Ada sedikit suasana berbeda di penghujung tahun 2010 ini. Jika tahun lalu, di sekitar kampus Universitas Indonesia (UI) banyak dipasang spanduk berisi keberhasilan UI menduduki peringkat 201 dunia versi Quacquarelli Symonds (QS) World University Rangking, tahun ini tidak ada spanduk berisi informasi mengenai peringkat UI di jajaran dunia. Apa sebabnya?
Ternyata, menurut survei QS, UI tahun ini hanya pantas mendapatkan peringkat 236 dunia dengan skor 42,90. Sebuah penurunan prestasi yang tentunya sangat disayangkan mengingat pihak rektorat sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga bahkan meningkatkan peringkat UI di level dunia.
Walaupun demikian, UI masih menjadi yang terbaik di Indonesia, menurut versi QS, sebab dua perguruan tinggi ternama lain di Indonesia yakni Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) hanya menempati posisi 321 dan 421 dunia.
Penurunan peringkat yang dialami oleh UI sangat ironis di tengah usaha pembangunan gedung perpustakaan baru super mewah beserta pembangunan gedung – gedung baru lainnya di UI yang sedang digalakkan. Sayangnya, pembangunan fisik bukan indikator penentu peringkat sebuah universitas di dunia.
Survei yang dilakukan oleh QS kepada 15.050 akademisi termasuk diantaranya 700 pimpinan universitas, memeringkatkan universitas di seluruh dunia berdasarkan seberapa banyak hasil riset terbaik di masing – masing bidang keilmuan dan wilayah kepakaran yang telah diaplikasikan dan dipublikasikan.
Pemeringkatan universitas kelas dunia ini juga didasarkan reputasi pegawai, kekuatan riset, pengajaran serta komitmen internasionalnya. UI mungkin unggul dalam komitmen internasionalnya dengan banyak melakukan kerjasama dengan universitas – universitas di luar negeri dan pembukaan kelas – kelas internasional baru. Namun, dapat dikatakan universitas ini masih sangat lemah dalam bidang riset dan kepakaran.
Data dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) pada tahun 2009 menunjukkan, proposal riset yang masuk ke DRPM hanya berjumlah 609 proposal. Jumlah yang sangat kecil untuk ukuran universitas sekelas UI yang berkeinginan menjadi world class university.
Sementara itu, publikasi jurnal internasional pun tergolong minim. Terbukti data yang didapatkan dari website resmi UI hanya memperlihatkan 10 jurnal yang masuk ke dalam kategori jurnal internasional pada periode 2005 – 2009. Padahal, kesempatan untuk melakukan penelitian bagi akademisi UI sangat luas, terbukti dari banyaknya kesempatan yang ditawarkan oleh DRPM dengan banyak variasi dan jenis, mulai dari hibah riset kompetensi, penelitian awal, riset peneliti muda, dan lain sebagainya.
Apa yang salah dengan riset di UI? Mengapa jumlah proposal riset yang masuk sangat sedikit? Seperti dikutip dari website resmi DRPM UI, kegiatan riset di lingkungan Universitas Indonesia dilakukan oleh tenaga akademik dan mahasiswa. Kegiatan riset yang dilakukan oleh tenaga akademik difasilitasi universitas melalui Riset Unggulan Universitas Indonesia (RUUI), S2/S3, dan multidisiplin yang dilaksanakan setiap tahun. Riset yang dilakukan oleh mahasiswa S1 sebagai salah satu kegiatan mahasiswa yang berkaitan dengan penalaran dikoordinasi oleh Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni (DIRMAWA) UI.
Riset S1 dan S2, Mengapa Dipisah?
Inilah yang menjadi sorotan penulis, ketika tidak adanya integrasi langsung semua riset yang ada di bawah universitas dalam satu direktorat. Terbukti dari dipisahnya koordinasi riset antara S1 dan S2 serta S3 dan tenaga akademik.
Selain itu, tenaga akademik, sebagai tenaga ahli dalam bidangnya, menjadi peneliti dalam berbagai riset yang diselenggarakan oleh lembaga di luar UI. Dalam hal ini, UI sebagai penyedia tenaga ahli yang andal. Adanya segregasi antara riset S1 dan mahasiswa serta tenaga akademik yang lebih senior menyiratkan bahwa UI belum mau mengakui riset – riset yang dilakukan mahasiswa S1 sebagai riset unggulannya.
Padahal, sebagai universitas kelas dunia yang harusnya menjadi excellence di segala bidang, potensi riset dari S1 sangat besar untuk dikembangkan. Mahasiswa – mahasiswa S1 yang melakukan riset apabila dibimbing dan dibina dengan serius dapat menjadi kekuatan utama UI untuk menghasilkan riset – riset terbaik dan berkualitas dunia.
Pihak rektorat UI nampaknya masih belum percaya bahwa mahasiswa S1 mampu menjadi salah satu faktor pendukung meningkatnya peringkat UI di level dunia. Riset S1 yang berada di bawah DIRMAWA disamakan dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa lain di UI yang sifatnya event maupun perlombaan yang sifatnya pertaruhan ide tanpa implementasi nyata.
