Gossip based action dan investigation based action–
Dua termin yang menjadi judul dari note ini bukanlah sesuatu yang sudah baku dari seorang ilmuan terkemuka. Paling tidak, itulah yang saya ketahui sampai saat note ini dibuat (kalau ada tokoh yang sudah lebih dahulu mempopulerkannya, saya tegaskan bahwa saya tidak mengetahuinya). Termin di atas saya ciptakan sendiri setelah menganalisa kasus yang nantinya akan saya jabarkan. Termin “gossip based action”, jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia maka akan berarti “tindakan yang dilandaskan isu atau kabar burung”. Termin ini saya gunakan untuk menyifati setiap tindakan yang tidak berlandaskan argumen-argumen ilmiah yang logis, rasional, dan validitas yang kokoh. Sebaliknya, termin “investigation based action” yang berarti “tindakan yang berlandaskan penelitian”, saya gunakan untuk menyifati setiap tindakan yang berlandaskan argumen-argumen ilmiah yang logis, rasional, dan mempunyai validitas yang kokoh.
Saya baru saja membaca artikel Harun Yahya bertajuk “Di Balik Perang Irak” yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia serta transformasikan ke bentuk flash ketika saya memulia menulis note ini. Saya berusaha memahami kata perkata, kalimat per kalimat dari beberapa fakta sejarah yang dituturkan oleh ilmuan muslim berdarah Turki tersebut.
Gossip based action
Tindakan invansif Amerika ke Irak merupakan salah satu contoh yang baik untuk kasus “gossip based action”. Pada awal masa invansi Amerika ke Irak, isu utama yang diangkat adalah perihal kediktatoran Saddam. Namun, setelah sebagian wilayah Irak telah diduduki, isu lain pun diangkat. Terorisme dan bom pemusnah masal dijadikan sebagai isu pengganti. Isu ini adalah isu yang sangat efektif untuk menjadi alasan memperlama proses pendudukan di Irak. Usut punya usut, rupanya Israel-lah dalang dibalik tindakan Amerika ini. Israel memiliki sederet kepentingan dengan Invansi AS ke Irak ini, misalnya, untuk memberikan bargaining power yang lebih tinggi dalam negosiasi damai dengan Palestina.
Hal yang serupa terjadi Indonesia akhir-akhir ini. Permasalahan seputar KPK yang semakin tak jelas juntrungannya sebenarnya berputar-putar pada satu inti: pelemahan proses tindak pidana korupsi di Indonesia. Strategi pertama ialah dengan membekukan Antasari Azhar sebagai ketua KPK. Layaknya Saddam, Antasari difitnah sebagai seorang pembunuh. Hanya saja, kasus yang ditimpakan pada Antasari lebih konyol dari yang ditimpakan pada Saddam. Antasari “diisukan” membunuh seorang direktur bank hanya karena berebut wanita. Silakan direnungkan, apakah mungkin seorang ketua KPK yang paham resiko hukum dan sebagainya, berani membunuh seseorang yang juga memiliki status yang menonjol, hanya karena dorongan testosteron?
Penahanan terhadap Bibit dan Chandra merupakan contoh lain “gossip based action” dimana mereka berdua diisukan telah menyalahgunakan kekuasaan. Presiden SBY kemudian melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah AS. SBY kini menempatkan diri sebagai pihak yang tak berdaya karena posisinya yang terjepit keadaan yang sangat kompleks. PP pengganti Undang-Undang pun ditetapkan bahwa ketua KPK harus diganti sementara dan namanya sudah dititipkan oleh Presiden. Intervensi ini mirip manuever yang dilakukan oleh AS ketika memutuskan untuk turut terjun ke Israel. Dengan berdalih menyelamatkan stabilitas dunia dan memperbaiki struktur pemerintahan di Irak, akhirnya legitimate sudah invansi AS ke Irak. Irak kemudian dibangun dan dibentuk dengan dikte-dikte dari AS (dan AS dari Israel). Gejala yang sama terlihat dalam kasus KPK. KPK, seperti Irak, dibangun dan dibentuk sesuai dengan kehendak Presiden SBY melalui PP pengganti Undang-Undangnya.
