Rezim Partitokrasi dan Gerakan Mahasiswa UI

“Kebenaran, dengan alasan apapun, tidak dapat dihasilkan dari sekumpulan ketidakadilan. Tidak dapat dihasilkan dari sebuah arogansi kebesaran. Tidak dapat dihasilkan oleh ketaatan semata.

Tetapi ia bermula dari sebuah kepahaman. Kemudian kebesaran jiwa untuk mendengarkan kata hati. Dan kecerdasan untuk meletakannya secara kontekstual. Ia akan menjadi ruh yang membebaskan kejumudan. Ia akan menjadi obor yang memberikan pencerahan.

Karena ia bukan untuk mu apalagi mereka. Kebenaran sejatinya adalah untukNya sang pemilik kebenaran; Tuhan semesta alam penguasa langit dan bumi beserta segala isinya”

Hingar bingar pemilu telah usai. Dan seusai berbasah peluh kini saatnya meraup keuntungan. Sekarang sudah tidak menjadi keharusan lagi untuk saling membantu, bercengkrama dengan kaum papa, memberikan modal bagi UKM di pinggiran kota atau hanya untuk sekedar menanyakan kabar. Semua itu terjadi karena tidak ada lagi kewajiban yang harus digugurkan; kampanye telah tak ada.

Cobalah tengok contoh musibah terdekat yang melanda negeri ini, situ gintung dan gempa sumatra barat. Ketika musibah situ gintung terjadi maka berbondong-bondong partai mendirikan posko lengkap dengan gambar calon legislatif. Namun hal yang sama tidak terjadi pada musibah gempa di sumatra barat, menurut ketua pusat krisis fakultas psikologi Universitas Indonesia, dalam sebuah simposium mengatakan bahwa ketika musibah gempa sumatra barat terjadi hanya ada segelintir posko partai dan selebihnya adalah relawan LSM. Mungkin partai-partai sedang sibuk konsolidasi karena sekarang adalah saatnya berbagi ‘potongan kue’ oleh presiden terpilih.

Teknokrat, profesional, atau titipan partai? Pilihan tersebut murni hak prerogratif presiden terpilih. Namun kita, sebagai rakyat, harus tetap kritis melihat proses yang ada. Dengan konstelasi politik yang terjadi pada legislatif dan eksekutif maka kecenderungan munculnya rezim partitokrasi semakin dekat.

Partitokrasi ditandai dengan munculnya peluang bagi reorganisasi oligarki dalam partai politik. Ketika sebuah partai menjadi sangat dominan, seluruh aspek sosial, ekonomi, hukum,politik dan sebagainya dikuasai penuh oleh jaringan partai. Disini, ideologi tidak banyak berperan, begitu juga pemimpin politik karismatik. Tipologi partitokrasi dapat dikenali dengan adanya partai massa yang kuat yang mampu mendikte segenap kebijakan pemerintah. Mereka juga mampu memanfaatkan sumber daya yang ada dalam hubungan pertemanan yang terikat pola patron-klientilisme yang dominatif (De Winter, Della Porta dan Deschouwer 1996, dalam Aminuddin 2009).

Mengapa hal ini perlu dikhawatirkan, setidaknya ada 2 alasan yaitu, Pertama, iklim politik yang tidak sehat. Partai politik menjadi merapat kepada kekuasaan. Sehingga terjadi demoralisasi partai apapun ideologi yang dianut partai. Partai menjadi tidak mempedulikan lagi idealisme yang mendasari gerakan partai; semuanya seolah-olah terlihat sama. Kedua, tanam pilih pembangunan bangsa. Dikhawatirkan pembangunan tergantung pada sejauh mana akses yang dimiliki pada pemilik kekuasaan. Padahal sejatinya dalam sebuah negara-bangsa (nation-state), kita tidak terpisah oleh sekat-sekat partai.

Anhar Gong-gong, sejarawan Indonesia, mengatakan bahwa dalam sejarahnya partai politik di indonesia tidak pernah tidak menipu rakyat. Bahkan jika ada partai yang mengatakan anti korupsi pun perlu dipertanyakan lagi keberadaannya. Karena seringkali partai tersebut tidak korupsi tetapi ia sendirian, lalu apa gunanya?

Hal ini dapat dijelaskan melalui analogi sederhana, jika dalam sebuah rapat besar lalu pimpinan rapat berkata, ”Saya akan membunuh orang disebelah saya” dan seluruh peserta rapat tahu dan membiarkannya. Maka ketika pimpinan rapat benar-benar membunuh orang disebelahnya, hal tersebut bukan hanya menjadi kesalahan pimpinan rapat tetapi juga seluruh peserta rapat yang menyaksikan.

