Sejarah Seni Tari Jaranan Buto dan Perkembangannya

anakui.comSeni Tari Jaranan Buto , Kesenian Jaranan Buto Banyuwangi dikembangkan oleh Setro Asnawi asal Trenggalek yang lahir pada tahun 1940.

Ia datang dan menjadi warga Banyuwangi sejak tahun 1963. Satu tahun menetap di Banyuwangi, ia mengembangkan tari Jaranan Buto yang saat ini masih dilestarikan oleh penggiat jaranan di Bumi Blambangan.

Setro Asnawi menjelaskan, penari Jaranan Buto terdiri dari 2 hingga 6 orang dewasa. Mereka menari diiringi gamelan kendang, kempul, gong dan terompet.

Munculnya kesenian jaranan dimulai sejak abad ke 10 Hijriah tepatnya pada 1041.

Saat itu Kerajaan Kahuripan dibagi menjadi dua, yakni bagian timur Kerajaan Jenggala dan ibu kota Kahuripan.

Sedangkan di sebelah barat dijadikan Kerajaan Panjalu atau Kediri yang beribukota di Dhahapura.

Meski begitu, sejarah tentang tari jaranan punya beberapa versi yang berbeda-beda, salah satunya adalah legenda yang beredar di tengah masyarakat bahwa konon tari tradisional ini berkisah mengenai sebuah pernikahan.

Dalam praktiknya, sekumpulan penari berkuda menggambarkan rombongan prajurit mereka yang sedang mengiringi pengantin dari Kediri ke Wangker.

Dewi Songgo Langit adalah putri dari Raja Airlangga yang berasal dari Kediri dan terkenal karena kecantikannya.

Pada suatu waktu banyak sekali pria yang datang melamar sang putri, sehingga ia mengadakan sayembara.

Pelamar-pelamar yang datang semuanya terbilang sakti dan punya kekuatan yang tinggi.

Sayangnya, Dewi Songgo Langit tidak tertarik untuk menikah melainkan ingin menjadi seorang pertapa seperti ayahnya.

Namun, sang ayah memaksa untuk menikah dan ia pun setuju dengan mengajukan sebuah permintaan.

Yaitu barang siapa yang bisa menciptakan kesenian yang belum pernah ada di Pulau Jawa, maka ia bisa menjadi suaminya.

Dan ada beberapa yang berniat melamar; di antaranya Toh Bagus Utusan Singo Barong dari Blitar, Kalawarta seorang adipati dari pesisir kidul, Klono Sewandono dari Wengker, dan ada empat prajurit lainnya berasal dari Blitar.

Dewi Songgo Langit pun mengadakan sayembara dan semua pelamar tersebut mengikutinya, mereka kemudian berangkat dari tempat asal masing-masing menuju Kediri.

Sebagian pelamar ada yang bertemu di jalan dan mereka sempat bertengkar sebelum sampai di Kediri, tetapi peperangan dimenangkan oleh Pujangganom atau Klana Sewandono sedangkan Singo Ludoyo kalah.

Karena kalah Singo Ludoyo memohon agar tidak dibunuh, tetapi Pujangganom memberi syarat agar nanti Singo Ludoyo harus mengiring rombongan pernikahannya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.

Iringan tersebt dipenuhi oleh jaran-jaran (kuda) yang melewati bawah tanah serta ada alat musik yang berasal dari bambu dan besi.

Sejarah Seni Tari Jaranan Buto

Sejarah kesenian tari Jaranan Buto, melalui beberapa literatur dimulai dari Dusun Cemetuk.

Sebuah dusun kecil yang menjadi bagian dari wilayah administratif Desa Cluring dalam lingkup Kabupaten Banyuwangi.

Letaknya berbatasan dengan wilayah kecamatan Gambiran. Keadaan itu juga yang menjadikan masyarakat dusun Cemetuk mendapatkan pengaruh Kebudayaan Masyarakat Jawa Mataraman dari wilayah Gambiran.

