UI Depok : Setelah 22 Tahun Diresmikan

UI Depok diresmikan pada tanggal 5 September 1987 oleh Presiden RI kedua, HM. Soeharto.

http://joehahnjohan.multiply.com/video/item/4/Peresmian_Kampus_UI_Depok_5_September_1987

Tentu saja banyak terjadi perubahan.

http://joehahnjohan.multiply.com/video/item/2/Tur_Kampus_UI_1987_setelah_peresmian5_September_1987

Ini salah satu cerita perubahan dari saya yang kebetulan tinggal dekat di UI:

Segerombolan anak kecil dekil dengan telitinya memandang setiap biji karet yang baru saja mereka temukan. Biji karet yang mereka anggap bagus dimasukkan ke dalam botol yang mereka temukan di sekitar hutan kampus. Mereka mencari biji karet unggul untuk diadu. Hasrat ultima mereka adalah berhasil menghancurkan sebanyak-banyaknya biji karet lawan mereka yang juga merupakan teman bermain mereka sendiri. Untuk memuaskan hasrat ultima itu mereka harus mencari biji karet di kampus UI, kampus yang berada tidak jauh disekitar rumah mereka.

Pemandangan seperti diatas jamak dilihat di awal 2000-an. Saya yang ketika itu beranjak remaja, duduk di kelas satu SMP, sering menemukan pemandangan seperti itu. Saya pun ketika masih SD juga melakukan ritual apa yang anak-anak itu lakukan. Mencari biji karet di hutan kampus yang asri kemudian mengadunya. Wilayah pencarian biji karet unggul itu adalah di sekitar jalan tembus antara Fakultas ISIP dan stasiun UI dan di hutan dekat menara air. Anak-anak yang melakukan pencarian adalah anak-anak kampung di Kukusan, Beji, Cipedak, dan Srengseng Sawah (kampung saya).

Selain untuk mencari biji karet di kampus yang ketika itu masih rindang dan asri itu, anak-anak juga datang untuk bermain bus kampus. Anak-anak itu berputar-putar dengan bus kampus. Kadang mereka harus main petak umpet dengan sopir bus yang sering sewot jika anak-anak kampung itu naik bus. Mungkin sopir bus beralasan bahwa di bus tersebut ada tulisan “Bus ini khusus untuk warga UI”, sebuah tulisan yang sekarang mungkin tak pernah diketahui generasi baru UI. Tapi, anak-anak itu cuek bebek, toh bus itu gratis ini, dan mungkin juga dibiayai dari hasil keringat orangtua mereka.

Jika bulan puasa tiba, anak-anak itu biasa bermain petasan di dalam kampus. Dulu adalah masa ketika anak sekolah libur sebulan penuh saat bulan ramadan. Masa-masa itu Presidennya adalah Gusdur. Diam-diam Gusdur itu sangat dicintai anak-anak, termasuk saya, karena dialah presiden pertama yang meliburkan sekolahan saat bulan ramadan. Kesempatan libur itu dimanfaatkan sepuas-puasnya untuk perang petasan di kampus. Setelah salat subuh di musola, sebelum imam memberi ceramah tambahan, anak-anak sudah berangkat menuju kampus dengan membawa amunisi berupa jangwe, cuplik, teko, dan korek.

Sampai di kampus hari masih pagi buta. Udara dingin lumayan menusuk. Mungkin karena saat itu parkiran dan gedung-gedung belum dibangun sebanyak sekarang. Pembangunan ini tampaknya mengurangi hawa sejuk dan asri UI karena mengorbankan pohon-pohon besar dan tua. Bagi mereka yang tak pernah merasakan masa kecil di UI tentu tak mungkin dapat merasakan perbedaan ekstrem ini. Di tengah hawa dingin, anak-anak sudah siap dengan petasannya, terutama jangwe, di tangan. Mereka menunggu kubu lawan yang siap diajak bermain.

