Obama Telah Mati

Amerika November Lalu

November tahun lalu, punggawa demokrasi, Amerika Serikat, riuh rendah dan hanyut dalam kegembiraan yang membuncah. Semua sorotan mata dunia seolah tertuju dan ikut merasakan gegap gempita “kemenangan” negara adikuasa itu. Ya, AS baru saja menghelat pesta demokrasi paling bersejarah dalam sejarah negara tersebut. Momentum langka ini, lalu dielu-elukan sebagai kebangkitan demokrasi AS setelah terakhir terjadi pada tahun 1919.

Kemenangan Barrack Hussien Obama atas John Mc Chain dalam pertarungan pemilihan umum seakan membuka lembaran baru bagi demokratisasi AS. Obama adalah orang kulit hitam kedua setelah Marthin Luther tampil sebagai pemimpin AS. Simbolisasi ini selanjutnya dianggap oleh banyak pengamat akan membawa angin segar bagi AS dan dunia internasional.

Para analis dan pengamat politik internasional berkomentar di sana sini. Sebagian besar mereka bersepakat pada satu hal: Obama adalah harapan baru bagi perdamaian dunia. Analisis ini secara simplisistis menilai bahwa Obama lebih moderat daripada pendahulunya, George W. Bush, yang cinta perang.

Prediksi ini semakin diyakinkan dengan gaya orasi Obama yang flamboyan nan kharismatik sepanjang masa kampanye. Kata yang tidak pernah absen keluar dari mulut Obama dan tim kampanyenya adalah kata Change. Ya, perubahan seolah menjadi kata berkekuatan magis yang mampu menyedot perhatian dan simpati publik AS dan dunia. Sehingga, kata itu telah melambungkan nama Obama. Dengan modal itu, Obama mampu menaklukkan rival politik satu partainya, Hillary Clinton. Dengannya pula, Obama berhasil menyingkirkan rival senior dari partai Republik, John Mc. Chain.

Change, sebuah kata yang menggugah jiwa dan menghentakkan segenap rasa. Ia bak energi yang tak pernah habis. Laksana sihir yang merasuk ke alam bawah sadar kemudian mengendalikan akal sehat setiap orang. Sehingga, penglihatan dan penilaian objektif sudah tergantikan oleh “sesuatu yang disana” yang selama ini hilang dan dinanti. Change, Yes! We can Believe in! Merupakan jajaan Obama yang tak kan terlupakan oleh masyarakat AS dan dunia.

Kebutuhan pada change semakin mendesak dirasakan oleh karena realitas objektif mengatakan bahwa dunia tengah berada di titik nadzir. Konflik berkepanjangan tiada mengenal kata henti, entah di ranah dalam negeri, regional, entah internasional. Masyarakat dunia hampir putus asa. Keadaan makin diperburuk oleh krisis ekonomi global yang menerpa AS. Negara raksasa ekonomi dunia goyah dan berdampak pada dunia internasional.

Kehadiran Obama ke pentas politik global dengan menjadi pemimpin AS seakan menjadi obat pelipur lara, apalagi dengan “jualan” change yang kerap dijajakan Obama. Tak pelak lagi, Obama pun bermetamorfosis menjadi satria kuda putih.

Amerika Desember Baru Saja

Ada bingkisan spesial dari negara agresor, Israel, untuk menutup tahun 2008. Jika warga dunia merayakan momen-momen akhir tahun hingga pergantian tahun dengan berlibur dan melakukan arak-arakan, maka tidak demikian dengan Israel. Ia ingin menunjukkan pada dunia “cara” berbeda. Cara itu adalah dengan menyerang secara brutal dan biadab ke Palestina pada 27 Desember 2008 yang lalu.

Dunia pun terhenyak. Masyarakat internasional tersadar bahwa perdamaian masih “sesuatu yang di sana” dan belum terjamah. Bahwa ancaman senantiasa masih mengintai.

Gelombang reaksi dunia untuk solidaritas Palestina terus mengalir. Sebagian besar mereka mengutuk dan mengecam agresi militer Israel yang hingga hari ini telah menewaskan 650 lebih rakyat Palestina. Alasan pembelaan diri tentu tidak logis dan proporsional jika kita tempatkan di sini.

Kenyataan kemudian berubah sama sekali. Dunia yang kita kira telah bersih dari penjajahan konvensional, ternyata masih tersisa. Agresi Israel adalah buktinya. Dunia lebih terkejut ketika AS menyatakan dukungannya atas aksi Israel terhadap Palestina. Pernyataan itu secara langsung disampaikan Presiden Bush beberapa hari setelah agresi itu berlangsung.

Ironi memang. Sebuah negara yang tidak lama berselang dari gawean pesta demokrasinya, menelan ludah sendiri oleh karena memberi pembelaan ini. Bahkan, kenyataan juga membeberkan bahwa AS tidak sekedar mendukung lewat statement, lebih dari itu, AS telah menghibahkan roket, pesawat perang, rudal, dan peralatan perang lainnya yang tercanggih dan diproduksi spesial untuk Israel demi kepentingan perang. Luar biasa. Ke mana dengungan demokrasi dari leher Bush yang busuk itu?

