Apakah saat bangun tidur kita selalu mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan? Saya akui, sangat jarang sekali saya melakukannya. Hal yang pertama saya pikirkan adalah kenapa jam di dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi, padahal rasanya tidur malam masih sebentar.
Mengapa kita harus bersyukur saat bangun pagi? Karena kita masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk hidup dan melhat indahnya matahari pagi, selain itu kita masih bisa mendengar suara ayam berkokok, mandi dengan air yang segar, dan yang paling penting merasakan kasih sayang dari orang-orang di sekitar kita.
Coba bayangkan, apa yang kita lakukan setelah mandi pagi, sebagian dari kita mungkin ada yang tidak sarapan dan ada juga yang biasanya tidak bisa melewatkan sarapan pagi dan makan dengan lahap. Kemudian apa lagi, sebagian dari kita ada yang berolahraga menghirup udara yang segar dan merasakan embun pagi yang menyejukkan.
Kebanyakan orang tentu saja, keluar dari rumah di pagi hari untuk bekerja mencari sesuap nasi. Sebagai mahasiswa, tentu saja di pagi hari kita akan berangkat kuliah untuk menuntut ilmu. Tentu saja, terkadang saya sering merasa malas dan menggerutu dalam hati, “mengapa hari ini ada kuliah di pagi hari”?
Tapi, lain halnya jika saya kuliah di siang hari atau sekitar jam 11. Saya akan menggerutu ‘uuh coba yaa hari ini libur kuliah atau dosen tiba-tiba ada perlu gitu..”. Berada di kemacetan pagi benar-benar membuat saya kesal dan merasa suntuk serta malas untuk pergi kuliah.
Tetapi, ketika saya melihat gelandangan di trotoar, para pemulung, tukang kebersihan di jalan, dan pedagang asongan, hati saya pun berubah. Tiba-tiba bapak saya berkata “kasian yaa orang yang naik motor kalo macet-macet gini, mereka harus menurunkan kaki mereka untuk berhenti, makanya mereka selalu nyalip-nyalip”.
Hmmmmm seharusnya, saya bersyukur. Bersyukur atas pagi yang cerah, sarapan yang nikmat masakan ibu, mobil nyaman dimana yang bapak mau mengantar saya tiap pagi sehingga saya tidak bersusah-susah mengejar bus, dan yang paling penting universitas tempat menimba ilmu. Seperti kita ketahui bahwa tidak sedikit, bahkan banyak orang yang tidak bisa mencicipi bangku kuliah.
“Duh rasanya pengen mati aja”, “please kill me oo kill me”, “rasanya pengen gila”, kata-kata keputusasaan yang sering kita dengar dari orang yang sedang kesusahan. Mungkin kita sendiri juga pernah mengatakannya.
Jujur, saya terkadang suka berputus asa, jika nilai UTS buruk dan amat sangat jauh dari yang diharapkan. Selain itu, ada juga kata-kata buruk atau makian yang jika, saya tuliskan, maka akan diberi sensor bintang untuk menutupinya yang juga akan diucapkan saat kesusahan atau kegagalan.
Apakah kegagalan yang sekali itu akan terus datang lagi atau apakah akan berdampak selamanya untuk kehidupan kita? Bagaimana dengan makanan yang masih bisa kita makan, pakaian bagus dan nyaman yang kita pakai, rumah atau kosan kita yang selalu menjadi tempat kita pulang dan istirahat dari menimba ilmu.
Kemudian, bagaimana dengan mata, tangan, kaki, dan hidung yang selalu mengambil udara yang amat sangat baik bagi kehidupan kita ini? Saat mengetahui nilai UTS kita kecil dan saat kita tahu jika, jika gagal dalam suatu hal kita pasti akan kesal, sedih, dan yang paling parah mungkin merasa sesak napas kemudian frustasi berkeanjangan.
Saya pernah merasakannya bagaimana frustasi kemudian benar-benar merasa malas dan tidak mau melakukan apa-apa. Di sisi lain, jika kita melihat orang lain atau teman kita yang ternyata bisa meraih sesuatu yang melebihi kita, contohnya saja mendapatkan nilai UTS bagus dan IP Cumlaude dan kita justru gagal, apa yang kita rasakan?
Pertama, kemungkinan sedih, kemudian iri, dan ketiga strees. Apalagi, jika selama ini apa yang didapatkan teman kita atau orang lain tersebut adalah sesuatu yang sangat kita idam-idamkan dari dulu. Rasanya, bagaikan hidung kita ini tidak lagi menghirup oksigen, tetapi gas karbondioksida atau karbonmonoksida yang menyesakkan dada.
Pada akhirnya, kita akan kembali pulang ke rumah. Bertemu ibu, bapak, adik, dan kakak kita. Makan, mandi, tidur, nonton tv, membaca buku, mendengarkan musik, melakukan hal-hal yang dapat membuat hati kita lebih tenang.
Terkadang sangat sulit merasakan kenyamanan yang diberikan rumah kita karena kekesalan yang kita rasakan. Sangat sulit menghargai barang yang kita punya hanya karena kita lebih menghargai barang milik orang lain. Bukankah kita sering lebih memuji blackberry, laptop, dan barang-barang kepunyaan orang lain dan mencaci barang kepunyaan sendiri.