Bukti lain dari lemahnya pembinaan riset S1 dibawah DIRMAWA tersebut adalah masih kurangnya pembinaan yang dilakukan UI untuk kegiatan – kegiatan perlombaan ilmiah di tingkat nasional seperti PIMNAS. UI yang menjadi penggagas PIMNAS, malah belum pernah sekalipun menjadi juara umum. Alih – alih menjadi juara umum, prestasi UI di PIMNAS pun dari tahun ke tahun semakin menurun. Itulah yang menjadi alasan, mengapa riset di kalangan S1 tidak terlalu berkembang.
Tujuan UI sudah jelas, menjadi world class university. Sudah selayaknya UI mengupayakan segala potensi riset yang ada baik di level mahasiswa S1, S2, S3 hingga tenaga akademik untuk menghasilkan riset – riset terbaik mereka. Hal kecil yang dapat dilakukan untuk meningkatkan prestasi UI di kancah internasional adalah dengan memberi perhatian yang lebih kepada riset mahasiswa S1 dan menggabungkan pengembangan riset mahasiswa S1 ini ke Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat.
Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa riset yang dilakukan mahasiswa S1 bukanlah suatu hal yang utama, sebab pengembangan riset biasanya dilakukan di level S2 dan S3. Namun, tidak ada ruginya bagi UI untuk mengembangkan potensi riset mahasiswa S1 sejak dini dengan pembinaan intensif dan dukungan fasilitas maksimal. Insya Allah, dengan dikembangkannya riset mahasiswa S1, tujuan UI sebagai World Class University bukan hanya impian belaka.
Avina Nadhila Widarsa
Ketua Umum KSM Eka Prasetya UI 2011
Memang secara sekilas, peringkat UI turun. tak dapat dipungkiri memang semakin banyak universitas-universitas lain yang terpacu untuk menaiki anak tangga menuju peringkat puncak.
Salah satu poin memang riset. Terlihat jelas nilai yang diberikan kepada Universitas Indonesia, yakni LO (Low ya artinya?).
Saya baru tahu kalau riset S1 S2 S3 dan akademisi dibedain. Apa benar karena belum dipercaya?
Wah artikel menarik banget nih. Semoga aja dibaca ama para birokrat.
Saya setuju sih klo dibilang S1 diremehkan oleh penyelenggara pendidikan UI sendiri. Dan efeknya jadi gayung bersambut, pikiran mahasiswa S1 pun jauh dari research.
Setuju Bro, sudah saatnya mahasiswa “lebih dianggap” …
wah keren…setuju, setuju..
🙂
saya setuju bahwa riset mahasiswa S1 harus lebih ‘dihargai’, maksudnya tentu saja walaupun mungkin masih baru dalam dunia riset, pembinaan yg tepat tentunya akan memperbaiki kualitas riset mahasiswa S1.
Jika dibandingkan dg UGM dan IPB, memang kuantitas dlm menghasilkan paper (contoh: kasus PKM) mahasiswa UI jauh di bawah. Saya rasa baik pihak kampus maupun mahasiswa harus sama-sama berbenah jika memang kualitas dan kuantitas paper yg ingin dihasilkan meningkat.
Pendanaan riset dari UI utk mahasiswa S1 sangat setuju utk diadakan, selain akan membantu mahasiswa yg kekurangan dana, juga mendorong mahasiswa utk menghasilkan riset yg baik.
ya betul tuh….kalo liat aja IPB yang memang ane sring kesana….masalah fasilitas emang IPB kalah jauh dari UI dan terkesan jelek bgt bhkan wc aja jarang bgt…kampusnya terkesan kotor…tapi liat aj penelitian nya gila abisss,….uang dia buat beasiswa dan penelitian nyata,…ini baru kampus bukan hanya omong doang kayak UI…dari susu formula anti h5n1,ikan bisa semaput ntar hidup lagi…ampeg buah jeruk rasa semangka,dan masih banyak lagi ampeg ditanyain sma anak IPB ,”UI nemuin ap?”…..UI nemuin ce’ ngrokok,isinya ngemal…,kumpul gak jelas…hedon bgt…jadi jangan kalah ama yang lain…
Untuk memulai sebuah budaya riset, perlu dimulai dari mahasiswanya dulu, JANGAN NYONTEK PAS UJIAN.
Ane suka miris, Gan…
Kalau denger ada anak UI mulai dari ujian, lanjut skripsi, dan lulus dengan IPK > 3.0, tapi di dulu pas di kampus terkenal tukang nyontek.
Ada orangnya, tapi bukan anak FE pastinya. Hehe…
di kampus2 unggulan di dunia juga seperti itu kali, apalagi untuk bidang Natural Science, Engineering, and Technology. Kalo mau riset mah gabung sama research group dosen atau mahasiswa pascasarjana aja biar dapet pengalamannya.
jangan lupa juga research itu ujung2nya juga harus dijadiin bisnis. jangan nemuin sesuatu yang ga bisa dijual.