PIMNAS: Kompetisi Mahasiswa Terakbar yang Tak Pernah Jauh dari Masalah

Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-21 telah berakhir pada tanggal 18 Juli 2008. Kompetisi mahasiswa nasional terakbar tersebut berlangsung selama lima hari. PIMNAS dibuka dan dihadiri langsung oleh Menteri Pendidikan RI, Bapak Prof Dr Bambang Sudibyo. Boleh dibilang PIMNAS kali ini mendapatkan perhatian dari banyak pejabat tinggi negara. Beberapa acara pendukung mampu mengundang beberapa menteri seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemuda dan Olahraga serta Gubernur Jawa Tengah.

Walaupun penyelenggaraan event yang memakan biaya sekitar 8 miliar tersebut berakhir, namun spirit kompetisi mahasiswa masih bisa dirasakan sampai sekarang. Berikut ini adalah ulasan terkait kegiatan tersebut.

1. Aturan Kompetisi

Dari apa yang saya amati, penyelenggaraan PIMNAS tahun ini boleh dibilang mempunyai banyak hal yang menarik baik dari segi aturan kompetisi maupun dari segi penyelenggaraannya. Dari segi kompetisi misalnya untuk kegiatan PKM, para finalis yang jumlahnya mencapai puluhan dibagi menjadi beberapa ruang. Di setiap ruang akan berisi sekitar 10-an finalis. Lantas dari tiap ruang akan ditetapkan juara 1, 2, dan 3 yang secara berturut-turut akan memperoleh medali emas, perak dan perunggu. Kebijakan tersebut berbeda dibandingkan pada PIMNAS tahun lalu dimana semua finalis harus bertanding dalam satu kompetisi, sehingga apa yang disebut dengan meritokrasi benar-benar dapat dirasakan. Kebijakan tersebut lantas mengundang banyak tanggapan. Beberapa pihak yang mendukung menyatakan bahwa kebijakan tersebut memang sudah pantas dilakukan mengingat para finalis adalah peserta dengan proposal kreatifitas yang terbaik dan sudah melewati seleksi. Jadi pembagian ke dalam beberapa ruangan merupakan bentuk apresiasi yang layak diberikan. Bagi pihak yang kontra, menyatakan bahwa pembagian tersebut akan sangat riskan mengingat tidak ada standar atau parameter yang menentukan finalis mana harus satu ruang dengan finalis yang lain. Bisa saja finalis yang tidak juara di ruang tertentu menjadi juara satu di ruang yang lain. Selain itu, tidak adanya sosialisasi terkait aturan tersebut jauh-jauh hari sebelumnya, membuat aturan tersebut menjadi tidak populis.

Perubahan lain terkait dengan sistem perlobaan juga terjadi di dalam National University English Debate Competition (NUEDC)-lomba debat Bahasa Inggris PIMNAS XXI. Tahun lalu sistem yang digunakan adalah Asian Parliamentary sedangkan tahun ini yang digunakan adalah British Parliamentary System. Perubahan aturan tersebut disosialisasikan sebelum peserta berangkat ke tempat penyelenggaraan. Walaupun demikian, masih belum pastinya penyelenggaraan lomba debat tersebut sampai sampai pada H-7, sempat membuat peserta ketar-ketir. Salah satunya adalah peserta dari Universitas Sumatera Utara (USU), yang jauh-jauh hari sudah membeli tiket pesawat, namun penyelenggaraan lomba tersebut belum pasti. Secara umum, penyelenggaraan NUEDC jauh lebih baik daripada penyelenggaraan tahun lalu.

2. Fungsi LO yang tidak maksimal

Namun, ada juga dari segi teknis yang dikeluhkan oleh delegasi UI. Terkait dengan fungsi LO misalnya, hanya ada satu LO untuk seluruh kontingen UI. Yang lebih parah adalah seringkali perkembangan informasi terkait PIMNAS tidak tersampaikan atau bahkan LO tersebut menyampaikan informasi yang salah. Hampir bisa dikatakan bahwa LO tidak berfungsi sama sekali. Akhirnya untuk mendapatkan update-an informasi, pihak panitia kontingen UI harus berinisiatif sendiri.

3. Penggantian biaya oleh DIKTI

Selain itu masalah juga terjadi terkait dengan penggantian uang transportasi dan akomodasi kontingen. Dalam beberapa lomba (misalnya PKM, LKTM dan NUEDC), finalis yang bertanding di PIMNAS adalah mereka-mereka yang telah menjadi juara di regional masing-masing. Keberangkatan juara regional tersebut ke PIMNAS dibiayai oleh Pihak DIKTI. Pihak DIKTI akan memfasilitasi dan mengganti biaya transportasi dan akomodasi secara proporsional sesuai dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing delegasi.

