Something Missed in Our Lovely Bikun

Tulisan ini diransang oleh pengalaman pribadi yang dialami oleh penulis

Keberadaan sejumlah Bis Kuning (BIKUN) baru di lingkungan kampus, yang merupakan salah satu klaim keberhasilan dari pihak pemangku kekuasaan (atau memang telah menjadi suatu kebutuhan) di Universitas Indonesia saat ini, telah memberikan warna baru bagi keseharian Mahasiswa UI saat ini. Sejumlah Bis yang dihadirkan ke dalam Kampus Rakyat ini terlihat sangat anggun dengan balutan desain dan gambar yang menghiasi pesona dari Bis tersebut. Desain yang digunakan oleh Bis tersebut merupakan hasil dari sayembara yang dilakukan oleh pihak yang berwenang demi terpenuhinya hasrat dari segenapa warga UI yang ingin turut berperan bagi kehidupan yang dijalaninya di dalam kampus. Sebuah desain yang memang sarat nilai dan peran ikut serta mendukung kampanye penyelamatan bumi dari bahaya kerusakan lingkungan serta penuh dengan kesegaran bagi setiap pasang mata yang menatap Bis ini melaju di jalanan kampus UI.

Tidak hanya dari segi desain yang tidak dipungkiri lagi merupakan sebuah prestasi bagi sang desainer, Bis tersebut juga didukung dengan beberapa kenyaman yang disuguhkan bagi para pengguna jasa seperti Air conditioner-AC (katanya bebas dari pemicu global warming), kursi penumpang yang sangat empuk yang kadang bisa mengundang kantuk bagi penumpangnya, adanya pegangan bagi para penumpang yang tidak mendapat kesempatan duduk alias berdiri sehingga tidak lagi perlu khawatir ketika laju Bis tidak stabil, hingga adanya alunan musik yang disuguhkan oleh beberapa pasang speaker yang mengantarkan melodi-melodi karya khas anak bangsa kepada telinga para penumpang.

Bagi penulis, yang memang sangat jarang untuk mengunakan fasilitas kampus ini karena posisi dari kampus penulis cukup ditempuh dengan berjalan kaki dari Balik Rel (BAREL), keberadaan fasilitas kampus ini sudah lebih dari cukup –jika tidak ingin dibilang mewah- bagi kampus yang katanya sampai hari ini masih menyandang status sebagai Kampus rakyat.

Terlepas dari keberadaan BIKUN baru tersebut dan segenap fasilitas yang memanjakan para penggunanya serta prestasi yang dinilai sebagai sebuah pencapaian bagi sebagian kalangan, ada beberapa hal yang terlepas dari pandangan segenap warga UI. Mungkin hal tersebut lebih kepada nilai-nilai etika ataupun kebiasaan dari para pengguna yang selama ini dianggap biasa oleh kita semua namun sesungguhnya dapat kita evaluasi sendiri. Kebiasaan-kebiasaan umum yang diterapkan mungkin telah menjadi keseharian bagi pengguna jasa BIKUN seperti memberikan prioritas tempat duduk bagi kaum perempuan, lalu kemudian memprioritaskan kepada penumpang yang lebih tua dan etika lainnya yang dipandang sebagai moral bagi masyarakat. Namun ada satu hal yang penulis cermati –terangsang oleh pengalaman pribadi penulis beberapa hari yang lalu- dan penulis menilai bahwa hal ini dapat kita evaluasi bersama.

Adalah ketika BIKUN yang kita cintai ini hendak berhenti di setiap halte yang ada dilingkungan kampus. Kebanyakan dari kita para pengguna, jika tidak dikatakan semua, yang selalu berinisiatif untuk beranjak dari tempat duduk maupun posisi berdiri dan mendekati pintu keluar beberapa saat sebelum BIKUN berhenti. Dan tindakan spontan ini berlansung serentak oleh para pengguna BIKUN pada momentum kecepatan Bis berkurang hingga sang BIKUN berhenti. Pertanyaannya adalah mengapa kita harus berdesak-desakan menuju pintu sementara BIKUN itu sendiri belum berhenti hingga bertubrukan satu sama lain ketika pedal rem diinjak dan BIKUN pun berhenti. Sebuah fenomena yang terlepas dari pandangan kita selama ini.

