Haji adalah perjalanan sekaligus pengorbanan, apa pun alasan dan apa pun yang dikorbankan. Secara pribadi, sebenarnya bukan cuma karena alasan ketidaksiapan akademis, tetapi kesempatan kemarin saya belumlah merasa terpanggil atau mendapat hidayah, spt yg biasa diungkapkan oleh bara ahli kitab dan pemuka agama. Perlu ditambahkan juga mengingat keduaorangtua saya belum pernah bulan madu, sejujurnya saya tidak ingin mengganggu perjalanan nan romantis mereka berdua 🙂
2. Jadi Ustadz
Sebenarnya, saya memang pernah bercita jadi pemuka agama, atau yang biasa disebut sbg: Ustadz. Bahkan waktu SMA dulu saya sempat aktif di kegiatan keagamaan dalam ruang lingkup sekolah & sekitarnya. Tapi itu semua berubah seiring berjalan nya waktu, terlebih pada saat peralihan status akademis saya dari mahasiswa Fakultas Budaya ke Fakultas Psikologi, semua bergerak begitu cepat. Pola pertemanan yg semula hanya terbatas pada teman2 yg sering bercengkrama baik di Mushala & atau Masjid, hingga meluas ke Perpustakaan, lalu beralih ke Kantin-Kantin tidak hanya di fakultas sendiri, tetapi juga fakultas lain, hingga sampai kepada jaringan pertemanan di luar kampus, baik universitas, akademi, institut, politeknik lain yg negri maupun swasta juga.
Makin luas dan bebasnya pergaulan larutkan saya dalam dunia akademis yang terasa lebih semesta dari pada jagat raya itu sendiri. Lalu sampailah pada pertemanan via Twitter, dan disana pulalah saya kembali intens berkomunikasi tidak hanya pada jaringan media sosial yg lebih tak terbatas jangkauan nya. Disana lah saya juga lumayan rutin berkomunikasi baik dgn diri sendiri, bahkan Tuhan sekali pun. Hampir semua curhatan keseharian saya tertulis di tiap update status sebanyak 140 karakter itu. Di sana pula lah saya banyak belajar tentang perbedaan dan perdebatan, tentang pro, kontroversi, yg tertutup, juga yg frontal.
Hingga pada saat di sana saya lumayan sering mengutip ayat dan membahas 2relasi hakiki: Habluminallah (Relasi Manusia dgn Tuhan) & Habluminannas (Relasi Sesama Manusia). Bahkan tidak jarang yg sekedar Retweet, Mention, dan menanggapi sejauh mana apa yang saya sampaikan tsb layak dibaca. Itulah yg membuat saya berpikir kembali, mungkin apabila saya sampai putus sekolah atau Drop Out pada masa Rektor Tiran yg berikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Raja Arab, maka saya akan banting setir: Jadi Ustadz.
3. Kesiapan Akademis
Tidak terasa 2 tahun belajar & mengenyam bangku serta silabus kurikulum mata kuliah di Program Studi Indonesia FIB-UI sejak tahun 2004. Akhirnya saya pindah ke Fakultas Psikologi pada tahun 2006, dan sampai tahun 2011 ini saya masih bergelut dengan pertentangan batin dengan topik skripsi apa yang sebenarnya saya hasratkan tuk jadi buah karya selama berkuliah di Universitas Indonesia yg kabarnya punya Masjid 7 Lantai nan Megah jua Mewah di Salemba, sbg hadiah dari Raja Arab. Itu pun kalau tidak lanjur di-Drop Out oleh sang Rektor Tiran yang berikan Raja Arab yg sama sebuah gelar kehormatan akademis yg tengah jadi pertentangan dan kontroversi di khalayak umum nan ramai.
Di Fakultas Psikologi ini bahkan saya sempat ganti penjurusan / peminatan, dari Psikologi Klinis & Sosial, menjadi Klinis & Inudstri-Organisasi. Bukan saya tidak suka dan atau pun tidak minat atas kajian Sosial daripada kajian Sumber Daya Manusia juga Management. Tapi memang inilah jalan nya. Klise memang, tapi saya lah yg lebih paham dan mengerti juga menjalani pilihan ini, pada akhirnya.
Kebimbangan penuh ragu dan dilema pun tak berhenti disana. Tidak jarang saya mengganti topik skripsi saya, berkonsultasi dengan berbagai dosen yang berbeda, ikut peran serta dalam penelitian-penelitian yg diprakarsai baik oleh dosen maupun mahasiswa, hingga ikut berbagai aktifitas sukarelawan di berbagai lingkaran sosial, baik di dalam maupun luar kampus.
