UI Punya Delapan Guru Besar Baru, Siapa Aja Sih?

Anak UI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kembali berkontribusi dalam menghasilkan guru besar. Tak tanggung-tanggung, kali ini sebanyak delapan professor dari FK UI berhasil dikukuhkan dalam Sidang Terbuka Upacara Pengukuhan Guru Besar (GB).

BACA JUGA: Cetak MURI, FK UI Hasilkan Guru Besar Terbanyak dalam Satu Tahun

Acara yang dilaksanakan secara daring tersebut terbagi ke dalam dua sesi, yakni pada pukul 09.30-11.00 WIB dan pukul 14.30-15.00.  Dipimpin oleh Prof. Ari selaku Rektor UI, sesi pertama pagi langsung mengukuhkan empat professor, yakni Prof. Dr. dr. Zulkifli Amin, Sp.PD., KPMK dengan kepakaran bidang Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. Neng Tine Kartinah, M.Kes. dalam bidang ilmu Fisiologi Kedokteran, Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K) dalam bidang ilmu dan Prof. Dr. dr. Najib Advani, Sp.A(K), M.Med(Paed) dalam bidang ilmu Kesehatan Anak.

Sebagai guru besar tetap pertama dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Zulkifli Amin membacakan pidatonya yang berjudul “Perjalanan Pelayanan, Pendidikan dan Penelitian Respirologi dan Penyakit Kritis Ilmu Penyakit Dalam, Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Datang”. Nah, isi pidatonya membahas mengenai pelayanan penyakit paru di UI dalam tiga babak, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Sekedar info nah, ternyata pelayanan paru di UI udah dimulai sejak 1908, bahkan sebelum dibangunnya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)! Berawal dari STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia-Belanda), pada 1930 berganti nama menjadi Stichting Centrale Vereniging Voor Tuberculosebestrijding (SCVT) yang menjadi Sub-bagian Pulmonologi Penyakit Dalam. Berbagai upaya dilakukan guna meningkatkan kualitas pelayanan, seperti menambah unit rawat jalan, membangun ruang poli Pulmonologi, ruang perawatan penyakit intensif, serta kegiatan tahunan berupa seminar, edukasi, serta workshop. Nah, Anak UI, saat ini divisi Pulmonologi RSCM berganti nama menjadi Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis.

Selanjutnya, Prof. Neng Tine menyampaikan pidato berjudul “Optimalisasi Stimulasi Anak dalam Mendukung Pengembangan SDM untuk Indonesia Emas: Berbasis Kajian Neuroplastisitas”. Neng Tine yang berasal dari Bidang Ilmu Fisiologi Kedokteran merupakan guru besar kedua yang diangkat pada 2021 dan jadi guru besar ke 233 di UI lho! Katanya nih, saat ini Indonesia menghadapi fenomena “Bonus Demografi” yang menyebabkan usia produktif mendominasi peta demografi Indonesia. Kondisi ini menyebabkan pemerintah memprioritaskan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan jargon “Generasi Indonesia Emas”.

BACA JUGA: Ini Dosen-Dosen UI Yang Masuk 500 Peneliti Terbaik Nasional Versi SINTA

“Konsep e-parenting berbasis hasil riset yang spesifik menstimulasi plastisitas sinaps belum banyak dikembangkan di Indonesia, sehingga hal ini merupakan terobosan dalam mengawal target Indonesia emas di tahun 2045. Mari kita sama-sama bersinergi akademisi, pemerintah, industri, dan media dalam PentaHelix, agar model stimulasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan juga kemajuan bangsa.”

Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K)  memaparkan pidato berjudul “Optimalisasi 1000 hari pertama kehidupan: Nutrisi, Kasih sayang, Stimulasi, Imunisasi merupakan langkah awal mewujudkan generasi penerus yang unggul”. Masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK), yang dimulai saat pembuahan sampai usia dua tahun, merupakan periode emas yang sangat menentukan masa depan seorang anak dan sangat tergantung pada pengaruh yang didapatkan dari lingkungannya. Pada masa ini kebutuhan dasar anak terutama nutrisi, kasih sayang dan stimulasi perlu dipenuhi dan dilindungi dari penyakit infeksi dengan pemberian imunisasi.

Selanjutnya, Prof. Najib menyampaikan pidato berjudul “Penyakit Kawasaki dan Permasalahannya: Upaya Melindungi Jantung Generasi Penerus”. Penyakit Kawasaki (PK) ditemukan oleh Dr. Tomisaku Kawasaki di Jepang pada tahun 1967 dan saat ini sudah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan sudah ada 1 juta orang yang terkena PK di dunia, 300.000 diantaranya di Jepang. Jika tidak diobati, 15-25% akan menderita kelainan jantung berupa pelebaran atau aneurisme arteri koroner di jantung dengan segala konsekuensinya, seperti trombosis koroner, penyempitan koroner, dan infark miokardium yang sebagian dapat berakhir dengan kematian. Itu sebabnya, PK perlu mendapatkan perhatian dari semua dan diagnosis tidak boleh terlambat.

“Terapi PK menggunakan immunoglobulin yang sangat mahal, rata-rata mencapai puluhan juta rupiah sehingga kami meneliti pemberian separuh dosis dengan hasil yang relatif baik. Diperlukan pematauan jangka panjang dengan alat ekokardiografi pada kasus yang berat oleh dokter ahli jantung anak yang jumlahnya masih minim di negara kita,” ujar Prof. Najib.

BACA JUGA: Emang Seperti Apa Tipe-Tipe Mahasiswa Dari Kacamata Dosen?

Leave a Comment