Beranjak dari fenomena tersebut sebaiknya kita bertanya kepada diri kita sendiri, apa salahnya kita stay dulu di tempat duduk maupun posisi berdiri hingga BIKUN benar-benar berhenti sehingga fenomena ini tidak lagi terjadi. Perlu kita sadari bahwa BIKUN, fasilitas yang diberikan oleh pihak otoritas Kampus kepada segenap warga UI bukanlah kendaraan Angkutan Umum atau angkutan kota (Angkot) yang senantiasa menghiasi keseharian masyarakat di kota kita. BIKUN bukanlah kendaraan yang memprioritaskan waktu dan jumlah penumpang sehingga nilai setoran yang didapat banyak, melainkan kendaraan yang mengutamakan keselamatan dan kenyamanan para pengguna jasanya. Kita tidak perlu khawatir ketika hendak turun dari BIKUN maka BIKUN hanya “semi berhenti” dan bukan berhenti total layaknya kendaraan umum. BIKUN akan benar-benar berhenti di setiap pemberhentiannya dan akan memberikan tenggang waktu bagi naik turunnya penumpang tanpa dihantui ketepatan waktu dan jumlah penumpang yang menaikinya. Alangkah indahnya terlihat ketika kita benar-benar disiplin dalam arti ketika BIKUN telah benar-benar berhenti, baru bergerak menuju pintu keluar sehingga fenomena berdesak-desakan tidak lagi terjadi.

Apakah kedisiplinan dalam berkehidupan hanya dapat kita temukan di Jepang atau Negara-negara “MAJU” lainnya di dunia sementara kita sendiri lantang meneriakkan hendak mensejajarkan diri dengan Negara-negara di Dunia? Bukankah kita telah mengetahui di dalam penerbangan, penumpang dilarang beranjak dari tempat duduk hingga Pesawat benar-benar berhenti.

24 thoughts on “Something Missed in Our Lovely Bikun”

  1. “BIKUN akan benar-benar berhenti di setiap pemberhentiannya dan akan memberikan tenggang waktu bagi naik turunnya penumpang tanpa dihantui ketepatan waktu dan jumlah penumpang yang menaikinya.”

    wah… kata siapa? berdasarkan pengalaman pribadi saya yang setia berbikun ria pergi-pulang kampus, bikun tuh bener2 ga berenti kalo bapak supirnya ga ngeliat ada yang berdiri mau turun. bahkan pernah saya yang emang udah bener2 berdiri dan mau turun saja tetep ngga berenti klo saya ga bilang “pak, mau turun”. euuuh…

    dan kadang2 bapak bikunnya juga suka ngga buka pintu belakang. waktu itu saya husnudzan saja, mungkin pintu blakangnya ga bisa dibuka, atau bapaknya ngga ngeliat saya uda berdiri di deket pintu belakang. Tapi lintasan hati saya menggerutu: bis baru berapa bulan ko cepet banget rusaknya.

    bikun juga bener2 ga berenti kalau bapak supirnya ngga ngeliat ada orang yang nunggu di halte dan bis dalam keadaan agak sepi (dan orang yang mau turun juga ga berdiri).

    Lah, keadaan yang memaksa kita untuk berbudaya seperti itu. lagipula, untuk beberapa halte seperti psikologi yang dimana penumpang bikun yang akan turun disana hanya segelintir (paling anak asrama atau dari gerbatama), supir bikun juga uda paham banget klo di halte tersebut jarang yang turun dan naik bikun. Nah klo ga buru2 berdiri, bapaknya ngga berentiin bikunnya. gitu loh ka…

    Jadi, sebaiknya jangan dilihat dari satu sisi saja, jangan langsung ngejudge kalau budaya kita sebagai penumpang bikun yang seperti itu karena “ketidakdisiplinan dalam kehidupan”. Memang keadaanlah yang memaksa kita untuk berbudaya seperti itu. Ada baiknya hal itu juga dibicarakan dengan bapak2 supir bikun.

    Oia, ada satu hal lagi yang suka bikin saya kecewa dengan bikun baru. bapak supir bikunnya sendiri suka tidak mematuhi peraturan yang tertempel di jendela bikun: NO SMOKING.

    CMIIW

    Reply
  2. LOL..

    Cukup menarik juga bahasan dari Kika.. 😀

    No Smoking? Not Me.. 😛

    Um.. kalo mang kayak gitu, mending langsung tegur sopirnya. Bilang baik2..

