RUU Pendidikan Kedokteran: Ketimpangan Antara Cita-cita dan Substansi Konstitusi!

Tidak banyak yang mengetahui mengenai RUU yang sedang digodok di DPR ini. Bahkan, saya yakin tidak semua institusi pendidikan kedokteran (Fakultas Kedokteran) di Indonesia semuanya tahu tentang dilema dari RUU Pendidikan Kedokteran ini. Padahal sangat jelas sekali bahwa objek dari RUU ini adalah mahasiswa kedokteran. Namun, saat ini keadaannya seolah-olah yang memusingkan dan ‘berseteru’ adalah para stakeholder-nya saja: DPR (terutama komisi X), pemerintah, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Mahasiswa lain saat ini sedang terenggut perhatiannya oleh RUU Pendidikan Tinggi, yang sayangnya juga sedang bermasalah.

Oleh karena itu, izinkan saya men-share hasil kajian insitusi mahasiswa yang menaungi saya, yaitu BEM IKM FKUI. Supaya mahasiswa di luar sana (terutama mahasiswa kedokteran) dapat terbuka mata, pikiran, dan hatinya bahwa pendidikan kedokteran di negeri ini sedang dirundung masalah. Sebuah pendidikan yang nantinya akan cukup banyak menentukan taraf kesehatan masyarakat Indonesia.

RUU ini lahir dilatarbelakangi oleh tidak meratanya persebaran lulusan dokter. Banyak dokter yang lebih memilih bekerja di kota-kota besar dan selain itu pelayanan dokter saat ini dirasa kurang memuaskan. Sudah banyak berita yang melaporkan masifnya malapraktik yang dilakukan oleh dokter kepada pasien. Hal ini tentu berhubungan dengan kompetensi, profesionalitas, dan jiwa sosial dari dokter yang merupakan lulusan dari suatu pendidikan kedokteran.

Pemerintah bertanggung jawab dalam mewujudkan pendidikan dokter berkualitas. Seperti yang telah diatur di dalam UUD 1945 juga, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan, tidak terkecuali pendidikan kedokteran. Oleh sebab itu, pemerintah harus mengusahakan suatu sistem yang menjamin adanya pemerataan kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan, yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itulah terbentuk RUU Pendidikan kedokteran.

Lalu, apa masalahnya?

Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwasanya pendidikan kedokteran merupakan bagian dari pendidikan tinggi. Tidak seharusnya RUU yang mengatur pendidikan kedokteran ini  justru tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan RUU pendidikan tinggi. Akan tetapi kenyataannya banyak kecacatan yang kami temukan. Seperti yang kita tahu, RUU dikti sendiri sedang mengalami pergulatan yang panas. Banyak pihak, termasuk kalangan mahasiswa, yang menolak pengesahan RUU Dikti dengan berbagai alasannya. Artinya, pendidikan kedokteran  yang juga merupakan bagian dari pendidikan tinggi, saat ini pun sedang terombang-ambing karena konstitusi yg mengatur pendidikan tinggi sendiri masih belum jelas. Lantas, layakkah RUU Dikdok ini disahkan?

Kemudian, kami juga menemukan beberapa pasal yang mengindikasikan adanya usaha eksklusivitas dari pendidikan kedokteran. Tertulis bahwa sumber pendanaan dari pendidikan kedokteran dari pemerintah, fakultas kedokteran yang bersangkutan, rumah sakit pendidikan, dan masyarakat. Lalu dimana peranan universitas? Bukan hanya dari segi pendananaan, tapi di aspek lain peranan perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan masih kurang jelas dalam RUU Dikdok. Hal ini sungguh membingungkan karena secara hierarki pendidikan kedokteran jelas-jelas berada di bawah universitas dan dalam RUU Dikti pun diatur bahwa universitas wajib mengalokasikan dananya untuk fakultas, termasuk fakultas kedokteran. Efek permisif juga cukup tinggi bagi Universitas untuk lepas tangan dalam hal pendanaan kepada fakultas kedokteran yang ada di bawahnya. Apakah ini menandakan pendidikan kedokteran ingin mandiri dan lepas dari universitas. Tentu ini sangat menyulitkan fakultas kedokteran di belahan Indonesia lain yang belum bisa mencari sumber pendanaan secara mandiri. Lalu, masih layakkah RUU Dikdok ini disahkan?

