Pos-Tradisionalisme* Kampus Universitas Indonesia

Cukup akan memiliki rasa kagum, itulah yang mungkin dirasakan pada banyak orang ketika datang berkunjung ke beragam sudut gedung kampus Universitas Indonesia. Betapa tidak? Setelah kampus UI memberanikan diri, walau malu-malu, mengatakan diri menjadi Research University maka tidak terasa malu-malu bagi sang kampus  untuk memberikan wajah-wajah baru pada gaya arsitektural bangunannya bagi beberapa sudut gedung.

Ambilah beberapa contoh dibawah ini,

a) Gedung MBRC (Miriam Budiarjo Research Center) FISIP UI

Sebuah perpustakaan berwajah modern (atau pos-modern?*) mungkin yang menjadi cita-cita bagi perubahan konseptual keruangan gedung MBRC di FISIP UI tersebut. Lihatlah kini di lantai dasar dari gedung tersebut. Tampilan yang memutar sehingga dapat dilihat secara bebas dari beragam sudut area. Kaca transparan menjadi material dinding baru dimana orang dari luar gedung dan dalam gedung dapat saling memandang. Yang cukup memberikan kesan kagum adalah tampilannya yang sekilas tampak menyerupai sebuah kafe atau mini mall (pusat perbelanjaan). Tentu saja ini bukan sebuah kesengajaan, melainkan sebuah strategi marketing dari MBRC dimana pasar mahasiswa FISIP sedang ingin dijerat untuk mau masuk dan mengisi keruangan perpustakaan kampus, dimana seharusnya sudah menjadi semacam kewajibannya.

Itu saja belum cukup untuk membuat sebuah argumen lain yang menarik. Coba perhatikan (dan sebaiknya anda merasakan sendiri untuk berkujung) lantai dasar gedung MBRC tersebut secara seksama dan nikmatilah. Betapa mau merayu kita untuk bermalas-malas dan bermanja di tempat tersebut, sambil tentunya bercengkerama dengan banyak kawan sebagai sebuah penghilang lelah kuliah. Sebuah sofa besar dengan layar televisi melebar hendak membantu kita merilekskan suasana penat dan gerah di kampus. Beberapa meja kursi maupun PC-PC (personal computer) siap membawa kita masuk ke dalam labirin dunia maya, internet. Ini akan diteguhkan sekali lagi dengan banyaknnya anak-anak mahasiswa yang sekedar bersandar atau duduk-duduk dengan laptop, di pinggiran luar gedung untuk juga menikmati ketakterbatasan dunia tidak langsung, internet tersebut.

Lalu dimana kesan sebuah perpustakaannya? Mungkin (walau belum yakin benar) ini sebuah era yang berbeda dengan periode masa sebelumnya, dimana sebuah perpustakaan di kampus terbaik adalah berciri sangat klasik. Gedung yang kaku dan kokoh, dengan ribuan buku-buku bersemayam secara damai. MBRC menjadi sebuah ciri baru bagi perpustakaan yang modern (atau pos-modern?) di lingkungan kampus UI, sehingga terasa tidak malu-malu kembali menyatakan dirinya sebagai kampus riset. Apakah ini benar?

Mungkin saja dapat. Akan tetapi dapat dikenali dengan jelas, apa yang sedang dibangun di UI adalah membangun sebuah wajah kampus riset yang modern. Katakanlah seperti seorang remaja yang bersolek agar dia diminati. Kampus UI ini sedang mempercantik diri. Yah, untuk mampu menjadi narsis*-lah kata anak-anak muda jaman sekarang. Membangun sebuah citra besar yang meyakinkan bahwa UI adalah sebuah kampus terbaik dengan segala wajah kemodernnya (atau pos-modern?). Namun mungkin tidak secara gagasan dan intelektualitasnya. Kenapa?

Cobalah datang sendiri berkunjung ke MBRC dan tanyakan, berapa banyak koleksi buku-buku dan jurnal ilmiah di perpustakaan MBRC ? berapa banyak buku yang ditambah (terutama yang baru dan susah dicari) hingga hari ini? Mungkin jauh lebih kecil dari merombak wajah MBRC untuk menjadi cantik tadi.

b) Gedung Enginering Center di Fakultas Teknik (FT) UI

Cobalah sekali-kali beranjak dari kampus FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya), melewati jembatan berwarna merah (TekSas) menju ke kampus FT dan FE (Fakultas Ekonomi). Ada sebuah gedung berwajah beda, sangat-sangat berbeda, bergaya futuristik modern minimalis. Gedung Enginering Center. Gedung dengan tampilan kubus transparan, dominan warna putih polos dan bernada ramping efisien. Ada sebuah sisi atap miring di atas gedung tersebut. Mungkin ingin dilekatkan untuk panel-panel surya.

