Penerima Beasiswa dan Tanggung Jawab Sosial

Kebijakan Biaya Pendidikan

Masih segar dalam ingatan saya, empat tahun silam ketika salah satu mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menerangkan tentang awal permulaan diterapkannya kebijakan Uang Pangkal (UP) di UI. Bagaimana kebjiakan dari Rektorat dikeluarkan lantaran kebutuhan UI begitu besar dalam hal menunjang pendidikan. Hal ini diperuntukkan demi kemajuan dan mutu pendidikan yang diterapkan oleh UI itu sendiri. Namun dengan dikeluarkannya kebijakan ini, tidak serta merta diterima begitu saja oleh mahasiswa UI. Ketika itu, digambarkan dalam surat kabar kampus, surat kabar lokal hingga liputan berita di televisi bagaimana mahasiswa UI berdemonstrasi atas keluarkannya kebijakan ini. Tuntutannya adalah pihak Rektorat agar transparan dalam menetapkan kebijakan dan dalam mengelola anggaran. Di samping itu, alasan dilakukannya demonstrasi adalah akan timbulnya antipati dari calon mahasiswa UI karena belum apa-apa sudah melihat harga pendidikan yang begitu mahal dan kesan UI sebagai “kampus rakyat” justru menjadi “kampus konglomerat”.

Jikalau dirunut berdasarkan sejarahnya, kebijakan itu berawal ketika UI berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Di mana negara masih menjamin keberlangsungan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan membiayai kebutuhan PTN sesuai dengan APBN yang disahkan pada tahun itu. Maksudnya, ada penjatahan tetapi besarannya dikurangi dari sebelumnya. Hal ini dikarenakan agar pemerintah dapat mengalokasikan anggaran pada pos-pos lain. Perubahan status ini tidak hanya UI tetapi terjadi pula di PTN lain seperti UGM, ITB, Unpad, dll.

Angkatan yang pertama terkena imbas dari dikeluarkannya kebijakan ini adalah angkatan 2004. Kala itu benar-benar terjadi penolakan terhadap sistem yang baru sehingga ada saja “celoteh” ataupun “sentilan-sentilan” yang dilakukan oleh mahasiswa terhadap sistem baru ini. Toh setelah berjalan beberapa tahun, pada akhirnya mahasiswa agak “melunak” karena UI memberikan ruang bagi mereka yang tidak mampu asalkan menyerahkan syarat-syarat yang diajukan. Pun, saya bertemu dengan mahasiswa yang mendapatkan keringanan dari UI dengan hanya membayar Rp. 100.000/semesternya (DKFM). Dia menceritakan bagaimana pengalamannya kala itu dibantu oleh UI mendapatkan keringanan dan beasiswa selama ia kuliah di UI (sekarang mahasiswa tersebut sudah lulus – Elektro FT UI’04).

Sekarang sistem itu sudah berganti lagi dengan sistem berkeadilan. Untuk yang satu ini, saya masih samar-samar sistemnya. Konon katanya, memang penyempurnaan dari sistem yang diterapkan sebelumnya. Di mana tidak semua orang hanya bayar SPP sebesar Rp. 1,3jt untuk sosial dan Rp. 1,5jt untuk eksakta, akan tetapi dibuat sistem yang melihat latar belakang dari orang tua/wali dari mahasiswa tersebut. Sepengetahuan saya masih banyak lagi keunggulan dan kekurangan dari sistem yang baru ini.

Tanggung Jawab Sosial

Point of view yang diangkat dalam tulisan ini bukan runtunan sejarah BHMN berubah ke BHP, melainkan bagaimana seorang yang telah mendapatkan “keringanan” (bahasa keringanan saat ini diubah menjadi beasiswa) untuk masuk UI seharusnya memiliki tanggung jawab sosial yang harus dibayarkan selama kuliah di UI. Tanggung jawab sosial yang dimaksud adalah bagaimana mahasiswa penerima beasiswa dapat memberikan informasi yang jelas kepada adik-adik yang masih duduk di bangku sekolah (SMA). Informasi yang dapat disampaikan berbagai macam, mulai dari penyampaian informasi beasiswa, cara pengajuan beasiswa, sistem pembayaran, dll dapat diterangkannya minimal di sekolah asal mahasiswa tersebut ataupun ke tempat-tempat lainnya (masyarakat luas).