Masih dalam lingkup pendanaan, ada pasal yang cukup ambigu. Pada pasal 51b, dikatakan bahwa fakultas kedokteran wajib membayar biaya operasional yang diperlukan dalam praktik kepada RSP, akan tetapi dalam pasal 57 ayat 1 disebutkan RSP merupakan salah satu komponen yang bertangung jawab dalam terselenggaranya pendanaan Fakultas Kedokteran. Hal ini cukup membingungkan, pihak mana sebenarnya yang menanggung biaya pendidikan mahasiswa? Bila hal ini masih belum jelas, tentu mahasiswa peserta didik terombang-ambing. Sangat rentan sekali fakultas memungut biaya operasional pendidikan tambahan dari mahasiswanya, mengingat biaya pendidikan ketika sudah masuk klinik cukup mahal.  Sudah ada bukti dari ‘tetangga’ kita fakultas kedokteran gigi  tdimana saat akan menginjak jenjang ko-as (klinik), biaya operasional ditambah sebesar Rp. 10 juta per mahasiswa. Sedangkan, untuk menjadi dokter, mahasiswa kedokteran harus mengenyam pendidikan di klinik, bukan hanya sampai sarjana kedokteran dengan gelar S.Ked. Di sini, lagi-lagi akses pendidikan kedokteran masih belum bisa dijamin, terutama bagi mereka yang kurang mampu secara finansial. Sekali lagi, pertanyaan yang sama: layakkah RUU Dikdok ini disahkan?

Masih banyak lagi deretan isi pasal dalam RUU Dikdok yang masih ambigu. Misalnya, mengenai aturan rumah sakit pendidikan yang wajib dimiliki oleh sebuah pendidikan kedokteran, laboratorium, dan kesetaraan gender. Dari segi substansi, RUU ini masih jauh dari cita-cita awal dari pembentukannya. Sebenarnya, mengenai pemerataan praktik dokter sudah diatur di UU Praktik Kedokteran. Sehinga, urgensi adanya pembentukan undang-undang untuk pendidikan kedokteran masih kurang. RUU ini masih terkesan terburu-buru. Indikasi adanya usaha otonomisasi pendidikan kedokteran sangat berbahaya. Entah apa yang ada di pikiran para pembuat undang-undang ini. Belum lagi ditambah kontradiksi dengan aturan pendidikan tinggi yang sampai sekarang masih belum jelas pengesahannya.

oleh karena itu, BEM IKM FKUI dengan tegas menyatakan:

menolak pengesahan RUU Dikdok pada tanggal 10 April 2012

Kami sangat berharap isu ini bisa menjadi concern bersama, baik dari mahasiswa maupun institusi lain yang terkait kesehatan. Ini bukan hanya menyangkut nasib dokter-dokter kelak, tapi juga kesejahteraan rakyat Indonesia. Semoga Tuhan YME tetap memberkati bangsa ini.

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

Beladenta Amalia,

Mahasiswa FKUI 2009.

sumber: hasil kajian BEM IKM FKUI tentang RUU Dikdok http://bem.fk.ui.ac.id/blog/2012/04/kajian-rancangan-undang-undang-pendidikan-kedokteran-ruu-dikdok/

 

1 thought on “RUU Pendidikan Kedokteran: Ketimpangan Antara Cita-cita dan Substansi Konstitusi!”

  1. Apa hubungannya isi-isi dalam RUU tersebut dengan cita-cita awalnya ya?

    “RUU ini lahir dilatarbelakangi oleh tidak meratanya persebaran lulusan dokter.”

    Oh ya, Beladenta tau tentang pencerah nusantara? Gerakan kongkrit untuk layanan dan kesadaran kesehatan yang lebih merata di Indonesia.

    Reply

Leave a Comment