Degup semangat sahut menyahut dalam malam di sebuah tempat megah: gedung FK UI, yang saat itu bernama STOVIA. Pemicunya adalah seorang pensiunan dokter yang tiba-tiba berkeliling Batavia menggalang dana. Mas Wahidin panggilannya, dengan cita-cita menggalang beasiswa pendidikan untuk anak-anak Jawa yang berbakat. Dua tahun gagal mendapat dukungan, benih akhirnya bersemai di gedung STOVIA. Tempat anak Jawa, priyayi atau bukan, bisa mendapatkan pendidikan ‘dual-degree’ serta ikatan dinas seumur hidup mereka: diploma di Batavia, satu tahun sekolah lanjut di Belanda, sebuah gelar dokter Eropa, lalu kembali untuk mengobati buruh-buruh sakit di Sumatra Timur.
Sebagaimana dialog dua generasi pada zaman yang berubah, para calon dokter muda itu menuntut lebih dari apa yang ditawarkan. Oktober 1908, kaum muda sepakat dalam kongres, untuk Budi Utomo yang lebih dari sekedar mengurus beasiswa dan merawat kebudayaan. Politik ternyata bukan jalan yang direstui para tetua. Ide itu terhempas. Kelak keluar dari Budi Utomo dua pemuda STOVIA itu; Cipto Mangunkusumo, yang menaruh lencana penghargaan Belanda di pantat, dan Suwardi Suryoningrat, yang terang-terangan menyindir perayaan 100 kemerdekaan Belanda dari Napoleon Bonaparte di tanah Nusantara. Mereka bergabung dengan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij. Partai multi-etnis berisi orang Indo (Belanda campur) dan bumiputra, saat itu, baru partai tersebut yang terang-terangan menuntut kemerdekaan dari pemerintah Belanda. Bagi mereka kala itu pemerataan pendidikan tiada berarti jika secara politik tidak merdeka.
Di tempat lain di zaman yang sama, Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam. Bermula dari upaya untuk meningkatkan daya saing pedagang pribumi akan pedagang-pedagang keturunan Tionghoa yang sengaja lebih didukung Belanda. Tiga dari lima anggaran dasar tersebut berbau peningkatan karakter kewirausahaan, sisanya berbau keislaman. Salah satu anggarannya berbunyi: “Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat”. Pendidikan, karakter, laku-hidup, menjadi prioritas.
Sebagaimana semangat zaman yang menggelora saat itu, kemudi pergerakan sebenarnya agak searah. 1912, tujuh tahun setelah didirikan, H.O.S. Cokroaminoto menghilangkan ‘dagang’. SDI menjadi Sarikat Islam. Perkembangan SDI memang pesat, cabangnya bermunculan dan merangkul anggota multi suku dan etnis. Di tengah kondisi penjajahan, organisasi yang bisa merangkul dan menyatukan banyak bumiputra tentu memiliki potensi politis yang kuat.
1928, dua puluh tahun setelah berdiri Budi Utomo, tiga tahun setelah Tan Malaka menerbitkan “Menuju Republik Indonesia”, terjadi hal yang lebih indah lagi. Di gedung pondokan pelajar bernama Indonesische Clubgebouw, berkumpul organsasi pemuda dari segala penjuru Nusantara: Java, Soematranen, Bataks, Islamieten, Celebes, Ambon, Betawi, dll.
Tidak banyak yang tahu, pemuda-pemuda Tionghoa juga hadir dalam acara tersebut. Wakil Jong Soematranen Bond sendiri adalah Kwee Thiam Hiong. Bahkan pemilik gedung pondokan di jalan Kramat Raya 106 itu adalah Sie Kok Liong. Di tempat lain, AR Baswedan menghimpun pemuda Nusantara keturunan Arab untuk bersumpah bertanah air di tempat kelahiran mereka. Tidak banyak yang tahu, ada hal lain selain sumpah pemuda yang melegenda itu. Bahasan di hari terakhir kongres adalah pentingnya pendidikan anak yang demokratis, dekat pada kebangsaan, juga kepanduan yang mampu mengajarkan disiplin dan kemandirian.