Hal ini menurut hemat saya, akan membuat kerja dari UI, BEM, ataupun divisi advokasi dalam penyampaian informasi semakin ringan. Dikarenakan, dengan timbulnya tanggung jawab sosial ini pada akhirnya memiliki manfaat dan bisa menjadi nilai tambah bagi mahasiswa itu sendiri hingga munculnya pemahaman yang komprehensif bagi masyarakat luas.

Menurut hemat saya, seorang yang mendapatkan beasiswa, memiliki tanggungan untuk mengembalikan dana yang digunakan tersebut. Kalaupun belum bisa mengembalikannya saat itu juga maka penyampaian informasi kepada adik-adik yang masih duduk dibangku sekolah bisa menjadi salah satu alternatif untuk “membayar” beasiswa (hasil subsidi APBN, sumber dana kampus, perusahaan pemberi beasiswa, orang tua asuh, dll) selama kuliah di UI.

Penerima Beasiswa

Kini, hati ini terkoyak dengan melihat beberapa aksi yang dilakukan oleh penerima beasiswa yang pernah dibantu untuk mendapatkannya. Di mana beberapa mahasiswa tunggang langgang bak seorang raja yang harus dilayani dan hanya memperkaya diri dengan beasiswa yang mereka dapatkan.

Padahal, masih segar diingatan saya, bagimana beratnya perjuangan mahasiswa tersebut untuk mengajukan beasiswa, susahnya birokrasi yang harus dilewati (dari meja ke meja), membawa orang tua sebagai bukti kondisi ekonomi yang dihadapi. Ada pula orang tua/wali harus menitihkan air mata untuk menceritakan ketidak mampuan ekonomi yang dihadapi bahkan jikalau dibiarkan mungkin kan berubah menjadi titihan darah.

Beratnya perjuangan tersebut seakan begitu saja terlupakan setelah mendapatkan beasiswa. Bahkan sampai-sampai tak ada sedikitpun rona tanggung jawab untuk mempergunakan kesempatan beasiswa yang telah diterimanya tersebut. Maksudnya enggan melakukan penyampaian informasi kepada adik-adik yang masih duduk dibangku sekolah.

Begitu mirisnya bukan? Kadang terpikir, kenapa harus menbantu mahasiswa tersebut waktu mengajukan beasiswa. Seharusnya, ditelantarkan begitu saja untuk mendapatkan beasiswa. Didapati pula cerita yang tak sedap didengar telinga, menurut beberapa informasi yang saya dapatkan dari divisi advokasi Fakultas, ada yang sampai hati membohongi divisi advokasi ataupun Mahalum Fakultas untuk mendapatkan beasiswa. Na’uzhubillah, tega nian mahasiswa tersebut mengotori tujuan yang hakiki dari beasiswa!

Jikalau ada rasa tanggung jawab yang tertanam, pastinya aksi seenaknya tunggang langgang (congkak) berjalan atas jerih payah subsidi rakyat, akan terhindari.  Bukan serta merta mendapatkannya lalu lenggak lenggok meninggalkan tetapi mereka yang menadapatkan harusnya menyadari bahwa mereka berkewajiban menyampaikannya pula kepada adik-adik yang masih duduk dibangku sekolah. Memberikan pencerdasan tentang biaya pendidikan, beasiswa, sistem pembayaran, dll. Yang menurut hemat saya, bukan hanya di monopoli oleh divisi advokasi semata melainkan merupakan aktivitas integral yang harus disampaikan oleh mahasiswa-mahasiswa lainnya khususnya mahasiswa penerima beasiswa.

