Transisi Bentuk Universitas Indonesia

Saat ini, Universitas Indonesia berada dalam masa transisi. Masa transisi ini adalah masa dimana Universitas Indonesia mencari bentuk hukum yang sesuai. Dalam melihat transisi bentuk Universitas Indonesia, ada 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu : peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melandasi bentuk Universitas Indonesia serta implikasi hukum dari peraturan perundang-undangan tersebut.

I.    Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku dan Melandasi Bentuk Universitas Indonesia

Setelah Mahkamah Konstitusi mencabut keberlakuan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan diubah menjadi PP No. 66 Tahun 2010. Hal ini menyebabkan dasar hukum mengenai bentuk Universitas Indonesia mengacu pada PP No. 66 Tahun 2010 berdasarkan asas lex posteriori derogat legi apriori. Asas ini menyatakan bahwa hukum yang lebih baru menggantikan hukum yang lama sehingga tepat untuk melihat bentuk Universitas Indonesia berdasarkan PP No. 66 Tahun 2010.

Melihat PP Nomor 66 Tahun 2010, bentuk dari Universitas Indonesia adalah perguruan tinggi yang diselenggarakaan oleh pemerintah atau yang dikenal sebagai PTP. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 220A ayat (4) PP Nomor 66 Tahun 2010. Pasal 220A ayat (2) menyatakan bahwa Universitas Indonesia harus menyesuaikan pengelolaan universitas menjadi PTP paling lama 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi sejak PP No. 66 Tahun 2010 diberlakukan. Dengan bentuk ini, UI kembali kepada masa sebelum berlakunya PP Nomor 152 Tahun 2000 yang menjadikan UI sebagai BHMN. Dari sini, telihat bahwa seolah-seolah PP Nomor 152 Tahun 2000 tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum bagi UI dalam melakukan kegiatannya. Dan juga seolah-olah terlihat bahwa Putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 yang mencabut keberlakuan UU BHP juga mencabut keberlakuan PP Nomor 152 Tahun 2000 yang merupakan titik tolak dari perjalanan ke arah BHP. Namun, kita harus jeli dalam melihat pasal, Jelas dalam Pasal 220H huruf a disebutkan bahwa PP Nomor 152 Tahun 2000 masih tetap berlaku sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak bertentangan dengan PP Nomor 66 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan setelah masa transisi 3 tahun sejak berlakunya PP Nomor 66 Tahun 2010. Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa PP Nomor 152 Tahun 2000 tidak dicabut keberlakuannya dan masih tetap dapat dijadikan dasar hukum sepanjang tidak bertentangan dengan PP Nomor 66 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan setelahnya.

  1. II.    Implikasi hukum

Pada masa transisi, tata kelola BHMN tetap berlaku sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan sesudah masa transisi. Masa transisi tidak dimaksudkan untuk tidak melaksanakan atau menunda pelaksanaan PP No. 66 Tahun 2010, tetapi untuk mempersiapkan pelaksanaan PP No. 66 Tahun 2010. Masa transisi harus diisi dengan perencanaan dan penyesuaian tata kelola menuju PTP.

Untuk melihat implikasi hukum dari bentuk Universitas Indonesia sebagai BHMN atau sebagai PTP, kita harus membandingkannya.

a)      Universitas Indonesia sebagai BHMN

Dalam bentuk Universitas Indonesia sebagai BHMN, Universitas Indonesia adalah badan hukum privat yang tunduk pada ketentuan-ketentuan privat sesuai dengan bagian konsiderans PP No. 152 tahun 2000. Kemudian, salah satu dasar hukum mengingat PP No. 152 Tahun 2000 adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang jelas menunjukkan bahwa Universitas Indonesia tunduk pada ketentuan perdata dan bahwa pendidikan masuk ke dalam ranah perdata. Hal ini bertentangan dengan konsep bahwa pendidikan adalah ranah publik dan merupakan public goods yang disediakan oleh negara dan seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan konsep perdata ini, jelas bahwa pendidikan dapat dikomersialisasikan yang jelas bertentangan dengan Pasal 58J ayat 1 huruf c yang melarang pengelolaan satuan pendidikan secara komersial.

b)      Universitas Indonesia sebagai PTP

Dengan bentuk Universitas Indonesia sebagai PTP, secara implisit Universitas Indonesia sebagai badan hukum privat dikembalikan menjadi badan hukum publik. Mengacu kepada Pasal 49 ayat (1) PP No. 66 Tahun 2010, satuan pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Berdasarkan alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan ini dapat terwujud bila bentuk satuan pendidikan tinggi adalah PTP karena pendidikan menjadi public goods. Dengan bentuk PTP, pengelolaan satuan pendidikan didasarkan pada prinsip: nirlaba, akuntabilitas, penjaminan mutu, transparansi, akses berkeadilan.

 

Pasal 58D ayat (1) PP No. 66 Tahun 2010 mengatur organ-organ yang ada di dalam satuan pendidikan tinggi yaitu minimal terdiri dari Rektor (menjalankan fungsi pengelolaan satuan pendidikan tinggi); Senat Universitas (fungsi pertimbangan dan pengawasan akademik); Satuan Pengawasan (fungsi pengawasan bidang non-akademik) ;dan Dewan Pertimbangan fungsi pertimbangan non-akademik dan fungsi lain yang ditentukan statuta pendidikan tinggi masing-masing. Penjelasan Pasal 58D ayat (1) huruf d menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “dewan pertimbangan” antara lain Majelis Wali Amanat atau Dewan Penyantun atau organ sejenis lainnya yang fungsinya ditentukan dalam statuta satuan pendidikan masing-masing. Jadi, tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa jika Universitas Indonesia kembali menjadi PTP, maka MWA akan hilang.