Jikalau kita napak tilas jauh ke belakang. Tujuh abad sebelumnya, ada seseorang yang pernah bersumpah untuk menyatukan nusantara. Namun, tidak ada dasar nilai luhur di sana. Sumpahnya murni agresi politik.
…
Hampir semua gerakan kemerdekaan, dan mungkin gerakan perubahaan pada umumnya, bermula pada bagian terpenting dari peradaban: manusia itu sendiri. Bila akhir dari cita-cita politik zaman kolonialisasi adalah pemerintah dari dan untuk bangsa sendiri. Maka cita-cita membangun budaya bangsa Indonesia berujung pada termanusiakannya manusia Indonesia. Sebuah perjalanan yang lebih sulit, terjal, dan panjang.
Lalu apa itu manusia yang termanusiakan? Sebuah diskusi filosofis yang melelahkan bisa jadi jawabannya. Tapi setidaknya, Mas Wahidin beranggapan, adalah manusia yang bisa bebas terlahir dari kaum apa saja, namun tetap memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Bagi Samanhudi, adalah manusia yang mudah mendapat akses pada pengajaran dan segala usaha untuk menaikan derajatnya. Juga yang berkarakter wirausaha. Menurut pemuda angkatan 1928, adalah yang mendapatkan pendidikan yang demokratis, sesuai dengan yang dia minati, ditambah dengan kepanduan yang menghantar kepada gaya hidup yang disiplin dan mandiri.
Bagi bangsa Jerman di abad 17 & 18, hal ini mungkin senada dengan Bildung. Sebuah gerakan kebudayaan yang mengangkat kesadaran bahwa termanusiakannya seseorang adalah pada pertumbuhan intelektualitas, moral, estetika, dan kebebasannya. Bergerak ke ranah yang lebih ilmiah. Mungkin ‘termanusiakan’ itu ada di puncak piramida Maslow. Manusia yang sepenuhnya berorientasi pada aktualisasi karena telah terpenuhi semua kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Mungkin ‘termanusiakan’ berarti mampu menghayati Kaidah Emas, dasar moralitas untuk memperlakukan orang lain sebagaimana dirinya di posisi orang tersebut. Mungkin ‘termanusiakan’ itu adalah ‘tumbuh di negara yang telah memenuhi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya’.
…
Jika terdapatlah dua pilihan imajiner. Yang satu adalah Indonesia yang merdeka secara politis, namun berpuluh tahun gagal memanusiakan rakyatnya. Dan yang satu lagi adalah Indonesia yang tidak merdeka secara politis, namun berhasil memberikan kesempatan bagi seluruh rakyatnya untuk terus tumbuh berkembang dan mengaktualisasikan dirinya. Manakah yang akan kita pilih?
Sebelumnya kita sering mendengar istilah ‘mengisi kemerdekaan’. Timbul pertanyaan, apakah memang ‘merdeka’ itu yang utama? Yang perlu selalu dikenang untuk seterusnya diisi? Memang, tidak perlu diragukan lagi manfaat-manfaat yang dibawa dari deklarasi kemerdekaan republik ini. Tapi apakah hanya ‘negara’ tujuan utama bangsa ini?
Adalah sebuah fakta sejarah, bahwa cita-cita luhur memanusiakan rakyat Nusantara lebih dulu ada, dan justru menjadi penyebab munculnya cita-cita kemerdekaan. Juga dengan fakta bahwa cita-cita pertama tersebut jauh lebih sulit dan panjang untuk diwujudkan. Mungkin bisa ditarik kesimpulan: cita-cita merdeka hanyalah sub-bagian dari cita-cita memanusiakan rakyat Nusantara, sebuah batu loncatan kecil.
