Pemira dan Parokis

Beberapa waktu lalu layar televisi kita pernah dijejali oleh tayangan reality show misteri. Beralih kemudian ke reality show percintaan, beralih lagi ke musik. Terus berputar hingga kini kembali (lagi) penonton dijejali oleh tayangan misteri, persis seperti awal-awal genre tersebut muncul. Perhatikan pola dan konten tayangan yang itu-itu saja. Pada intinya kesimpulan yang didapat adalah konten dan pola akan terus berulang. Kemasanlah yang membedakan.

Pemira, sampai kapanpun akan seperti itu: ada kandidat, ada isu, ada kampanye hitam, ada labeling, dan anu-inu. Sangat minim argumentasi. Kemasannya pun sama. Namun, sebenarnya masih lebih baik dari parodi sinetron ala Cinta Fitri: harta dan cinta. Setidaknya, pemira jauh lebih bermakna ketimbang “mainan” hampir 35% rakyat Indonesia itu. Ada nuansa bernegara yang dibawa oleh mahasiswa. Namun, apa jadi jika incumbent berkuasa dibayangi kecemburuan parokial plus bumbu isu lama yang ditaburi ke anak-anak baru? Beberapa belas tahun akan tertarik sebuah hipotesa: Tarbiyah lagi, lagi, dan lagi. Hingga ada candaan pesimistik: botol kecap pun dapat maju.

Labeling, pembunuhan karakter, tunjuk hidung, dan demonisasi terhadap anak-anak Tarbiyah menjadi makanan “khas”, kalau tak disebut “basi”, bagi Pemira. Ya, seputar itu saja. Setiap tahun kaum parokis gemar mengeluarkan isu itu, sehingga esensialisme seperti platform, visi-misi, program, dsb menjadi tak menarik lagi untuk diperdebatkan. Anehnya, sebagian mahasiswa ikut-ikutan nyantol di hal yang sangat tidak bernilai tersebut. Berharap saja ini bukan point of no return Pemira, sehingga menjadi akut.

Esensialisme ke-ketua-an tidak inheren dengan logo kampanye dan historis ideologi (yang sangat basi untuk dibicarakan). Dua hal yang jadi bulan-bulanan bagi parokis tahun ini untuk melakukan labeling, pembunuhan karakter, dan tunjuk hidung. Sangat tidak penting! Seharusnya konsep mikro-negara—dalam hal ini Pemira—menjadi ajang tanding argumen kecerdasan: visi-misi yang dibawa, program yang diusung, dan platform kebijakan setahun ke depan. Kritisisme esensial macam ini yang hilang dalam Pemira kampus—yang katanya kampus dan gerakan mahasiswa terbaik se-Indonesia ini. Apakah 1.9 milyar rakyat China peduli dengan cara pandang komunis-sosialis para elit, sedangkan rasio pertumbuhan ekonomi nyaris mencapai 18%? Asal perut kenyang, hasrat manusiawi terpenuhi, dan kesejahteraan bertambah, peduli apa dengan bendera dan ideologi?

Lebih dramatis, saat banyak Anak-Baru-Gede bicara lebih gede dari umur. Pengetahuan segantang tak lebih dari sesukat membebek berbaris mencaci-maki. “Lagi-lagi Tarbiyah lagi.” Si A-B-G Iqra lima pun tak lulus, shalat saat-saat injuri, tapi kalau bicara caci-maki sangat fasih. Mereka, A-B-G, tak lebih hanya jadi Guinea Pigs (baca: kelinci percobaan) wacana kampanye hitam orang-orang yang kehabisan ide. Memang sisi emosional kadang lebih mudah untuk menarik massa yang, maaf, social economic status (SES) mereka di bawah standar—dalam hal ini kekurangan intelektualitas ala anak-anak baru. Lihat saja siapa penonton sinetron, tayangan misteri, dan program musik di televisi.

Mereka (anak-anak Tarbiyah itu) jauh lebih baik ketimbang parokis yang berkicau. Ini perihal perang ide. Tak ada kekuatan hegemonik yang dapat melestarikan orde. Yang menjadikannya mampu bertahan adalah ide. Dari Rahim itu lahir ideo-logi. Tepat seperti apa yang dipaparkan oleh R.E Elson dalam The Idea of Indonesia. Bahwa kita (Anda dan saya) lahir di sini, berbahasa seperti ini, memiliki budaya seperti ini adalah konstruksi karsa pendahulu. Rumusan tentang identitas primordial. Terlahir: Indonesia sebagai sebuah ide. Itulah sebab, bahwa mereka mampu bertahan adalah akibat ide yang menopang dan mengakar. Mereka jauh lebih mudun dan siap berdemokrasi.

Sistem ide, kader, loyalitas telah tuntas mereka miliki. Agaknya sebab itu mereka tangguh. Bilamana tak ada itu, jadilah kicauan, igauan, dan paksaan yang lahir. Lahir prematur—tanpa ide namun masih sanggup mencerca (melirik parokis). Tong kosong. Lalu mengapa para parokis bertingkah seperti itu? Jawabannya sederhana: minim ide. Mereka hanya iri: tak punya gagasan untuk membangun sistem, tak ada pikiran untuk membentuk kader, tak ada komitmen mendefinisikan loyalitas. Itu saja. Eskapisme dari serba-kurang ini adalah labeling, pembunuhan karakter, tunjuk hidung, dan demonisasi terhadap anak-anak Tarbiyah. Menyalahkan anak-anak Tarbiyah karena mereka, yang iri itu, tidak mengantongi ide yang begitu besar tentang demokrasi.

Kontinuitas sejarah dalam hal ini menantang Montesquieu yang mengatakan sejarah tidak kumulatif dan diskontinyu. Pada kenyataannya, tumbuh-kembang gerakan Tarbiyah bukanlah sebuah plot “kebetulan sejarah” ala Montesquieu. Mereka tidak lahir dari despotisme, pun bukan kreasi big bang. Tetapi, mereka lahir dari kesadaran penuh untuk berdemokrasi. Mereka adalah kumulasi ide yang menjadi rentetan sejarah. Meski sebagai entitas manusia mereka tetap saja memiliki kekurangan, seperti lebih mementingkan kelompok, jauh terlihat eksklusif, terlihat terkait dengan suatu parpol, dsb. Namun, bukan itu yang jadi soal. Yang jauh lebih esensial adalah sejauh mana mahasiswa mampu berargumentasi ketimbang mengeluarkan isu parokial yang sangat tidak penting.

Jadi, hey, parokis! Hentikan parodi itu jika memang ingin berdemokrasi. Tunjukkan bilamana jauh lebih ber-ide, ketimbang mengumbar makanan yang sudah basi.

sumber : selebaran di sekre bem Fasilkom

Leave a Comment