4. Mudik
Lebaran H plus 2, jika pakai perhitungan Lebaran menurut Pemerintah yang super duper uber Labil dan tidak tegas itu, saya kembali dihadapkan pada sebuah pertanyaan: Bagaimanakah Nasib Seorang Sahabat Yang Kemungkinan Alami Kecelakaan Motor Di Jalur Mudik Arah Nagrek Ke Ciamis Pada Jam 12 Siang Tadi? Semua teman di Twitter, DM, YM, BBM, SMS, Telepon, apa pun media komunikasi nya ramai2 panik dan kebingungan. Hingga detik ketika tulisan ini ditulis pun, masih belum jelas bagaimana kabar dan segala isu rumor serta kemungkinan yg terjadi menimpa sahabat saya dari kampus Paramadina tsb.
Jujur, belakangan ini saya lebih merasa jadi mahasiswa Paramadina dibandingkan Universitas Indonesia. Entah kenapa ikatan batin yang amat begitu kuat terhadap kampus itu juga mengingatkan betapa dulu saya juga sempat berhasil tembus SPMB 2005 di Fakultas Filsafat UGM, tetapi tidak jadi saya ambil karena terlambat daftar ulang. Lalu apa hubungan nya dengan mudik? Apa sebenarnya arti mudik? Apa kaitan nya dengan berbagai hal yang terjadi dalam hidup saya?
Mudik, bagi saya lebih banyak pengorbanan nya, juga lebih jauh jarak perjalanannya daripada pergi berangkat naik Haji. Lebih jauh karena Mudik meskipun hanya lintas kota/provinsi/pulau yg msh ada dlm satu Negara, tetapi macetnya lebih musafir daripada perjalanan pesawat udara ke tanah suci. Lebih banyak korban mengingat tidak sedikit korban kecelakaan yg terlanggar hidupnya selama perjalanan mudik pulang-pergi tempat rantauan dan kampung halaman, meski hanya Bogor-Ciamis sekalipun. Persiapan Mudik selama bulan puasa jauh lebih rumit daripada Persiapan Haji yg bahkan program perbankan baik syariah maupun konvensional sekarang banyak membuka layanan Tabungan Haji, bahkan hingga para agen2 travel dgn paket ONH Plus nya yang menggiurkan iman. Itu baru antara Mudik dengan Haji, bagaimana kaitannya dengan Akademis & Spiritualitas?
Secara Akademis, saya harus pertaruhkan, apakah skripsi ataukah kesempatan terakhir berkumpul dgn keluarga besar? Mengingat bukan tidak mungkin 2011 menjadi tahun terakhir saya bernafas, dan 2012 sudah lanjur kiamat seperti yang berhasil dijual oleh produk2 budaya pop dalam bentuk film & buku, baik ilmiah maupun hanya fiksi semata. Setidaknya yg saya pahami, bahwa kiamat itu ada di tangan Tuhan dan masih misteri, tetapi tidak dengan skripsi, yang hidup dan matinya ada di tangan saya.
Siapkah saya utk kerahkan tenaga dan fikiran untuk menulis selama perjalanan pulang balik mudik, pada saat berLebaran silaturhmi dgn keluarga besar, apa tidak teralihkan satu sama lain nya dan cenderung dipaksakan meskipun saya dapat multitasking? Saya merasa adalah kurang Kaffah rasanya jikalau proses akademis yg sedang saya geluti bercampur dengan perasaan kebersamaan dan larut dalam euforia silaturhmi.
Bukan tidak mau, tetapi saya tidak siap mudik jikalau hati dan otak tiadalah menyatu: hati ada di tempat duduk bercengkrama bersama keluarga, sedangkan otak ada di MacBookPro 15″ dan berbagai macam format file skripsi di dalamnya.
Secara Spiritualitas, sanggupkah saya mudik secara ruhani? Bukan hanya sekali ini saya alami pergolakan iman. Tidak jarang saya beribadah minggu, baik di gereja maupun kathederal, hanya demi mencari makna iLLahiah yang sebenarnya ada di dalam derasnya aliran nadi dan di tiap hela nafas tiap saat tak kenal hari, mau itu Jumat ataukah yang lainnya.