Yang jadi permasalahan, siapakah yang berada di balik presiden SBY dan yang mampu membuat lelaki berlatarbelakang militer itu bersimpuh tak berdaya padanya? Jika dalam kasus segitiga AS-Irak-Israel ada propaganda freemasonry dengan Jewish Instite for Security Affairs (JINSA), maka siapakah yang berada di dalam kasus Presiden SBY-KPK-Polri? Pertanyaan ini pasti sangat sulit untuk ditebak karena mengacu pada subyek singular terntentu. Namun, jika anda sudah membaca apa yang saya paparkan, tak akan sulit kiranya untuk mereka-reka sebuah jawaban untuk menjawab tanya; apa kepentingan oknum tersebut dengan mengacak-acak tindak pemberantasan korupsi? Jawabannya sudah saya sediakan di atas.
Investigation based action
Sebuah penelitian (research) pasti memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian. Biasanya, tujuan masalah merupakan turunan (diferensiasi) dari rumusan masalah. Di sini, saya tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai teknis penelitian (yang belum saya pahami secara utuh). Namun, jika anda ingin mengetahui masalah teknis penelitian lebih lanjut, buku Social Research anggitan Tim May mungkin dapat menjadi referensi yang pas. Kebetulan buku inilah yang mendampingi saya dalam beberapa hari pra-pasca lebaran ini. Harus saya akui, buku ini mempengaruhi banyak pandangan saya akan sesuatu. Salah
Kembali ke “investigation based action”, jika diproyeksikan ke kasus invansi AS ke Irak dan kepentingan Israel yang melatarbelakanginya, maka prinsip ini sesungguhnya telah dilakukan oleh salah satu dari mereka. Bukanlah AS yang identik dengan keilmiahan teknologinya, apalagi Irak yang tak pernah merasakan kedamain selama beberapa abad. Israel, bangsa kecil namun licik inilah yang menggunakan investigation based action. Jika scope pengamatan kita perbesar, maka tampaklah sosok Mossad sebagai organisator dari serentetan aksi biadab nan licik ini (bagi anda yang tidak tahu Mossad, silakan kunjungi situsnya: www.mossad.gov.il). Mossad, seperti agen rahasia lainnya, tentu tak akan gegabah dalam melakukan setiap pergerakannya yang “across boundaries” itu. Kesimpulan ini juga dapat dipadankan dengan fakta, di mana pergerakan Mossad benar-benar tepat guna dan efektif.
Sebagai contoh, adalah ketika Israel menerapkan politik disinformasi (mengkaburkan informasi) melalui berbagai media yang berada di bawah kendali para zionis. Politik ini dipraktikkan oleh Israel untuk memulai perang teluk. Israel memberitakan informasi yang tidak benar mengenai Saddam Hussein agar AS dan sekutunya tidak tinggal diam dan kemudian menceburkan diri ke teluk dengan senjata terhunus. Pola yang sama juga terjadi ketika AS menginvansi Irak. Mossad kembali menjadi biang keladi intervensi tak berkesudahan ini dengan berbagai distorsi informasinya. Keteraturan pola serta efektifitas ini, saya kira tidak dihasilkan dari proses singkat yang sifatnya reflek saja. Hal seperti ini hanya dapat dihasilkan setelah melalui penelitian yang intens dan cermat (based on research).
Di Indonesia, pola seperti ini juga pernah dipraktikkan pada rezim orde baru. Presiden Suharto memerintahkan media dan kroni-kroninya agar memberikan informasi yang tidak benar mengenai kondisi negara. Dalam buku Dari Ladang Hingga Kabinet disebutkan bahwa rezim orba membuat distorsi dalam pemberitaan kondisi ekonomi bahwa “angka inflasi yang kurang dari dua digit tidak merepresentasikan keadaan yang sebenarnya”. Politik seperti ini sangat ampuh untuk menjaga stabilitas negeri. Karena, informasi-informasi sudah disaring dan disintesis sedemikian rupa sehingga masyarakat akan terbawa oleh satu arus logika yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Strategi ini pasti juga bukan sesuatu yang muncul spontanitas. Ada upaya sistematis dan sangat cerdas yang melandasinya.