Contohnya para finalis yang berasal dari Maluku akan memperoleh pengganti uang transportasi yang lebih besar karena jarak tempuh yang lebih jauh. Namun, dari apa yang saya amati, ada beberapa pengecualian dalam prakteknya di lapangan. Pada NUEDC misalnya, pihak DIKTI dan panitia penyelenggara mensyaratkan bahwa tiap tim yang telah menjadi juara di tingkat regional harus mengirimkan satu wakilnya untuk menjadi adjudicator/juri dalam lomba tersebut (Ada 8 regional, dan juara 1, 2, 3 dan 4 dari tiap regional berhak tampil di PIMNAS). Dengan adanya persyaratan tersebut, maka secara otomatis, suatu tim debat tidak akan bisa tampil jika tidak mengirimkan wakilnya sebagai adjudicator. UI meloloskan dua tim debat sehingga total delegasi untuk tim debat adalah empat orang debaters dan dua orang adjudicators. Namun, yang disayangkan adalah hanya debaters yang mendapatkan uang pengganti transportasi dan akomodasi. Padahal jika menurut aturan yang ditetapkan baik debaters maupun adjudicators adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Hal yang sama juga terjadi di kompetisi lain seperti KKTM dan LKTM, pihak DIKTI hanya mengganti hanya menanggung beberapa anggota kelompok tim yang lolos. Yang juga disayangkan adalah kurangnya fasilitas yang diberikan kepada pihak yang diundang menjadi juri dalam lomba tersebut. Di NUEDC misalnya, juri debat tidak mendapatkan fasilitas seperti makanan yang sama dengan peserta. Selain itu mereka juga tidak mendapatkan fasilitas lain misalnya kaos, alat tulis dan sebagainya. Ibu Lina Miftahul Jannah (pembimbing tim KKTM dan PKM UI) mengatakan bahwa para juri PKM sempat mengancam akan menghentikan penjurian terkait dengan kurangnya perhatian terhadap juri.

Secara personal saya menyampaikan apresiasi kepada UI karena telah memberikan fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan PIMNAS tahun lalu. Terkait dengan akomodasi misalnya, tahun ini yang mendapatkan fasilitas akomodasi adalah tim yang telah juara di tingkat regional, delegasi UI lain misalnya untuk pameran dan stand serta para official team tidak memperoleh fasilitas akomodasi. Agar memudahkan koordinasi dan kontrol terhadap semua delegasi, akhirnya UI memusatkan akomodasi dalam satu hotel dengan menggunakan biaya sendiri. Jika saya coba hitung, maka biaya yang harus dilekuarkan bisa mencapai puluhan juta karena rate kamar yang mencapai ratusan ribu, di lain sisi jumlah delegasi UI hampir mencapai seratusan orang. Hal tersebut merupakan bentuk dukungan bagi para delegasi yang sedang bertanding.

4. Masalah atributif lainnya

Ada juga beberapa masalah atributif lainnya. Terkait dengan welcoming party misalnya. Penyambutan tersebut dilakukan langsung oleh gubernur Jawa Tengah. Pihak panitia penyelenggara membatasi jumlah peserta yang datang dengan memberikan kuota undangan untuk tiap-tiap universitas. Namun dalam prakteknya, banyak universitas yang datang dengan melebihi kuota dan tanpa membawa undangan dibiarkan memasuki tempat penyelenggaraan. Selain itu terkait dengan closing ceremony, pihak panitia kurang mempersiapkan terkait dengan kuantitas makanan yang harus disediakan. Sudah dua tahun berturut-turut ini (PIMNAS 2007 dan PIMNAS 2008) harus gigit jari karena hidangan bagi peserta yang disajikan dalam bentuk buffet habis tidak bersisa. Bukan mengatakan bahwa delegasi terkesan “gila” akan makanan, namun perasaan kecewa juga dirasakan oleh delegasi dari universitas lain. Selain itu, gaung PIMNAS kali ini terasa kurang jika dibandingkan dengan tahun lalu. Walaupun berhasil mengundang beberapa pejabat tinggi negara, namun dari segi publikasi, promosi dan antusiasme delegasi masih dirasakan kurang jika dibandingkan dengan PIMNAS tahun lalu. Dalam seminar tentang wawasan kebangsaan misalnya, kehadiran Menteri Dalam Negeri yakni Bapak Mardiyanto tidak mampu menyedot animo peserta. Seminar tersebut hanya dihadiri sekitar tiga puluhan peserta, itupun mayoritas adalah mahasiswa UNISSULA.

Sebagai kompetisi nasional untuk mahasiswa terbesar di Indonesia, sudah seharusnya jika PIMNAS diorganisasikan dengan baik dan benar. KUrangnya koordinasi antara beberapa pihak yang terlibat yakni pihak universitas tuan rumah, pihak penyelenggara, pihak DIKTI dan pihak-pihak lain seringkali menjadi kendala. Kurangnya penyebaran informasi yang lengkap terkait PIMNAS beserta aturannya ke seluruh universitas juga menjadi kendala utama, terlebih bagi universitas yang berada jauh dari tempat penyelenggaraan. PIMNAS bukan hanya sekedar kompetisi, namun lebih dari itu PIMNAS merupakan ajang untuk bersosialisasi, menyebarkan nilai-nilai persaudaraan lintas budaya serta persatuan dan kesatuan. Semoga PIMNAS tahun depan bisa menjadi PIMNAS yang lebih baik dibandingkan PIMNAS-PIMNAS yang sebelumnya telah diselenggarakan.

Daftar Isi

1 thought on “PIMNAS: Kompetisi Mahasiswa Terakbar yang Tak Pernah Jauh dari Masalah”

Leave a Comment