Sebenarnya tidak hanya anak-anak yang berperang petasan, tetapi juga remaja dan pemuda pengangguran sekitar kampung. Mereka berbaur menjadi satu dalam legiun petasan. Perang petasan berlangsung sekitar dua jam, dari jam lima sampai jam tujuh pagi. Perang berlangsung di area sekitar hutan wales barat UI, area hutan di sepanjang Teknik sampai asrama. Sebuah area yang jika hari biasa di masa itu maupun kini jarang dilalui orang. Sebuah area merah bagi para pejalan kaki di waktu malam dana area hijau bagi para pemabuk asmara.

Kampus UI sendiri ketika itu masih memiliki banyak jalan tikus sehingga cepat dicapai oleh mereka yang berasal dari Srengseng Sawah. Bagi anak-anak dari kampung itu, jalan tercepat adalah melalui Jalan Kesatuan. Jika berjalan kaki, mereka memerlukan waktu sekitar setengah jam. Sementara jika naik sepeda, waktunya sekitar 15 menit. Setelah melalui jalan itu, pintu kecil segera menyambut. Sebuah rumah yang merupakan satu-satunya rumah yang berada di areal kampus merupakan transit anak-anak. Rumah itu juga merupakan rumah kawan SD dan SMP saya. Rumah itu kini tak lagi ada, pun begitu dengan pohon-pohon rindang yang mengelilinginya.

Dulu, di depan jalan kampus rumah itu, digelar pasar kaget murah meriah setiap hari Minggu. Barang-barang murah yang kebanyakan imitasi dijual di sana. Jajanan dan makanan pasar juga ada. Orang-orang yang pergi ke kampus UI untuk berolahraga atau sekadar berekreasi sering mampir di pasar kaget itu. Pasar kaget itu membentang sepanjang turunan FT sampai menjelang tanjakan menuju asrama. Saya sendiri biasa mampir di pasar itu setelah berolahraga dan berjalan-jalan di UI pada hari Minggu. Kini pasar kaget itu sudah tidak ada lagi. Tempatnya dipindah. Sebabnya, ada tabung balon gas yang meledak. Pihak kampus pun ketakutan sehingga melarang pasar kaget ada di dalam kampus.

Ketertiban dan kenyamanan kampus juga yang menjadi alasan bagi pihak kampus untuk memindahkan pasar. Takut kampusnya kotor katanya. Padahal, tanpa atau dengan adanya pasar itu, kampus sudah kotor. Danau penuh dengan sampah, hutan menjadi tempat sampah, tong sampah kurang, kesadaran kebersihan juga tidak ada. Alasan itu juga yang dipakai untuk menutup pintu-pintuk kecil di sekitar UI di masa kini. Beberapa pedagang (yang juga tetangga saya) terkena imbasnya. Saya pernah membawa masalah ini kepada kaum intelektual kampus (saya berterima kasih kepada Saudara Edwin yang mau melanjutkan aspirasi mereka).

UI kini telah berubah. Saya yang cuma warga sekitar kampus dan bodoh hanya mampu melihat perubahan itu secara fisik. Busnya sudah AC, stadionnya sudah dipagar, jalannya sudah terang, gedungnya sudah banyak, mahasiswanya lebih banyak, mobilnya apalagi. Namun, saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Mungkin juga berubah. Mungkin kurikulumnya, mungkin sikap mahasiswanya, rektoratnya, idealisme mereka, dan sebagainya. Saya hanya warga sekitar kampus yang mengharapkan anak-anak muda (mumpung katanya sekarang lagi ada mahasiswa baru) yang belajar di sana peka terhadap lingkungan sekitar kampus secara khusus dan Indonesia secara makro. Tidak menjaga jarak dengan warga dan tidak angkuh hanya karena sudah mengenakan jaket almamater dengan menjadi robot-robot apatis.