Setelah banyak tokoh internasional berkomentar atas perang ini, dunia masih menanti-nanti mana riak-riak change yang diobral Obama. Dunia seolah menunggu sikap satria kuda putih mereka. Adakah dunia makin teryakinkan dengan janji-janji perubahan tersebut. Dunia memang menunggu reaksi “pahlawan” demokrasi AS ini.

Jauh panggang dari api. Reaksi, walau sekedar dalam bahasa diplomatis (baca: basa-basi), tidak kunjung meluncur dari mulut yang dulu begitu lantang meneriakkan change itu. Mana lidah “perubahan” itu? Adakah ia kelu untuk mengatakan bahwa ini adalah kejahatan dan harus segera dilakukan perubahan?

Sakit hati saya, ketika baru setelah 12 hari masa penyerangan Israel ke Palestina, Obama berkomentar. Namun demikian, komentarnya kali ini jauh dari harapan dunia. Statement tidak bermuatan gertakan, sekalipun cuma gertak sambal, atas tindakan biadab Israel. Ia hanya melontarkan statement yang datar, dan jauh berbeda dengan tatkala dia kampanye dulu.

Mengapa ia bungkam di tengah peristiwa yang kasat mata telah meradang nyawa? Mana change itu? Mengapa komentarnya hanya bernilai “hangat-hangat tahi ayam”?, tidak berbobot sama sekali. Padahal, dalam peristiwa “teror Mumbai” beberapa waktu sebelumnya, Obama begitu garang melontarkan pernyataan. Kata kutukan dan kecaman mengalir deras tanpa hambatan dari otak ke lidahnya. Pernyataan itu ternyata tidak untuk penyerangan Israel ke Palestina. Obama bisa saja berdalih bahwa ia baru bisa menentukan sikap setelah secara resmi dilantik jadi presiden 20 Januari mendatang.

Realita yang mengangkang di depan mata semakin menandaskan bagi kita bahwa ada yang tidak beres di planet bumi yang kita huni. Pembantaian dan kejahahatan jelas-jelas di depan mata, tapi tidak ada yang mampu menghentikannya. Dan, satria kuda putih pun bungkam. Hilang sudah harapan itu padanya. Karena dia telah mati. Mati sebelum waktunya. Entahlah !

5 thoughts on “Obama Telah Mati”

  1. hari ini jadwalnya dilantik,
    sejak hari ini pula change itu mulai dinanti,
    benarkah?
    untuk kehidupan orang AS sendiri, memang mungkin.
    tapi sulit untuk Islam dan umat Islam.
    la wong dia waktu pencalonan diisukan beragama Islam sudah kayak orang kebakaran jenggot (padahal g ada jenggotnya ding)… apalagi membela kepentingan Islam.
    jadi (hampir) mustahil).

    karena change Islam dan umat Islam hanya ditentukan dan diwujudkan umat Islam sendiri..

    ok2, setuju..

    Reply
  2. Wajar lah Obama bela kepentingan konstituen -nya, AIPAC (Lobby Israel) ngasih dana cukup besar waktu masa kampanye dia.

    Yang salah ya orang yang dengan mudah berhara-p dia ‘beda’ gara-gara berdarah Kenya atau tinggal di ‘menteng’.

    Obama jadi presiden yang untung bukan dunia, tapi Amerika karena seolah ada ‘change’ padahal itu fatamorgana.

    Reply
  3. yah…benar kata teman2 di atas. change itu bukan berarti change the whole world. yah, paling2 change the united states. saya sepakat bahwa jika umat islam ingin ada perubahan ya dimulai dari umat islam itu sendiri. merupakan suatu hal yang konyol jika menggantungkan harapan pada umat yang lain.

    namun tentu kita harus bersikap fair pada obama yang (mungkin) akan membawa angin baru pada perubahan peta perdamain dunia (dengan meng exclude palestina-israel). yah, let see lah..

    Reply
  4. Rasanya wajar saja kalau Obama menolak untuk berkomentar atau bertindak lebih jauh saat itu. Selain karena dia saat itu belum dilantik dan karena ada dukungan dari Yahudi, jangan lupa bahwa ada satu hal lain:

    Usaha pembunuhan presiden bukan hal aneh di AS.

    Secara kasar, menurut saya, banyak alasan dari kaum konservatif buat membunuh Obama. Kulit hitamnya itu terutama salah satu alasan yang bernada rasialis. Nah kalau dia bertindak agresif dengan menentang jelas-jelas tindakan Israel atau yang aneh-aneh lainnya, dia cuma akan menyulitkan diri sendiri.

    Pelan-pelan lah. Jangan bermimpi perubahan drastis, menurut saya. Lagipula bukannya Obama sudah berjanji untuk membenahi negerinya sendiri dulu?

    Reply

Leave a Comment