Menilik masalah kedudukan MWA yang dipertanyakan saat ini, kita dapat melihat dari beberapa legal opinion yang ada. Dari legal opinion dapat dilihat adalah apakah PP Nomor 66 Tahun 2010 meniadakan MWA atau tidak. Pihak Rektor melalui legal opinion yang dibuat oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H., menyatakan bahwa MWA tidak lagi mempunyai dasar hukum untuk melakukan perbuatan hukum baru kecuali hanya sebagai penyelenggara sampai batas akhir masa tugasnya. Beliau menambahkan bahwa peran MWA digantikan oleh Dewan Pertimbangan dan SU berdasarkan Pasal 58F ayat (1) PP Nomor 66 Tahun 2010. Bila dilihat dengan seksama, PP Nomor 66 Tahun 2010 tidak meniadakan MWA karena dalam pengaturan Pasal 58D ayat (1) dinyatakan bahwa satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan pemerintah harus memiliki sedikitnya 4 organ yang salah satunya adalah Dewan Pertimbangan pada butir d dari pasal ini. Dalam penjelasan Pasal 58D huruf d dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Dewan Pertimbangan ntara lain Majelis Wali Amanat atau Dewan Penyantun atau organ sejenis lainnya yang fungsinya ditentukan dalam Statuta satuan pendidikan masing-masing. Dari penjelasan ini jelas bahwa MWA adalah salah satu bentuk dari Dewan Pertimbangan dan oleh karena itu lah MWA tetap ada dalam pengaturan ini dan harus tetap ada ke depannya. MWA menjadi salah satu organ yang harus ada dalam satuan pendidikan tinggi sebagaimana pengaturan dalam PP Nomor 66 Tahun 2010. Namun, harus diingat bahwa keberadaan MWA harus diatur dalam Statuta UI. Melihat masa tugas MWA yang akan habis, Seharusnya Statuta UI segera dibuat dan disahkan oleh Menteri Pendidikan Nasional agar tidak terjadi kekosongan hukum yang mengatur keberadaan MWA di UI.

Satu hal yang patut dipertanyakan dari pengaturan PP Nomor 66 Tahun 2010 adalah bentuk UI yang menjadi PTN tetapi tetap memiliki MWA. Hal ini dikarenakan, latar belakang dari terbentuknya MWA adalah karena UI menjadi BHMN melalui PP Nomor 152 Tahun 2000. Dengan bentuk BHMN, UI menjadi badan hukum dan bukan lagi menjadi bagain integral dari pemerintah. Hal ini mengakibatkan pemerintah tidak bisa lagi melakukan pengawasan dari atasan kepada bawahan seperti zaman PTN. Untuk menggantikan pengawasan non-akademik pemerintah kepada UI, dibentuklah MWA. MWA yang terdiri dari unsur Menteri, SAU, masyarakat, karyawan, mahasiswa dan Rektor menjadi bentuk pengawasan dengan kedudukan setara berupa sistem checks and balances kepada pimpinan UI yaitu Rektor. Hal yang janggal adalah Rektor sebagai orang yang diawasi oleh MWA justru menjadi salah satu unsur dari 21 orang dalam MWA. Hal ini menjadikan pengawasan non-akademik MWA kepada Rektor dipertanyakan keefektifannya. Namun, pertanyaan ini tidak lantas menyimpulkan bahwa pengawasan dari pemerintah yaitu Mendiknas kepada Rektor berjalan efektif. Di sini, kita harus melihat perlunya pengawasan yang efektif kepada pengelola penyelenggaran pendidikan tinggi yaitu Rektor berupa pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal diperlukan untuk mengontrol dari dalam sedangkan pengawasan eksternl diperlukan untuk mewujudkan sistem checks and balances dan meminimalisasi solidarity corps yang mungkin terjadi karena pengawasan internal.

 

Rekomendasi

Pasal 58D ayat (3) PP No. 66 Tahun 2010, ketentuan mengenai jumlah dan jenis organ selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 58D ayat (1) diatur dalam statuta satuan pendidikan tinggi masing-masing. Oleh karena itu, harus cepat terbentuk statuta yang membentuk lembaga dan tata kelola Universitas Indonesia secara demokratis , partisipatif, dan transparan. Kembali ke bentuk BHMN adalah bentuk penyelesaian elitis, yang tidak menyelesaikan masalah dan tidak konsisten dengan tuntutan agar Universitas Indonesia menjadi bersih. Hal ini dikarenakan tuntutan kembali ke BHMN adalah bentuk penggunaan dalih demokratisasi Universitas Indonesia sebagai alat untuk tetap memberlakukan privatisasi dan komersialisasi Universitas Indonesia. Kemudian, jika Universitas Indonesia mampu membentuk PTP tetapi dengan struktur yang demokratis dan partisipatif, maka sekali lagi Universitas Indonesia akan menjadi contoh bagi universitas lain tentang bagaimana menjalankan universitas secara demokratis.

 

Liza Farihah

Staff Divisi Kajian Kebijakan Publik BK MWA UI UM 2011

1 thought on “Transisi Bentuk Universitas Indonesia”

Leave a Comment