Pendirian negara-bangsa adalah awal dari kerja keras panjang untuk tujuan yang lebih luhur, besar, dan mendasar, bahkan dari lepasnya belenggu kolonialisme itu sendiri. Negara dan segala keperangkatannya adalah kendaraan atau jalan.
Kali ini mari kita bertanya pada diri. Sudahkah kita bawa negara-bangsa ini mendekati cita-cita luhur tersebut? Atau malah menjauhkannya? Dan kita tidak hanya bicara Jakarta, tapi juga di ujung Sabang, Merauke, Papua.
Jangankan bicara tentang menunaikan cita-cita luhur. Menjalankan negara secara sehat dan wajar saja kita masih tertatih-tatih. Sungguh. Terkutuklah para koruptor dan politikus kotor di sudut-sudut pemerintahan dan perusahaan. Arwah pejuang dan jiwa-jiwa anak-cucu kita nanti akan terus mendoakan yang terburuk untuk kalian. Kisah sebuah negara besar, yang defisit stok negarawan.
Di akar rumput, tempat kita semua berada, kita kehilangan keramah-tamahan kita yang dulu terkenal. Pergilah berkendara di Jakarta, khususnya di saat padat. Akan kita lihat; mungkin kitalah makhluk bar-bar jalanan itu. Dengan segala sumpah serapah, tempramen, dan keringan-tanganannya.
Apakah percuma kita merdeka?
…
Hampir satu abad setelah didengungkan cita-cita luhur itu di tanah Nusantara. Anies Baswedan, cucu dari AR Baswedan, bergerak menghimpun sarjana Indonesia untuk membantu mengajar dan memberi inspirasi ke pojok-pojok Nusantara. Saptuari, pengusaha Jogja, menghimpun dana dari rakyat dan menyalurkannya ke anak-anak miskin atau terlantar yang terlahir dengan cacat atau penyakit berat. Seolah-olah menyindir pemerintah yang kesulitan memenuhi janji mereka sendiri. Kini, rakyat dari akar rumput yang bergerak. Sebagaimana yang dicontohkan para leluhur yang telah mengenalkan cita-cita luhur. ‘Lebih baik menyalakan lilin, dari pada mengeluh pada gelap’, tulis Anies di bio Twitter-nya.
Semangat ‘swalayan’ ini sebenarnya juga berlaku ke diri kita masing-masing. Diri kita adalah satu-satunya manusia bisa kita kontrol. Sudahkah kita menggerakan diri menjadi pribadi yang mewujudkan dan mencontohkan cita-cita luhur tersebut? Sudahkah kita memanusiakan diri kita? Apa saja yang kita lakukan agar kita bisa beraktualisasi penuh di puncak piramida Maslow? Sebagai mahasiswa, sub-kelas rakyat Indonesia yang amat beruntung, apa saja yang kita lakukan untuk menghabiskan waktu?
Konon katanya, satu abad yang lalu, di setiap malam di asrama, mahasiswa STOVIA menunaikan ritual mereka: menyanyikan lagu revolusi Prancis dengan berkobar-kobar. “Kita lawan tirani!”.
Lalu apa tirani yang akan kita hadapi duhai mahasiswa zaman ini? Sebenar-benarnya tirani, yang membuat bangsa ini kesulitan memanusiakan manusianya, bahkan setelah menjadi tuan di tanah sendiri.
