Tentang Bapak Dosenku, (Alm) Sunarya Wargasasmita

Entah alasan khusus apa sehingga aku pun harus menulis ini buat kalian teman ku.  Apakah pernah kau mengalami momen seperti yang aku tulis buat kalian ini? Begitu banyak orang seperti ini yang hadir diantara kita selama ini.  Seberapa besarkah mereka buatmu? aku tidak tahu kawan apa jawab mu.  Tapi, satu orang yang aku ceritakan disini, mungkin menginspirasi mu, untuk lebih mengenal atau mungkin menjadi orang-orang seperti ini…

JUMAT, 24 DESEMBER 2010

TERKENANG SUNARYA WARGASASMITA

BAPAK DOSEN KU

Di dalam kereta jenazah.

Di depan ku saat itu terbaring jasad nya.  Terbujur di atas keranda, tertutupi kain hijau, berlukiskan syahadatain, La ilaa ha ilallah, muhammadurrasulullah.  Terbayang bagaimana parasnya di saat-saat terakhir, aku menyesal tidak dapat melihat nya untuk terakhir kali hidup di dunia.  Saat pagi itu aku bertandang ke rumahnya, tubuh tuanya telah terbungkus lembut kafan putih.

Setelah disemayamkan di kediaman, sang mendiang akan di solatkan di masjid, lalu diantarkan ke Bogor untuk dikembumikan.  Perjalanan singkat menuju masjid ini, di dalam mobil ambulans, membuat aku teringat tentang suatu momen semester yang lalu bersama sang almarhum, bapak dosen ku, satu orang baik didunia ini.

… … … …

Dengan perasaan gemes, pagi itu aku memutuskan berangkat ke kampus walau tidak ada jadwal kuliah.  Tujuan ku satu, protes!  Baru saja aku lihat nilai Ekologi Perairan Tawar ku, C+! C+!  dan ini di luar bayangan.

Aku menyenangi mata kuliah ini, malah kemungkinan besar ini adalah bidang ilmu yang aku putuskan untu aku geluti di Biologi.  Mulai karena niat itu pula aku mulai membaca buku-buku tentang Ekologi Perairan Tawar dan Limnologi.  Aku juga jadi sering meluangkan waktu untuk menilik artikel-artikel terkini di jurnal-jurnal nasional maupun internasional yang membahas tema ini. Kondisi perasaan ku saat itu diperburuk karena teman satu kelas kuliah ku, yang malah tidak ikut Ujian Akhir Semester, mendapatkan nilai B!

Sesampainya di kampus, aku segera menuju ruang dosen penanggung jawab mata kuliah ini.  Mata kuliah ini di ajar oleh dua orang dosen, Drs. Sunarya Wargasasmita, M.Si., dan Drs. Erwin Nurdin, M.Si., namun nama yang tersebut pertama adalah dosen penanggung jawab, yang dengan kata lain di tangannya lah nilai ku diputuskan.

Aku ketuk pintu ruang bapak dosen dan ku ucapkan salam.

“Assalammualaikum” tidak ada jawaban.

Salam kedua kuucapkan

“Assalammualaikum, Pak Narya” tetap tidak ada jawaban.

Salam ketiga, tidak ada jawaban berarti aku harus pulang saja.

“Assalammualaikum, apa Pak Narya ada didalam?”

“Iya, masuk saja langsung, pintu tidak saya kunci” terdengar jawaban dari dalam ruangan.

Kubuka pintu, di seberang ruangan, duduk bapak dosen sedang membaca koran.

“Kamu siapa ya? Ada perlu apa kesini?” Tanya Bapak dosen setelah meletakkan korannya diatas meja.

“Saya Abdul Basir, Bapak.  Saya ikut kuliah Ekologi Perairan Tawar yang diajar oleh Bapak semester ini”. Jawab ku.  Sedih dia tidak ingat aku, setelah apa yang dia perbuat kepada IP dan IPK ku semester ini.

“Oh, iya. Saya ingat kamu.  Mari, mari, silahkan duduk” kata Bapak dosen sambil menunjuk kursi di depan tempat duduknya sekarang.

“Terima kasih pak” kata ku, lalu duduk.

“Ada apa nak Basir kesini, bagaimana nilai Ekologi Perairan Tawar kamu?” tanyanya.

“Sebenarnya itu alasan saya datang kesini bapak, saya ingin tanyakan perihal nilai saya itu”  terangku.

“Memang kenapa sama nilai kamu?”

“Kenapa-kenapa Bapak, saya dapat C+ untuk EPT”

“Iya, kamu dapat C+? lalu ada masalah apa dengan nilai itu?”

Ada masalah apa? Tentu saja itu masalah! Darimana nilai itu sebenarnya? Kata ku saat itu dalam hati.  Tapi aku kendalikan diri, ini Bapak dosen ku, pengajar dan pendidik ku, guru ku, orangtua ku di kampus ini.