Usulan Kebijakan “Menciptakan Tanggung Jawab Sosial Penerima Beasiswa”

Dengan gambaran kondisi tersebut, ada salah satu kebijakan yang dapat diambil oleh divisi advokasi sebagai divisi yang paling dekat dengan penerima beasiswa, yaitu dengan membentuk paguyuban/perkumpulan. Tetapi paguyuban ini bukan tandingan divisi advokasi ataupun tandingan paguyuban daerah, melainkan paguyuban yang tersistem dan terkoordinasi langsung oleh ketua divisi advokasi, yang memiliki fungsi membantu menerangkan tentang biaya pendidikan, beasiswa, sistem pembayaran, dll.

Bagiamana perkumpulan ini dibentuk?

Berikut ini merupakan contoh yang relevan, Adkesma (Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa) FISIP UI kala BEM Adhi-Yustian, membentuk “Paguyuban Beasiswa”. Paguyuban Beasiswa ini terbentuk karena kerja Adkesma untuk menyalurkan informasi ke daerah-daerah tidak bisa dilakukan dengan “tangan sendiri” melainkan membutuhkan tenaga-tenaga tambahan yang dapat membantu untuk menyampaikan informasi ke pelosok-pelosok daerah.

Maka dari itu, program tiga bulan (nama kegiatan Adkesma BEM FISIP UI adalah Follow Up) dibentuk untuk mempertemukan Adkesma dengan penerima beasiswa. Tujuannya untuk mengontrol penerima beasiswa atas penggunaan dana beasiswa. Selain itu, ingin mengetahui kondisi dari penerima beasiswa tersebut jikalau terjadi hal-hal yang tidak teduga (misalnya, kebakaran rumah, kehilangan harta benda, meninggal dunia, dll) yang dapat merubah nasib seseorang setiap saat. Momentum follow up ini, akhirnya dimanfaatkan untuk membentuk paguyuban yang fungsinya sudah disebutkan sebelumnya.

Salah satu capaian kerja yang diakukan oleh paguyuban ini pun sudah terbukti, capaian pertama paguyuban beasiswa FISIP UI adalah ketika ada perubahan kebijakan yang diterapkan UI tahun 2008 maka pada akhir semester gasal/genap paguyuban ini sudah melakukan manuver-manuver ke berbagai tempat asal mereka untuk menerangkan kebijakan sistem pembayaran tahun 2008 (angkatan 2008). Dan laporan terhadap kegiatan yang mereka lakukan sudah terekam pada kegiatan follow up berikutnya.

Capaian kedua ketika bergulir “beasiswa seribu anak bangsa”. Pada waktu itu, kesmalink yang dilakukan oleh Adkesma BEM UI (Wawan FT’05 – ketua Adkesma BEM UI dan Lisa FMIPA – Korlap data entry beasiswa seribu anak bangsa) meminta kepada seluruh divisi advokasi seluruh fakultas mengirimkan wakil-wakilnya untuk meng-entry data siswa-siswi SMA seluruh Indonesia. Maka, Adkesma FISIP UI dengan dibantu paguyuban beasiswa melakukan data entry. Akhirnya, sedikit banyak entry data seribu anak bangsa yang dibebankan kepada seluruh fakultas tersebut terselesaikan.

Tradisi membentuk paguyuban ini sudah berjalan dua tahun lebih di BEM FISIP UI. Tahun ini sebagai generasi ketiga (ankatan 2009), BEM Fisip UI (Thomas-Heygar) membentuk pauyuban dengan nama “Laskar Advokasi”. Contoh ini merupakan kebijakan konkret yang dibuat oleh divisi advokasi sebagai alternatif kebijakan menanamkan “tanggung jawab sosial” kepada penerima beasiswa.

Menurut hemat saya, usulan ini patut untuk diterapkan pada seluruh fakultas. Cara yang terbaik pembentukannya, diserahkan kepada masing-masing fakultas. Namun usulan kebijakan ini, bisa diterapkan asalkan ada political will dari ketua lembaga dan kesadaran penerima beasiswa atas tanggung jawab sosial yang harus dilakukan. Jika memang dirasa dibutuhkan, maka baik jika dibentuk. Jika tidak maka alternatif lainnya adalah dengan menggalakkan kembali koordinasi antar paguyuban daerah.