Tapi ada satu relasi yang buat saya masih ragu dan belum sepenuhnya yakin untuk mudik dan kembali seutuhnya dalam Islam: Relasi Hamba Sebagai Anak Tuhan. Tidak ada Anak Tuhan dalam Quran, yang ada hanya Sang Perawan Suci Siti Maryam. Isa adalah Nabi, bukanlah representasi Tuhan Bapa di Surga yg turun ke bumi dibalut Roh Kudus. Memang sensitif jikalau membahas tafsir kitab suci seperti ini. Perbedaan zaman dan pola pikir juga dapat pengaruhi. Inilah yg buat saya masih pertimbangkan, apakah sudah siap saya mudik ke kampung halaman iman yang amat merindu wajah Allah Sang Tuhan? Bukankah tidak harus menjadi pemuka agama untuk sampaikan kebenaran & keyakinan iLLahiah kepeda sesama, siapa pun mereka yg mau mendengarkan firman Nya?
Saya lebih siap untuk jadi Ahli Kitab, yang tidak hanya membaca & khatamkan lantunan ayat pasal dan suratnya, tetapi menghayati, meresapi, memaknai sepenuh hati tidak hanya tempelan tetapi implementasi nyata pada hidup ini, baik yang telah lalu, kini, maupun nanti. Kitab yg tidak hanya yg Suci tetapi juga yg dipertanyakan kesahihanya, atau bahkan cenderung sesat jika hanya dilihat sebelah mata. Bukan kah iman kepada Kitab & Nabi terdahulu adalah Rukun dalam Keyakinan?
Mungkin zaman sekarang mereka tak lagi disebut nabi: Ilmuwan, Seniman, Karyawan, & Relawan. Siapa pun bisa menjadi nabi bagi dirinya sendiri, selayaknya pemimpin yg akan dimintai pertanggungjawaban nya nanti, di dunia dan akherat secara terbuka, transparan, dan proporsional. Bagaimana dengan anda, siapkah anda Mudik Ruhani kembali ke kampung halaman iman, dan mentasbihkan diri sebagai Nabi bagi Semesta Jagat Raya dalam hati sanubari bagi diri anda sendiri?
*Allahua’lam bishawab.
2 September 2011M / 3 Ramadhan 1432H
(1) Pergi Naik Haji
(2) Jadi Ustadz
(3) Kesiapan Akademis
(4) Mudik
wah, wah, wah empat poin yang susah dan seringkali menegangkan dalam sejarah personal hidup manusia. Hahaha.
kalau mau dibahas agak-agak ruwet, empat poin tersebut merupakan hubungan kompekls sekaligus oposisi antara pilihan subyektif dengan kecenderungan norma kolektif.
“kalau yang masalah kayak gini, memang dari sononya sering jadi masalah”
manusia terkadang tidak punya kebebasan sama sekali, agak2 pesimis sih. cuma mau gimana lagi?
tetapi bisa juga kebalikannya, dalam terminologi agama: masih ada harapan (teologi pengharapan) dari setiap jejak hidup yang keras dan terjal.
ada buku penulis Italia, berjudul Pergilah Kemana Hati Membawamu Pergi, novel sentimentil yang kadang-kadang bisa membantu menguatkan atas kegelisahan putusan kehidupan kita.
“mungkin kita sering tidak sadar, bahwa ketika pertama kali kita hendak menghirup nafas yang pertama, itu bukan karena apa-apa, dan siapa-siapa, tetapi karena kita (dalam wujud bayi kecil lemah) memaksa diri untuk menyesakan kedua hidung, menyambut nafas udara pertama dunia”
bisa saja kita pada waktu itu berlemah diri, malas untuk menghirupnya, sekalipun ibunda kita sudah bersusah payah mendorong kita keluar….
ketika kita bisa dan masih hidup sampai hari saja, bisa kita artikan, kita masih memilih jalan ini …entah seberapa terjal, sesak, ataupun gelapnya kehidupan.
Seperti kata Pram, manusia terkadang terkalahkan dan tergilas sejarah zaman, tetapi manusia tidak seperti gabus yang terombang-ambing, terdesak dan tergelatak kesana kemari, lemah tak berdaya….
manusia lebih dari itu,
Yha, Manusia Lebih Dari Itu 🙂
Manusia lebih daripada sekedar menyesakkan nafas tuk hidup.
Bahkan Manusia juga lampaui masalah-masalah mereka sendiri, secara personal, baik sebagai pribadi aktual, intelektual, atau bahkan primordial.
Ketika Manusia berhenti memenjarakan diri dalam masalah-masalah di atas, maka apa lah lagi yang tersisa dari kehidupan yang tidak lebih dari sekedar helaan nafas belaka?
Wallahualam.