“Saya ingin tanya saja, Pak. Tentang transparansi nilainya, bagaimana bapak menghitung nilai saya itu? Saya yakin saya sudah mengikuti kuliah dengan baik. Saya kerjakan tugas-tugas yang bapak dan pak Erwin berikan.  Saya yakin pula jawaban saya diujian-ujian kita memuaskan.  Lalu bagaimana huruf C+ itu bisa keluar di transkrip nilai saya semester ini? Sedangkan teman saya, yang bahkan tidak ikut UAS dengan bapak, menapatkan nilan B? Saya mohon penjelasan langsung dari Bapak”  tukas ku ke bapak dosen, galau. Biar bapak dosen tahu, bagaimana perasaan kecewa ku.

“Kamu merasa tidak pantas mendapatkan nilai seperti itu, nak Basir?”

“Iya, Bapak”

“Kamu menyukai mata kuliah itu?”

“Iya, pernah suka lebih tepatnya, tapi itu juga tergantung pada apa yang bisa bapak jelaskan ke saya?”

“Oh, begitu… sayang sekali… nak, saya jujur juga tidak terlalu ingat bagaimana nilai itu bisa kamu dapatkan, tapi yang jelas itu semua memang dari saya. Kalau itu memang sebuah kesalahan bagimu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya ke kamu sekarang.  Kamu mau maafin saya kan, nak?” kata Bapak dosen lembut.

Memaafkan? Itu suatu hal yang mudah untuk dilakukan, Pak. Tapi bagaimana dengan transkrip nilai saya yang tercurangi itu? Gerutu ku dalam hati.

Hening sesaat.  Teringat bagaimana masa-masa kuliah ku. Aku sering kali telat datang kuliah, padahal pak Narya untuk datang mengajar, harus menaiki tangga sampai lantai 4.  Saat pak Narya menerangkan materi, aku, kami maksudku, sering kali jadi acuh tak acuh, karena menurut kami, cara mengajar pak Narya, bahkan pak Narya sendiri, begitu tradisional, konservatif.  Parah sekali aku sebagai mahasiswanya, sebagai anak didiknya, menuntut sesuatu predikat, yang mungkin sudah tercapkan kepada ku karena perilaku buruk ku selama jadi mahasiswanya.

Padahal kenyataanya bapak dosen sudah memberikan kejujuran dengan nilainya kepada ku. Bapak dosen sudah memberi ku nilai sebenarnya untuk seorang manusia, tidak hanya dari apa yang tertulis atau terlisankan, namun karena tabiat dan tingkah lakunya juga.  Di depan ku saat itu, terhampar sebuah ketulusan budi pekerti, yang disepuh sampai usia tua, oleh asam garam pengalaman bapak dosen.

“Bapak kan dosen saya, bapak sampai minta maaf begitu, aneh kalau saya memaafkan bapak, karena tidak terdapat sebuah kesalahan pun yang bapak perbuat.  Saya juga ingin minta maaf sudah datang kesini dan menuntut bapak macam-macam.  Walau saya tetap masih kecewa karena nilai bapak, saya bersyukur sudah memutuskan datang kesini, toh memang sudah tidak akan bisa diubah kan nilai saya itu?”

“Iya, tidak bisa diubah, maafkan saya ya? Jadi kamu sudah selesai sampai disini?”

“Iya bapak, terima kasih juga sudah menerima saya pagi ini”

“Semeseter depan ada mata kuliah saya, Ikhtiologi.  Kamu mau ya ambil mata kuliah itu? Kalau kamu tertarik untuk mendalami suatu bidang di Biologi ini, apa akan selesai hanya karena suatu predikat nilai yang kamu dapatkan, Nak? Apa akan cukup dengan gelar berderet-deret dinamamu? Apa dengan begitu kamu mendapatkan kepuasan batin? Nak Basir jangan jadi orang yang begitu ya? Tulus lah dengan ilmu kamu, jangan mengharapkan balasan dari manusia, cukuplah Allah SWT yang akan membalas amalmu didunia ini”

“Kalau kamu sudah punya niatan menekuni bidang ini, berjuanglah nak.  Perbanyak belajar, karena dunia melaju begitu cepat di sekelilingmu.  Jangan jadi picik, berpikiranlah terbuka.  Terima masukan dari orang-orang, walau dia lebih muda dari kamu.  Penuhi jiwa mu dengan keikhlasan belajar, Insya Allah akan kamu dapatkan dunia di tangan mu, dan akhirat sebagai masa depan mu”.