    “Pak, kok gak berhenti di halte itu? Kan saya mau turun.. kasihan saya pak.. ”

    hehe.. gak sebegitu mengibanya siy.. tapi bilang aja kalo hendaknya dia berhenti di tiap halte. Bilang ke beliau dengan baik2, toh dia lebih tua dari kita.

    Terus kalo ada yg ngerokok dinyanyiin lagu ST12 aja.. “Oh.. Kamu Ketauan” 😀
    Tegur jg si bapak tadi.

    Kalau cara2 di atas belum efektif, segera hubungi dokter.. ups.. bukan dokter, coba di-eskalasi lewat manager bus kuning atau media publikasi lain, berikut bukti poto2nya.. 😉

    Nice info gan.. keep posting.. ^^

    Reply
  3. Himbauan TS bisa dipastikan ga berlaku buat salah seorang oknum supir bikun yang badannya gede dan kumis+rambutnya dah memutih.
    FYI, itu supir bikun terganas. Kayaknya beneran mo buru2 kayak angkot/bis kota. Malah, lebi ngga buru2 bis kota keknya. Orang belon naek semua dah mo jalan. Tu supir sekarang sering bawa bikun kecil tapi baru, sebenarnya lebih lama dari yang baru2 sekarang tapi lebih baru dari yang lama2 sekarang

    Reply
  4. Good posting. 😀
    Satu hal, etika mendahulukan perempuan ternyata tidak universal, karena di Jepang tidak demikian.
    Akan tetapi, saya sangat setuju ketika kita “kudu wajib harus” untuk menghormati orang yang lebih tua. Saya sangat setuju akan hal itu.
    Mengenai reaksi para penumpang bis kuning yang “buru-buru” beranjak dari tempat duduk, padahal belum berhenti, menurut saya itu normal. Alasan saya yakni, karena itu termasuk manusiawi. Seorang “penduduk” Jakarta*, yang sebegitu seringnya mengakses bis-bis kota demi menuju suatu tempat. Tentu mereka akan secara tak sengaja melakukan apa yang mereka dapatkan di bis-bis biasanya.
    Jadi, kesimpulannya yakni hal itu maklum karena manusiawi. Akan tetapi, saya pribadi melakukan apa yang Anda anjurkan, yakni tak beranjak dari tempat duduk sebelum bis kuning benar-benar berhenti. Alasannya yakni saya bukan “penduduk” Jakarta* asli. Mungkin agak jayus, dan sekali lagi saya mohon maaf, bila pendapat saya terdapat hal-hal yang tidak berkenan. Sekian dan terima kasih.

    Keep posting! 🙂

    Reply
  5. #5: ini ga ada hubungannya dengan anak Jakarta ato anak Jawa, tapi emang kalo ga mau ketinggalan turun bikun ato malah celaka gara2 telat

    Reply
  6. sebenarnya yg lebih parah lagi adalah pada saat naik ke bikunnya… orang yg sudah masuk bikun enggan untuk berdiri di tengah , mereka lebih suka berdiri dekat pintu sehingga menghambat oarng yang ingin masuk akibatnya banyak terjadi penumpukkan di dekat pintu dan di tengah bikun lenggang.. mungkin karakter yang ingin selalu ingin lebih dahulu dan tidak mau ambil resiko sudah mendarah daging , sehingga walaupun rata2 yg naik bikun adalah MAHASISWA dari UI pula lagi yg katana mempunya INTELEKTUALITAS yg tinggi tetap bisa tejadi…saya mempunyai pandangan akan displin dari sebagian teman2 mahasiswa UI kurang… sehingga tidak heran jika indonesia tidak bisa mengalami kemajuan secara signifikan… teman2 mahasiswa UI saatnya sadar dan berbenah diri apakah displin diri kita sudah benar,.. sehingga apabila kita mempunyai impian suatu perbaikan untuk UI dan Indonesia bisa lebih konkrit dilakuakn dengan mulai mendisplinkian diri pribadi, karena apabila tidak dimulai dari perbaikan displin diri yang ada hanya retorika semu… mulailah dari diri sendiri untuk membuat suatu perubahan besar kawan…

    “hanya hamba allah yang faqir”

    Reply
  7. “Bagi penulis, yang memang sangat jarang untuk mengunakan fasilitas kampus ini karena posisi dari kampus penulis cukup ditempuh dengan berjalan kaki dari Balik Rel (BAREL)”

    emang bener, khan penulis mengakui jarang naek Bikun….