Konflik Timur-Tengah memang sangat pelik. Biang keladin permasalaha sebenarnya sudah jelas: Israel. Meminjam bahasa Mas Ahkam, Israel adalah daerah yang didiami oleh manusia bermental maling. Mereka mencuri tanah bangsa lain karena mendapatkan wangsit yang tiada lain adalah bisikan iblis. Mereka menanggalkan rasa-rasa kemanusian di balik pintu dan keluar rumah untuk membinasakan bangsa lain karena ingin membenarkan wangsit itu. Perdamaian hanya tersisa dalam dua opsi yang sangat eksrim:melenyapkan Israel (kalau memang mungkin, ideologi Jewish-Zionis mereka dulu tanpa pertumpahan darah), atau dilenyapkan oleh bangsa ambisius bernama Israel dan membiarkan mereka bahagia. Karena itu, tidak ada gunanya rasanya berpanjang-panjang dalam tulisan jika terus membahas tentang Israel dan perdamaian dunia. Oleh karena itu, saya lebih berminat untuk melirik sisi lain dari konflik di Timur-Tengah ini: teori konspirasi.
Teori konspirasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari politik. Meskipun ilmu politik tidak menyebutkan cara-cara berkonspirasi (dalam konotasi yang jelek) secara eksplisit, namun secara implisit teori dan sekaligus cara mengaplikasikannya telah digelar dalam wujud celah-celah diskursif. Bagaimana hubungan suatu negara dengan negara lain adalah berdasarkan atas kepentingan bersama misalnya, sudah cukup menjelaskan bahwa disitu ada celah untuk melakukan sebuah konspirasi politik yang kotor. Sebut saja AS dan Israel, demi kepentingan bersama (AS ingin minyak, Israel ingin menggertak Palestina) maka Irak pun boleh diluluhlantakkan.
Permasalahan pelik yang menimpa KPK bukanlah polemik hukum biasa. Sebagaimana saya uraikan, nuansa konspirasi untuk melemahkan KPK sangat jelas tersisip dalam setiap runutan kejadian. Sekedar mengingatkan, tahun 1998 Suharto dilengserkan selain karena rezim kediktatoran yang ia terapkan, juga karena masalah KKN yang begitu akut bersarang di birokrasi pemerintahan. Tiga tahun menyusul, 2001, giliran Gus Dur yang diturunkan dari kursi presiden karena kasus penyelewengan dana Yanatera Bulog yang ia tersangkut di dalamnya. Garis besarnya, kedua mantan presiden tersebut dicabut mandatnya karena alasan yang sama: Korupsi. Kini, ketika kasus yang serupa tapi tak sama muncul di Indonesia, haruskah sejarah terulang?
Semoga tetap Bang Chandra Hamzah (wakil ketua KPK) semoga tetap tawakal…
Perjuangan Abang sedari Mahasiswa UI, sebagai ketua harian SMUI 1991, cikal bakal terbentuknya BEM UI (Badan Eksekutif Mahasiswa), sudah jelas menentang KKN yang ada di Indonesia, sekarang Abang sudah berada di dalam sistemnya….negara ini. walaupun KPK Independent tetaplah ia lembaga eksekutif…
LIBAS TERUS KORUPSI BIAR RIBUAN FITNAH DATANG SILIH BERGANTI.
salu buat KPK
Okeh, terima kasih atas tulisanny.. Sedikit membuka wawasan gw..
Gw perhatikan, semua ‘serangan’ thp KPK dimulai sejak KPK hendak mengaudit KPU..
Kita tahu betapa vital posisi KPU dalam keberlangsungan rezim si dia.. Dgn kecurangan sistematis yg bertemakan DPT, mereka berhasil memanipulasi perolehan suara, tanpa mampu diusut oleh MK..
Terlebih lagi saat KPU hendak mengusut bank Century, yg melibatkan ‘perwira rezim’, kita sebut saja mr. B dan mrs. SM.. Serangan pemerintah pun makin menjadi2, bahkan dgn alasan yg dibuat2.. Bisa2 dgn Perppu td pemerintah pun bs membubarkan KPK dgn sewenang wenang..