Padahal, barang-barang yang kita miliki sangat menunjang kehiudpan kita sehari-hari. Bagaimana jika, suatu hari barang-barang elektronik memiliki hati dan dapat berbicara? Sulit menghargai barang milik kita sendiri hanya karena kita lebih menghargai barang milik orang lain. Sangat sulit mensyukuri sesuatu yang kita miliki hanya karena kita tidak memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain.
Bagaimana dengan kegagalan? Tentu saja, sangat sulit untuk menerima suatu kegagalan. Suatu hari ketika sedang minum-minum teh bersama ibu, saya bercerita mengenai teman-teman saya yang lebih berhasil daripada saya, dan saya bilang kalo rasanya cukup sedih ternyata saya tidak bisa seperti mereka dan bahkan saya pernah gagal.
Ibu saya berkata bahwa, saya tidak boleh berkata seperti itu, lebih baik saya mensyukuri saja, yang terpenting saya berhasil lulus semua mata kuliah dalam 1 semester. Perkataan ibu memang tidak membangkitkan semangat dan membuat saya untuk berusaha lebih keras. Tapi, ini benar-benar sesuatu yang berbeda dimana bukanlah hal klise yang saya dapatkan.
Ibu saya ternyata bukan menjawabnya dengan menyuruh saya untuk berusaha lebih keras, melainkan menyuruh saya mensyukuri apa yang telah saya dapatkan. Awalnya, saya merasa agak sedikit kecewa dengan nasihat ibu saya ini. Tapi, lama-kelamaam nasihat ibu ini bagaikan secercah harapan yang mengingatkan saya akan keajaiban.
Jujur saja saya sering sekali mengeluhkan nilai-nilai saya dan ibu pun selalu berkata seperti itu. Ibu selalu bilang kalo saya tidak boleh gelisah. Yaa kita memang tidak boleh gelisah, bukankah Tuhan Maha Melihat dan selalu bersama kita. Jadi, sekarang ketika saya sedang merasa gelisah karena merasa bahwa saya masih kurang dibanding yang lain dan memikirkan bagaiman masa depan seperti hutan belantara, maka saya pun teringat bahwa saya masih bisa tidur malam ini di kasur yang empuk dan makan nasi panas dengan lauk pauk 3 kali sehari. Kemudian, saat saya berjalan di balhut untuk menuju kampus, saya selalu merasa bersyukur bahwa saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk kuliah di salah satu Universitas Negeri terbaik di negeri ini.
Ada saat-saat dimana kita mempunyai mimpi dan cita-cita. Kemudian, kita bergerak maju memutar roda perjalanan yang menggiring kehidupan ini agar naik ke atas. Selain itu, beratnya beban-beban kehidupan yang kita rasakan seperti misalnya, tugas-tugas menumpuk dan ujian yang Take Home benar-benar membuat kita mengeluh.
Saya ingin mengutip kata Mario Teguh yang mengatakan bahwa keadaan kita sekarang ini adalah hasil dari pekerjaan kita yang kemarin. Meskipun, saat ini kita gagal bukankah kita telah mencobanya dan sekarang kita sudah berada di tempat yang lebih baik.
Contohnya saja, dulu kita SMA sekarang kita telah kuliah di UI, meskipun kita tidak lulus pada suatu mata kuliah, bukankah kita telah lulus menjadi anak UI, naik bikun, naik sekun, dan memakai jakun? Memang terdengar klise, tapi bagaimana dengan makanan kantin yang kita masih tetap bisa kita makan dan rasakan mengisi rasa lapar kita walaupun nilai ujian jelek, bagaimana dengan pengemis di bus atau kereta yang kita temui, apakah mereka bisa makan makanan yang sama dengan kita?
Cobalah renungkan sebentar saja apa saja yang kita miliki dan apa saja yang bisa kita lakukan dengan benda yang kita miliki tersebut. Tentu saja, nasi dari sarapan pagi buatan ibu memberi energi untuk menghadapi hari. Ucapkanlah terima kasih kepada Tuhan sesering mungkin.
Contohnya, saat mendapatkan kereta ac yang penumpangnya sepi, saya merasa bersyukur kemudian saya ingat bahwa perjalanan saya ini berada pada pengawasan Tuhan sehingga kita lebih bersemangat pergi kuliah. Rasa syukur dan ucapan terima kasih yang diucapkan kepada Tuhan disertai dengan kesadaran kepada Tuhan lebih meningkatkan kepercayaan dan keyakinan kita akan sesuatu sehingga membangkitkan rasa semangat kita. Itu tentu saja lebih baik daripada memaki atau mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dengan maksud ungkapan kekecewaan kepada-Nya. Padahal, semua yang terjadi yang ada di hanyalah kekuasaan Tuhan semata dan Tuhan tidak pernah menyulitkan umatnya.
Bukankah lebih baik jika kita bersyukur kemudian berpikir positif, daripada mengeluh atau memaki kemudian gelisah dengan keadaan yang merasa kekuarangan? Akhir kata saya akan mengucapkan kata-kata klise yang sudah sering kita dengarkan “Sudahkah Anda bersyukur hari ini?”:)
syukur forgotten word to do…
like this…