Lebih-lebih lagi ketika sudah mendapat gelar dengan membohongi rakyat awam, kooperasi dengan penguasa dan pemerintah, yang ujung-ujungnya melupakan rakyat. Harapan saya adalah harapan para tukang ojek, pedagang, anak-anak loper koran (bukan pencari biji karet), dan pemancing di sekitar UI yang sedari kecil sampai dewasa menyaksikan UI berubah dan hanya mengenal UI dari luar karena kami warga sekitar UI, bukan warga UI.

9 thoughts on “UI Depok : Setelah 22 Tahun Diresmikan”

  1. Mmh.. Trnyata bgtu.. Trnyata bnyak perubahan yg trjadi di ui.. Trnyata dulu kmpus ui itu rindang.. Tp smg sj perubahan yg tjd mmbwa dampak positif bagi ui dan lngkungan sktarnya..

    Reply
  2. dulu gw SDnya di Srengseng Sawah 04 pagi, jd sering ke hutan UI bwt latihan pramuka dan olahraga.. bahkan ujian atletik pun di stadion UI..

    kalo minggu, ama temen gw kita berpetualang naik sepeda keliling UI.. gw msh inget banget jalan antara FT dgn bunderan psiko tuh kesannya bener2 misterius, krn lapangan futsal dan parkir FISIP waktu itu ga ada..

    ga nyangka jg akhirnya gw masuk UI tahun 2005.. tahun terakhir UI masih asri.. gw msh inget gimana lapangan parkir depan MUI itu dulunya lapangan rumput plus pohon2 rindang.. yg sekarang jd perpus tadinya kebun dan hutan jati muda, lahan rata di samping jalan tembus balairung-rektorat itu tadinya bukit kecil berpohon, jg jalan dua arah di menara air yg tadinya potongan hutan jg..

    setuju klo UI sekarang lebih panas, krn gw jg tahu dulu ademnya kaya apa..

    Reply
  3. huhu….jadi inget dulu setiap hari minggu makan2 di pasar kaget depan FT, stadion…main bulu tangkis sekeluarga, mainsepeda rame2…..UI beberapa tahun lalu memang lebih seger udaranya dari pada sekarang….

    Reply
  4. yg paling gw inget nyari biji karet di hutan ahahhaa gw mah dulu gak tau itu mipa itu ft itu rektorat yang jelas klo hutannya gelap pasti biji karetnya banyak,,, setelah diinget2 lagi klo dah dpt byk gw maen di dkt tangga rektorat situh yang ada tiang bendera, nyarinya di sekitar bengkel bikun mipa wahahahhaaa

    trus bunga2 di rotunda gw isep2in, manis2 kata tmen gw ada madu nya (pdhl lg bulan puasa loh.. jam 5 jalan naek kreta ke UI dr lenteng agung wahahhahha)

    Reply
  5. ada dua hal yang perlu gw komentarin,

    pertama penulis menyinggung bahwa penutupan pintu tikus erat kaitannya dengan masalah kebersihan kampus, dulu waktu gw masih angkatan pertama, kebijakan penutupan pintu2 itu lebih karena faktor keamanan dan pengawasan, karena peningkatan tindakan kriminal yang ada di kampus UI, mungkin generasi baru tidak mengenal “safety walk” atau pembunuhan mahasiswa FASILKOM …oknum kriminal(gw yakin bukan warga sekitar UI) disinyalir masuk lewat jalan tikus itu….

    trus argumen penulis yang menyatakan bahwa, walaupun pintu di UI di tutup toh UI masih kotor, selama pengamatan gw, kontribusi sampah yang tidak teratur (maksudnya ga di masukin tong sampah) di lakukan oleh orang luar UI (bukan hanya warga sekitar UI saja), oknum mahasiswa juga ada, gw akui itu…

    gw kira jangan selalu menyalahkan pihak kampus terhadap penutupan pintu kecil itu…

    untuk perubahan

    BUANYAK BANGET!!, mulai dari bus ampe macem2 dech…

    mahasiswa tahun ke 4++ (lagi berusaha menyusun skripsi)