Aku lihat matanya saat bicara.  Itu adalah mata yang tidak berbohong.  Itu bukan mata menipu atau memikat orang untuk mengendalikannya.  Itu adalah mata petuah-petuah kuno yang sudah mulai dilupakan orang.  Petuah-petuah yang sudah mulai dianggap usang, karena orang sedang memburu materi duniawi yang begitu susah dikejar.  Itu adalah mata pengajar, pendidik generasi bangsa ini.  Itu adalah mata yang setiap malam membaca buku, membaca berbagai macam perkembangan dunia, karena ingin dipagi hari nya berbagi dengan generasi muda.

Itu adalah mata seorang ayah, mata orang yang memberi naungan, memberi perlindungan di kala rawan, memberi cerah di saat-saat gelap. Itu adalah mata seorang cendekia, penerang gelap dunia dengan terang pikirannya.  Penulis sejarah-sejarah memesona dengan tinta emas dilembaran-lembaran perkamen. Itu adalah mata sahabat-sahabat setiap orang. Sahabat yang mengingatkan kita saat akan terjerembab.  Sahabat yang mendukung kita disaat susah.  Membagi waktunya di kantin, atau menemani kita nonton bola.  Itu adalah mata lelah orang tua, orang tua yang mengorbankan waktunya untuk anak-anaknya yang nakal, yang susah diatur, bahkan untuk membaca buku dan mengerjakan PR.

Itu adalah mata bapak dosen ku, Sunarya Wargasasmita.

… … … …

Lamunanku berhenti saat mobil melewati undakan di depan pintu gerbang masjid.  Aku titikkan air mata, beruntung sekali aku masih sempat diajar orang baik ini.  Menyesal tak ku ikuti sarannya ambil mata kuliahnya, karena aku takut nilai ku jelek lagi.  Terpikir bagaimana kami mencari pengganti orang-orang tulus seperti ini? Siapa yang akan menggantikan pribadi luhur seperti ini?

Bapak dosen ku, terima kasih.  Terima kasih sudah meluangkan tahun-tahun terakhirmu mengajar kami.  Terima kasih sudah mau menerima kami diruang-ruang kelas mu.  Ruang yang terkadang harus membuat mu berpeluh keringat menaiki tangga, atau kedinginan karena kami, orang muda lebih suka pendinginnya diturunkan suhunya, sedangkan kau, menahan diri untuk tidak protes, karena kami anak-anak mu.

Bapak dosen ku, kalau nanti waktunya datang, kalau aku punya kesempatan, aku akan kembali lagi ke almamatermu ini, ke almamaterku juga, untuk mengajar, apa yang kau ajarkan kepadamu dulu.  Ketulusan mu dalam mengajar lah, yang mengilhami ku bagaimana mengajar nanti.  Tidak perlu gelar berderet-deret dinamaku, begitu katamu kepada ku, hanya ketulusan dan harapan akan balasan dari-Nya.

Bapak dosen ku… dari rumah mu, jasadmu kuangkat dikeranda pagi ini.  Aku ikut mengantar jasadmu sampai kau di solati di masjid oleh begitu banyak orang.  Banyak anak-anak didikmu juga datang, mereka mungkin bersedih, Pak… tapi lihat, mereka berbahagia, berbangga, pernah diajarkan oleh engkau, bapak dosen ku.  Semoga peluh keringat ku pagi ini dan doa ku saat ku solat jenazah tadi, mampu menjadi bakti terakhir ku sebagai anak mu, Bapak dosen ku, Sunarya Wargasasmita, satu orang baik di dunia.

Semoga Allah SWT menempatkan engkau di sisi-Nya yang paling baik, karena kau begitu baik di dunia ini… Amin…

………………………………………………………………………………………………………

Allah berfirman” Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya.  Mereka memperoleh surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya selama-lamanya.  Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.  Itulah kemenangan yang agung.” (terjemahan dari, surat Al-Maa’idah: 119)

<Photo 1>

7 thoughts on “Tentang Bapak Dosenku, (Alm) Sunarya Wargasasmita”

  1. Tulisan ini cocok buat kalian yang sering memandang sebelah mata seorang dosen.

    Hey, mahasiswa! Sudah merasa cukupkah usahamu dalam menuntut ilmu?
    *otokritik*

    makasi, bro. Ini mengingatkan gue pada dosen2 yang berdedikasi dan disiplin dalam mengajar.

    Reply
  2. kawan ku, terima kasih sudah membaca tulisan saya, semoga tulisan ini juga bermanfaat buat kita semua. amin. terima kasih buat tim anakui.com juga, ga nyangka di post begini
    T T terharu…
    inget pak Narya akhir-akhir ini jadinya…

    Reply
  3. oiya. mau tanya dong..
    Cara pasang foto kita (kaya si Wendy) itu gimana ya?
    terus kalo di tulisan yang udah di post kita pengen masukin gambar gimana? daritadi sayacari-cari ga bisa..
    terima kasih jawabannya kawan… =)

    Reply

Leave a Comment