Menulis dengan deadline itu ternyata bukan keahlian saya, jadilah artikel bulan ini ditunda-tunda padahal mulainya udah dari minggu lalu. Baru ada satu kalimat dan kemudian entah kenapa saya kesulitan menemukan alasan untuk menulis lagi. Padahal, menulis adalah salah satu hobi saya.
Biasanya saya menulis di blog, dan kesempatan untuk menulis disini adalah sesuatu yang berharga buat saya. Saya mulai bertanya sama diri saya sendiri—kenapa motivasi untuk menulisnya turun? Apa saya lagi sibuk dengan urusan akademis dan hal lain, atau sebenarnya saya memang punya masalah kah dengan komitmen?
YOTers, pernah nggak ikut sesuatu—baik itu kuliah, organisasi, kepanitiaan atau kelompok tari— yang pada awalnya diikuti dengan semangat lalu di tengah-tengah kegiatan mendadak malas, semangatnya turun atau menjalaninya dengan tidak maksimal? Saya rasa semua orang pernah merasakan itu. Jangankan kegiatan-kegiatan itu, dalam menjalani hubungan sama orang lain, sebut saja pacaran, juga pasti pernah ngalamin naik turunnya, ya nggak? Hehe.
Setelah belajar sedikit banyak tentang manusia di Fakultas Psikologi, dan mengalami beberapa saat seperti itu—saya berakhir pada kesimpulan bahwa ketidakkonsistenan motivasi itu manusiawi, tapi tidak konsisten dalam usaha itu pilihan.
Motivasi itu bisa dibilang sesuatu yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku seseorang. Setiap orang punya motivasi yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan yang berbeda pula, ada yang internal—munculnya dari dalam diri dan biasanya penuh determinasi dan ada juga motivasi yang eksternal—timbulnya dari luar.
Sederhananya, kalau kita punya motivasi internal, pasti akan lebih konsisten dibandingkan teman-teman yang motivasinya dari luar—entah disuruh orang tua, takut dimarahin atau mungkin kalau pacaran, ya biar nggak kesepian aja.
Pertanyaannya, gimana kalau udah punya motivasi internal tapi tetap turun ditengah-tengah? Seperti yang tadi saya sebut diatas, ketidakkonsistenan pada motivasi itu manusiawi, tapi tidak konsisten dalam usaha itu pilihan. Percayalah kalau yang kamu rasakan manusiawi, bisa dirasakan semua orang dan bukan murni kesalahan kamu. Setiap orang punya batas kemampuan baik fisik ataupun mental, jadi please don’t be too hard on yourself.
Ketika kepala rasanya mau pecah, pikiran bercabang-cabang, badan rasanya harus diistirahatkan, maka lakukan! Kadang-kadang penting untuk memaafkan diri kamu kalau ternyata kamu nggak sekuat yang kamu kira. Coba deh, berhenti untuk kasih syarat terlalu banyak sama diri kamu—bersyukur sama apa yang telah dicapai sampai sekarang boleh banget lho :–)
Yang paling penting adalah setelah melakukan ‘self care’ itu, jangan berhenti berusaha untuk keep up dengan apa yang sedang kamu ikuti. Kamu akan selalu punya pilihan untuk tetap menjalaninya atau tidak, tapi kalau mau sukses—tau kan kalau harus mampu untuk stick dengan komitmen?
Yang bisa saya bagi di artikel ini adalah konsep yang saya temukan di buku Notes from Qatarnya Muhammad Assad, Persisten. Ketekunan. Orang yang tekun aja belum tentu berhasil, gimana yang tidak? Ya nggak?
Kemarin saya baru aja selesai bertugas di suatu kepanitiaan di kampus, yang buat saya perjalanan sampai ke hari H-nya itu jauh dari kata lancar. Saya harus dihadapkan dengan berbagai orang yang ritme kerjanya beda, meluangkan waktu lebih dari yang saya pernah rencanakan, mendapat tanggung jawab (baca: pekerjaan) lebih dari yang saya setujui di awal, dan banyak hal lain yang bisa disebut hambatan. Saya juga sempat merasa demotivasi, nggak semangat dan ingin berhenti.
Then again, saya sadar kalau saya berhenti, saya kehilangan proses belajar yang luar biasa. Saya kehilangan momen-momen bahagia seperti melihat dua puluh staf di divisi saya bekerja dengan baik sampai akhir, melihat target-target yang tercapai, atau sekedar melihat acaranya sukses di akhir. Saya juga akan kehilangan kesempatan untuk kenal orang-orang hebat yang ngasih banyak value, dan mau share banyak ide pikiran dan berakhir dengan sebuah keluarga baru yang punya cerita keberhasilan yang akan bikin semuanya merasa bangga.
Pada akhirnya saya sekali lagi belajar, kalau saya mau belajar persisten sama pilihan yang saya udah buat—apapun kesulitannya, pada akhirnya saya juga yang akan ngerasain manfaatnya. Suka tidak suka, saya udah jadi Clarissa Rizky yang berbeda dari yang delapan bulan lalu—sebelum semua kerja kerasnya dimulai.
Keep remind yourself, that a river cuts through rock, not because of its power, but because of its persistence.” – Jim Watkins
Sincerely yours,
Clarissa Rizky