    Reply
  6. benerrr bgdd

    dulu, jaman smp saki selalu ke pasar kaget buat jalan-jalan sekalian olahraga,,

    iya, dulu juga saki suka ngumpulin biji karet ma temen2, maen petasan bareng2,, pokoknya dulu ui sangat merakyat banget lah,,

    jadi, ga cuma mahasiswa ui aja yang merasakan panorama dan kerindangan di ui, tetapi, warga sekitar juga.

    iya, kalo diinget lagi, lapangan parkir depan mui itu dulunya jadi tempat favorit qu ma tmen2 lowh *curcol ;D*

    tapi, emang saki akuin skrg2 ini, ui jadi panas

    Reply
  7. Haa… Ha…
    JAdi Inget, Gua besar di Lenteng Agung Pinggir

    Jadi Inget,masa sd dulu bantuin temen gua Bambang. nyari Biji Karet, buat di jualin dengan cara cabutan di depan sd tetangga… Mayan untungnya..

    Jalan Fisip stsiun tuh paling banyak biji karretnya,sama menara aer ampe rektorat..
    Alat nyarinya, batang kayu buat ngodek-ngodek tumpukan daun yang menutup biji karet yang mungkin sudah seminggu jatuh dan lampu senter di pake kalo jam 5 an masi gelap… tapi jarang kepake..

    Haaa, adek sepupu gua dulu juga bisa jalan di dpan tulisan Universitas Indonesia… katanya anak kecil bisar bisa cepet jalan harus jalan di rumput yang berembun dan UI pada saat itu harapan warga depok, srengseng, lenteng bahkan hingga ps. Minggu untuk membawa anaknya (balita untuk jalan diatas embuan atau di jemur di matahari )

    gua jadi inget dulu banyak Ibu-ibu bawa anak-anaknya ke UI, pernah gua liat seorang Ibu pada masa itu. ngusap rambut anaknya dan bilang kalo udah gede masuk kampus ini yah (“kampus paling hebat di Indonesia”selorohnya…gila mantab banget rasanya)

    Pasar kaget UI dulu dahsyat !!!, UI bener-bener kampus rakyat… :
    1. Pacaran Gratis
    2. Wisata Gratis
    3. jualan gratis
    4. maen gratis (bola, petasan,badminton,sepeda)
    5. Olahraga gratis
    6. Latihan motor dan mobil gratis
    7. jemur bayi gratis, jalan di embun gratis
    8.mancing gratis.
    9. ngabuburit gratis (tajil gratis di MUI)
    10. Godain cewek gratis (buat para warga yang naek kereta ) godain para mahasiswi UI yang dulu banyak naek kereta.

    sekarang
    1. akses banyak di tutup
    2. wc hari minggu di matiin, (jadinya warga yang joging dan mau pup di UI pasti kebingungan) dulu mah wc hari minggu aernya belimpah, sekarng UI pelit….
    3.warga disekitar UI udah banyak ilang rasa ama UI

    dulu UI pindah tahun 80 an akhir…Asrama belum ada, jadi banyak rumah petak tumbuh (RPT)…
    Mahasiswa UI ngkosnya disana dan itu dikelola warga sekitar beji depok…menyebabkan mahasiswa lebih menyatu.

    Dulu… Mahasiswa UI, banyak yang membantu warga.. bahkan hingga ikut karang taruna…
    Dulu di Kukusan Kelurahan ada paguyuban pemuda dan mahasiswa UI kukusan (sumber, warga kukusan kelurahan)

    sekarang.
    mahasiswa Ui tinggal di koskosan bagus yang warnanya ngejreng dan temboknya tinggi… ama warga pun mungkin tidak dikenal siapa penghuni kosan tersebut…boro2 ikut karang Taruna….

    masih ada kesempatan buat kita Mahasiwa UI kembali ke paradigma yang lebih baik.

    Reply
  8. Wah..seru juga ya UI tempo doeloe..!
    Sebagai anak Bekasi, kayaknya antara Bekasi dan Depok masih punya kesamaan dalam beberapa hal..
    Yang terakhir sih, sama2 makin tambah panas..!

    Reply

Leave a Comment