Tulisan ini merupakan bagian dari agenda setting (public opinion) dalam pembentukan kebijakan (agenda setting, policy formulation, implementing policy, dan policy evaluation), semoga alternatif kebijakan ini dapat terbentuk di seluruh Fakultas. Sempat usulan kebijakan ini diajukan kepada Kesma BEM UI (Wawan Cs), namun berhubung suksesi yang berlangsung di UI saat itu, usulan ini tidak sempat untuk disampaikan. Melalui media ini, mungkin usulan ini dapat tersampaikan sebagai salah satu bahan pertimbangan di tingkat pusat. “Keberhasilan dalam memecahkan masalah mengehendaki diketemukannya pemecahan yang benar atas masalah yang benar. Kegagalan lebih sering terjadi karena kita memacahkan masalah yang salah daripada mendapatkan pemecahan yang salah terhadap masalah yang benar” (Russel L. Ackoff, 1974: redesigning the future: a system approach to society problem)

Sebagai penutup, mengutip dari petatah petitih budaya jawa: “pinuju bungah elinga susah, pinuju susah elinga bungah. Dhasaring ngaurip iku gotong royong. Dadiya ragi sarta uyahing bebrayan. Tulungana sing pancen butuh pitulungan”. Wallahu’alam!

Seno – Adm. Negara FISIP UI‘05

090509002X

8 thoughts on “Penerima Beasiswa dan Tanggung Jawab Sosial”

  1. Kreaif tuh yang buat “paguyuban beasiswa” ataupun “laskar advokasi”.. untuk mencegah para penerima beasiswa melarikan diri dari “tanggung jawab sosial”-nya.
    Gw kadang miris juga ngeliat rekan2 mahasiswa yang dapet beasiswa untuk beli macam2 barang yang gak sesuai dengan niat berkuliah di UI. Ibarat kata itu bonus tambahan uang jajan mereka kuliah di UI

    Reply
  2. Saya juga agak miris dengan teman-teman saya yang ‘mengorupsi’ beasiswa tersebut. Semoga saya bukan termasuk demikian, karena saya juga termasuk penerima beasiswa. Amin amin Allahumma amin.

    Sungguh pecutan dan peringatan yang bagus. Terima kasih akhi/. 🙂 Jazakallah.

    Reply
  3. Gw udah baca tulisanlw di koran kampus. Gw suka ide tulisan yang dipaparkan tulisanlw. Menurut gw ga hanya yang nerima beasiswa juga tapi gw pribadi angkatan 2007 ke atas yang BOP masih flat 1,3/1,5 juta selayaknya punya hasrat juga untuk bertanggungjawab mengingat besarnya subsidi yang kita terima.

    Reply
  4. stuju bgt. gw slalu ngurungin niat utk nyoba dapetin beasiswa krn ngerasa masi bnyk yg lebi berhak. tp ada yg slalu jd pertanyaan buat gw.. klo gt hak-ny yg bayar 7,5 jt tuh apa ya?? :p

    Reply
  5. Jujur saja terpaksa saya buka cerita ini di sini karena kelu melihat ada tetangga yang berjuang hingga mendapatkan keringanan biaya di fakultasnya namun ternyata yang bersangkutan bapaknya beberapa bulan kemudian membeli honda crv..miris tapi itu terjadi.

    Reply
  6. @bagyo
    gw sering denger cerita kaya gitu dari temen gw terutama di fakultas yang UPnya 25 juta…
    masalahnya memang sulit memverifikasi keadaan riil terutama pada mahasiswa yang tinggal di daerah…
    sebaliknya buat yang rumahnya di depok (jabotabek) seperti teman saya mereka benar2 diverifikasi hingga didatengin ke rumahnya secara langsung..

    Reply

Leave a Comment