    Reply
  8. Katanya jaman emansipasi, tapi kenapa kita harus mendahulukan perempuan?
    Kalau orang tua, ibu hamil, atau anak-anak sih gw masih mau kasih tempat duduk.

    Tapi kalo cewek yang masih muda, sori sori nih.
    Siapa cepat dia dapat! 😀

    Reply
  9. @widya wicaksana
    halloooooo.. adakah nenek2/kakek2 dan orang hamil yang naik bikun?? buat apa? numpang naik??
    masih heran kenapa di dalam bikun tetep ada tulisan: dahulukan orang cacat, lansia dan ibu hamil 😛

    well.. klo diluar konteks bikun, alis bis kota biasa.. saya setuju^^

    Reply
    • hello,, ga semua mahasiswa masih muda n belum menikah..
      Saya mahasiswa tingkat akhir yang sudah menikah dan sedang menjalani kehamilan, masih suka naik bikun..
      walau tak ada yang memberikan tempat duduk untuk saya, saya cuma bisa bersabar..
      mental egois-nya terlalu tinggi sih.. ;(

      Reply
  10. Setau saya, bikun ini boleh kok dinaikin juga oleh warga sekitar yang bukan mahasiswa UI.
    Mungkin orang kukel, daripada jalan kan jauh. Atau ngojek juga mahal.

    Tapi itu bikun yang lama. Ga tau ya kalo bikun yang baru ini, boleh apa ga.

    Dan sepertinya sih masih boleh. Buktinya ada stiker itu (dahulukan orang cacat, lansia dan ibu hamil).

    Hayoo.. 🙂

    Reply
  11. kalo gw si fine2 aja dgn penumpang yang berdiri sebelum bikun bnar2 berhenti.

    gw rasa ini ttg efisiensi waktu. kalo pnumpang udh mulai berdiri sebelum bikun benar2 berhenti, hal ini akan mengurangi waktu yang dibutuhkan bikun untuk mnempuh 1 putaran ui.

    kalo misalnya efisiensi waktu ditiap halte sekitar 10 detik..berarti, cycle time bikun berkurang menjadi (10 detik x 15 halte) = 150 detik = 2 menit 30 detik.

    gw gak tau si,,manajemen bikun udh nge-set waktu keberangkatan per bikun atau enggak, tapi kalo bikun cepet datengnya,,,yang seneng kita juga, kan?? 😀

    Reply
  12. iya…kan perempuan pengennya emansipasi??
    nah ngapain kita ngasih iba kepada cewek????
    NO!! hehe..makan tuh emansipasi! udah dikasih enak malah ngotot…maunya apa sih cewek??!!

    Reply
  13. oiya kalo lupa kalo ada siapapun yang butuh publikasi mengenai ‘desain asli BIKUN UI’ silahkan hubungi saya, saya siap membantu. thanks

    Reply
  14. Kebanyakan supir bikun ga mw nunggu tuh,, qt srg kali lgsg berdiri bwt turun pdhl blum sampe bwt mencegah qt kelewatan haltenya, sering kali kejadian qt blum turun smua supir bikun ud ngegas mw jalan, kdg pk marah2 sgala nyuru cpt2 trn,, jadi??

    Reply
  15. Klo alesan gw knp gw berdiri mendekati pintu sbelum bikun berenti itu krn gw pernah ngeliat org2 yg ttp stay duduk sampai tu bikun berenti itu diomelin sm bpk supirnya,dibilang lamban,diteriakin suruh cepet,bukan dr td berdiri.itu pengalaman gw sih,makanya gw klo udh deket dgn halte,gw langsung beranjak dr tmpt duduk,drpd ditereakin kaya gt,rasanya lbh skt hati dan malu,hehe,

    Reply
  16. setuju bgt sama Dini, biarpun gue belom pernah ngalamin, tapi sering ngeliat kok kejadian kayak gitu, bahkan ga cuma diomelin si pak supir, tapi beberapa penumpang ada yang ikut komentar 🙂

    kalo soal prioritas tempat duduk, awal-awal gue sempet ngasih ke cewe. tapi setelah pindah gedung kuliah (vokasi jalannya dari halte lumayan tuh) selain itu juga adanya “emansipasi” tersebut, maaf bgt udh nggak pernah (kecuali orang tua). Kecuali saat mau masuk bus, gue persilahkan cewe duluan, masa iya berebutan sama anak cewe :hammer:

    Reply

Leave a Comment