Yang membuat merdeka kita ini terasa sia-sia.
wahidin, samanhudi dkk, ga pernah mengenluh kenapa indonesia harus dijajah..ga pernah berandai-andai harusnya indonesia tidak dijajah.. dan pergerakan yang mereka buat murni untuk melawan ketidakadilan yang timbul dalam masa penjajahan…mengutip apa yang saudara kutip dari anis baswedan..lebih baik menyalakan lilin daripada mengeluh akan gelap…lebih baik mengisi kemerdekaan ini dengan apa yang kita bisa..bukan mengeluh tentang keadaan bangsa ini yang semakin buruk menurut saudara setelah kemerdekaan…justru pernyataan putus asa seperti ini akan menambah jeritan para pejuang kemerdekaan…ingat yng memerdekakan indonesia adalah pemuda..yang menghancurnya adalah bangkai-bangkai tua..jika saudara mempertanyakan masalah patriotisme dan saudara menghujat para bajingan koruptor..pertanyaan pertama saya yang harus anda jawab adalah kemana anda akan mengamalkan ilmu anda setelah lulus??masuk ke perusahaan asing dengan gaji besar atau berkontribusi memajukan bangsa ini??
@maskur dan semua
Ide utama tulisan ini adalah penemuan* bahwa ternyata ide dan pergerakan tentang NKRI, mulanya tumbuh bukan dari cita-cita kekuasaan politis, melainkan dari cita-cita pembangunan karakter manusia-manusia di akar rumput.
Di sisi lain, perangkat negara kita saat ini, sang penerus estafet NKRI 1945, menaruh sedikit perhatian kepada apa yang esensial. Yang dulu di cita-citakan Wahidin, Samanhudi, dkk. Yang justru jadi pemicu NKRI 1945 itu sendiri.
Di sisi lain, sudahkah kita, manusia di akar rumput, menaruh perhatian pada pembangunan orang-orang dekat sekitar kita, keluarga kita, atau (yang minimal tapi wajib) diri kita sendiri?
Namun juga, ternyata selalu ada secercah harapan, yang sekali lagi, muncul dari akar rumput. (Terkait Anies, Saptuari, dkk).
Adapun judul tulisan ini dan pertanyaan retorisnya, hanyalah ‘bungkus jurnalistik’ dari ide utama tersebut. Dengan perangkat negara yang seperti ini, dengan laku kita masing-masing di akar rumput, percumakah NKRI merdeka?
*) Penulis sadar masih awam dalam studi sejarah. Mohon koreksi kalau ada salah.
NB: Tulisan ini juga dipicu oleh tulisan Daoed Joesof di kompas dalam memperingati hari kebangkitan nasional tahun ini. Materi banyak diambil dari tulisan tersebut dan caping Goenawan Moehammad tentang STOVIA,
Kritik dan saran tentang teknik menulis amat dinanti.
Juga diskusi tentang ide utama dalam tulisan ini.
Terkait pertanyaan akan kemana penulis setelah lulus: kebetulan bukan ke-perusahaan-asing-dengan-gaji-besar.
Tapi ini opini pribadi penulis saja, ‘apa yang salah dengan ke-perusahaan-asing-dengan-gaji-besar’? Apakah itu sudah pasti tidak berkontribusi-memajukan-bangsa ini? Kalau dia hidup sederhana dan menyumbangkan mayoritas gaji-besar-nya ke gerakan SedekahRombongan Saptuari? Kalau misal gaji tersebut disumbangkan ke pembangunan manusia, tapi di bangsa lain? Bagaimana pendapat bung terhadap orang tersebut?
Penulis menaruh hormat kepada ilmuwan-ilmuwan bangsa Indonesia yang bergaji besar melakukan riset di luar negeri bersama ilmuwan dari bangsa-bangsa lain. Mereka melakukan sesuatu yang besar di bidang mereka, untuk bangsa yang lebih besar, bangsa manusia. (Tanpa merendahkan mereka di Indonesia yang memilih untuk membangun bangsa yang terdekat dengan mereka, bangsa Indonesia)
Sekedar opini pribadi. Diskusi tentang ini menarik, tapi penulis kira berada di luar topik penulisan ini. Mari kita lanjutkan di rizky.syaiful@ui.ac.id
Terima kasih bung Maskur. 🙂
Salah satu inspirasi tulisan ini juga datang dari http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/27/saya-takut-hidup-di-jakarta/
#wajibbaca