Hal yang sama berlaku pula pada tindakan korupsi, bukanlah suatu kehebatan jika kita tidak korupsi namun disekeliling kita korupsi. Apalagi jika memang terbukti korupsi dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan, alasan dakwah misalnya. Sehingga dengan melihat kenyataan sejarah, rakyat harus paham bagaimana memposisikan diri. Dan rakyat memerlukan elemen yang dapat mengkordinir agar pemerintahan dapat menunjukan keberpihakkannya pada rakyat. Dan salah satu elemen tersebut adalah mahasiswa sebagai bagian dari rakyat yang mampu melakukan mobilitas vertikal yang cepat.

Lalu dimana gerakan mahasiswa yang mampu mengimbangi hegemoni pemerintah saat ini? Dimana gerakan mahasiswa UI yang pernah menjadi garda terdepan gerakan mahasiswa? Jawabannya ada didepan mata kita. Gerakan mahasiswa UI dapat dilihat dengan mata telanjang telah mengalami kejumudan karena banyaknya conflict of interest.

Gerakan mahasiswa UI : tolak yang banyak titipan !

Salah hal yang membuat seseorang lambat mengambil keputusan adalah karena terlalu banyak variabel yang diperhitungkan. Tak mengapa jika variabel tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak, namun apa yang terjadi jika variabel tersebut adalah variabel hutang budi, hirarki status, atau bahkan variabel ‘belum adanya perintah untuk mengambil keputusan’?

Seorang pengambil keputusan sejatinya tidak terjebak dalam kondisi yang immature yakni 1) Tidak memahami adanya mekanisme proses (berpikir instan).2) Tidak bisa bertanggung jawab. Dan 3) membiarkan orang lain membayar cost atas tindakan yang dia lakukan. Sehingga jangan sampai pengambil keputusan seperti itu hadir ditengah-tengah kita.

Gerakan mahasiswa UI harus bermartabat, baik dalam hal pemikiran maupun dalam bentuk langkah strategis. Namun, bagaimana mau bermartabat jika kita dipaksa menyaksikan adegan demi adegan yang meresahkan hati dan mengerenyitkan dahi? Kita dipaksa mengakui bahwa tidak terjadi apa-apa ketika sebuah aksi demonstrasi atas nama gerakan mahasiswa UI memiliki massa aksi yang banyak tanpa adanya pencerdasan terlebih dahulu? bahkan flyer seruan aksi sudah tersebar jauh sebelum adanya keputusan untuk turun aksi! Dalam ranah psikologi dikenal konsep stimulus-respon; sederhananya manusia bertingkah laku karena merespon stimulus yang diberikan. Itu artinya jangan pernah memberi stimulus yang ambigu jika tidak ingin direspon secara multitafsir.

Sehingga sudah saatnya gerakan mahasiswa UI berbenah diri. Dengan kondisi bangsa sekarang seperti ini maka kita membutuhkan gerakan mahasiswa yang berani mengigit erat-erat idealisme; bukan gerakan mahasiswa yang bermain mata dengan kepentingan politik praktis. Gerakan mahasiswa yang memperhatikan kondisi sosial yang terjadi dalam mahasiswa; bukan gerakan mahasiswa yang digerakan oleh pesanan kepentingan. Dan gerakan mahasiswa yang mampu melihat kebijakan pemerintah secara objektif. Sehingga mengecilkan kemungkinan hadirnya compassionate dictator di negeri Indonesia tercinta. Maka mari kita jewantahkan cita-cita yang luhur itu dalam pemira UI yang akan segera berlangsung. Salam pembebasan!

6 thoughts on “Rezim Partitokrasi dan Gerakan Mahasiswa UI”

  1. Bung! masalah tentang Gerakan Mahasiswa sudah dibahas dalam acara Seminar Kebangkitan Intelektual Muda “Refleksi Peran Mahasiswa pasca 11 Tahun Reformasi” yang diselenggarakan Departemen Kastrat BEM FIB UI 2009. Dengan mengundang para pakar sejarah, psikologi, sosial politik, Aktivis lintas generasi..

    Reply
  2. @bung patrya
    benar,
    sudah saatnya pemilih menjadi agak lebih cerdas dalam proses pemilihan.
    jangan botol terus yang dipilih.

    @bung Adit
    Bung adit kurang cermat,
    saya ini nanya ke semua panelis di acara yang hari pertama.
    itu acara yang bagus. 🙂

    Reply

Leave a Comment