Masyarakat Gambiran sendiri sebagian besar masih memiliki garis keturunan trah Mataram.

Dari pengaruh-pengaruh tersebut, kelahiran Kesenian Jaranan Butho dikatakan sebagai bentuk Akulturasi Budaya yang sangatlah unik.

Tarian ini Memadukan Kebudayaan Osing (Suku asli Banyuwangi) dengan Kebudayaan Jawa Mataraman.

Perihal penamaan, dikatakan bahwa istilah Jaranan Butho mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo.

Terdapat beberapa anggapan yang mengatakan bahwa Minakjinggo adalah seorang yang berkepala raksasa yang dalam Bahasa Jawa disebut Butho.

Adapun pemakaian replika kuda dalam kesenian ini membawa filosofi tersendiri,

Kuda digambarkan sebagai semangat perjuangan, sikap ksatria dan unsur kerja keras tanpa kenal lelah didalam setiap kondisi.

Fungsi Dan Makna Tarian

Fungsi seni tari jaranan beragam, mulai sebagai sarana ritual, sebagai pertunjukan ungkapan pribadi, dan fungsi estetika.

Sebagai sarana ritual, dapat dilihat secara langsung saat pertunjukannya yakni ketika upacara peringatan siklus kehidupan (kelahiran, khitanan, pernikahan) serta fungsi untuk upacara bersih desa.

Pada dasarnya kesenian ini telah hidup di setiap daerah dan berkembang karena masyarakat tetap melestarikannya, apalagi kehadirannya dianggap sebagai simbol pemersatu rakyat antara pelaku seni dan penikmatnya.

Upacara bersih desa adalah kegiatan yang dilakukan agar kesenian tari jaranan dapat berkembang dengan baik.

Dimana kesenan ini dimaknai sebagai simbol energi positif dari suatu desa dengan tujuan menjaga desa dari marabahaya dan memeranginya.

Jaranan juga merupakan simbol pemersatu rakyat antara pelaku seni dan penikmatnya yang sering disebut guyub dan rukun.

Untuk fungsi ungkapan pribadinya dapat berupa hiburan pribadi untuk sang pelaku seni itu sendiri.

Merupakan suatu kehormatan serta kebanggaan untuk seskelompok masyarakat yang bisa tampil dalam sebuah kesenian jaranan lho!

Para pelaku seni juga punya kepuasan tersendiri ketika tampil menari dan ditonton oleh banyak orang yang menikmatinya.

Sedangkan untuk penontonnya sendiri mendapat fungsi hiburan karena terhibur oleh tari jaranan yang kadang ditampilkan dalam acara siklus kehidupan.

Makna dibalik nama Jaranan Buto

Jaranan Buto dapat diartikan sebagai “kuda lumping raksasa”. Keberadaan kesenian Jaranan Buto tidak terlepas dari cerita rakyat yang melegenda yaitu Menak Jinggo seorang raja Kerajaan Blambangan.

Konon Raja Menak Jinggo berperawakan besar dan kekar bagaikan raksasa atau buto.

Sesuai dengan namanya Seni Tari Jaranan Buto , kesenian ini diperankan oleh para penari berperawakan tinggi besar dan kekas, dengan memakai kostum mirip buto.

Gerakan tariannya juga mengekspresikan gerak-gerik raksasa.

Perkembangan Tari Jaranan Buto

Tari Jaranan Buto berkembang di daerah Banyuwangi dan Blitar, Tarian ini dipertunjukkan pada upacara iring-iringan pengantin dan khitanan.

Seni Tari Jaranan Buto dalam perkembangannya memiliki suatu perkembangan yang sangat pesat diantaranya adalah variasi musik pengiringnya dan tata rias penarinya.

Bahkan, kostum Buto yang dikenakan oleh penarinya mengalami inovasi dari tahun ke tahun.

Hal itu menunjukkan kreatifitas dari para seniman Jaranan Buto yang cukup dinamis.

Leave a Comment