Apakah memang perihal tersebut berjalan ideal? Yah, tidak dapat cukup optimis untuk menyebutnya. Lihatlah saja dengan atap-atap panel surya tersebut, sekarang diisi dengan genteng. Kenapa bisa melenceng menjadi seperti ini? Mungkin memang bukan jawaban yang sangat pesimis/optimis seperti kawan-kawan yang lain.  Panel-penel surya tersebut cuma dipakai buat semacam atap dari struktur bangunan.

Gejala yang serupa juga akan diberlakukan (atau sudah) dibeberapa wilayah yang lain, semisal ruangan internet di FH (Fakultas Hukum); rencana bangunan baru kantin (cafe) milik FH; dan aja juga berupa pembangunan secara masih dari orang-orang lain. Atau lihatlah gedung Rektorat UI sedang menutup diri agar berubah citra, wajah dan perilakunya bagi semua orang. Cermati juga dengan segala hasil yang berkaitan pembangunan halte-halte yang diekorkan dengan tampilan modern (atau pos-modern?)

Kalau memang menjadi seperti perihal diatas gejala-gejala yang timbul di kampus UI ini, maka akan ada sebuah pengalihan dari tema-tema kultural – menjadi politis (identitas) -serta terutama dalam memaknai sebuah nilai kemodernan (atau pos-modern?).

Dari Tradisionalisme menuju . . .(pos-tradisionalisme?)

Kampus UI selama ini adalah sebuah kumpulan bangunan ragam arsitektural bergaya tradisionalisme khas Jawa/Majapahit. Ada terakota (batu-bata merah tipis) yang dilekatkan sebaagai penghina karenanya harus dicarikan kebuntuan dan permasalahannya. UI tradisional sudah tidak jaman kembali. Kampus UI sedang menempuh jalur internsionalisasinya agar terkenal seantero dunia, serta menimbun sebuah masalah baru bernama politik  narsis-me pos tardisional. Berupa wajah kampus UI secara fisik saja yang berubah, tetapi bukan secara gagasan dan intelektualitasnya yang menjadi basis perkembangan dan perubahan menggapai adapatasi dunia. Memang benar wajah kampus UI pada ragam bidang bangunan dan keruangannya adalah sedang beruubah dari tradisionalisme menuju ke rah pos-tradisionalisme (atau pos-modern?), karena tidak banyak benih-benih otak di UI yang hujani air dan dimana dia mampu memberikan posisi tawar yang berbak.

Salam,

5 thoughts on “Pos-Tradisionalisme* Kampus Universitas Indonesia”

  1. tambah satu lagi bangunan yang masih kurang disebut-sebut: science park di deket rektorat UI..

    dulu gw pernah denger kalo model bangunan UI memang sengaja dibikin yang kaya sekarang (bangunan yang lama).. alasannya tuh apaaa gitu (lupa)..

    kira-kira kenapa ya, sekarang bangunan2nya pada pos tradisionalisme kaya gini?

    Reply
  2. Yoi,

    Untuk yang Science Park di dekat danau & rektorat UI masih ragu untuk disebut sebagai sebuah bangunan. Karena mungkin memang belum cukup jelas bagian mana yang menjadi kategori dari Science Park dan apa maksud dari Science Park.

    Kalau sebatas bangunan nama (huruf-huruf Sciene Park) itu yang dimaksud dengan kawasan Science Park, maka terlihat sangat reduksionis cara berpikir birokrat kampus UI. Sebatas memberikan citra melalui tulisan.

    Cukup sangat disayangkan beragam konsep dalam pembangunan fisik UI (yang sebenarnya bagus!) akan tetapi gagal untuk memujudkan secara baik di semua elemen warga UI.

    Akan lebih baik jika bukan ragam fisik yang ditinjolkan untuk dibangun di kampus UI ini, melainkan sebauh karater dan tradisi ilmu pengetahuan yang mengakar kepada Indonesia, bukan kepada jargon-jargon go Internasional.

    Reply
  3. hmmm
    apakah menjadikan kampus bertaraf internasional cukup dengan membuka program internasional, (bahkan ada rencana rektorat bikin ui internasional di Bali yang digagalin sama sau dan mwa)

    atau dengan mbrc yang gw liat mayoritas pengunjungnya buka fb?

    atau dengan pembangunan fisik semata sampe2 ada kandang rusa?

    sepertinya perlu dipertanyakan kembali makna pendidikan (pedagogy) di univ, bahkan negara kita tercinta ini.

    Reply

Leave a Comment