Wawancara Orang Terakreditasi – Tim Medis FORMASI XXI
Farah Diana
“Negeri Impian Bukan Hanya Impian!”
Kalau punya baling-baling bambu, ingin pergi ke mana? Bermacam-macam tempat pasti ingin dikunjungi, ya. Atau tidak, keluarkan saja pintu ke mana saja. Dalam sekejap kita bisa ada di belahan dunia lainnya. Sayangnya, alat-alat seperti itu dan yang lainnya hanya ada dalam sebuah cerita fiksi yang sudah jadi kegemaran banyak orang sejak kecil. Kenyataannya tidak semudah itu.
Dalam perkuliahan, kita harus menghadapi persaingan dalam berlomba mendapat jalan untuk pergi belajar di negara tujuan. Salah satu cara yang nyata dalam mencapainya adalah dengan mendapatkan sebuah tiket yang sangat spesial. Beasiswa. Dan Farah, atau yang biasa dipanggil Riku, adalah salah seorang yang telah berhasil mewujudkannya.
Motivasi itu penting. Bermula dari keinginan yang menurutnya kocak, ingin menonton konser Gazette di Jepang, Farah mendapatkan semangat yang pada akhirnya menuntun pada jalannya ke Jepang. Walau keinginan itu baru muncul ketika berada di kelas 3 SMA, ternyata usaha yang dilakukannya dalam mengenal Jepang sudah dilakukannya semenjak lama sebelum itu.
Tanamkan sejak dini. Hal itu terbukti penting; keinginan Farah untuk bisa pergi ke negeri sakura pada awalnya bermula dari kegemarannya menonton anime saat masih duduk di bangku SD.
Kemudian, datanglah inisiatif untuk membuat rasa suka itu jadi tak sekedar kata-kata. Di bangku SMP, ia mulai sering mencari lagu-lagu Jepang (yang kebanyakan dari anime) lalu dicobanya sendiri mentranslate sedikit demi sedikit kata-kata yang ada di dalamnya. Pertama lagunya didengarkan, lalu dicatat. Dengar, catat. Lalu mulai diterjemahkan. Lho, mengapa sesulit itu? Kan ada internet. Cari saja lirik yang sudah ada terjemahannya. Gampang, kan?
Haha, sayangnya dulu akses internet belum menggurita seperti sekarang. Om google juga belum membuat google translate. Lantas, caranya? Ya, dengan membolak-balikkan halaman kamus. Kata per kata. Kemudian menjadi kalimat. Tekun. Berkat kebiasaannya ini, sudah banyak bentuk grammar yang tak lagi asing baginya ketika belajar bahasa Jepang di FIB UI.
Bahasa Jepang bukan satu-satunya hal yang disukainya. Di samping itu, Farah juga menyukai desain-mendesain. Hobi, mulanya. Mengedit-edit gambar, lalu iseng upload di internet. Hal iseng ini lantas berkembang menjadi sesuatu yang bermanfaat. Farah-lah yang menjadi desainer majalah sekolahnya di SMA. Tak jarang juga ia menjadi bagian dari tim kreatif dalam berbagai acara.
Tak hanya itu, ada banyak lagi hasil karyanya dalam urusan desain. Kegemarannya ini ingin diseriusinya, kalau bisa jadi desainer profesional. Pada semester yang lalu, ia mengambil mata kuliah pemrograman. Susah, sih, tapi ada sebuah prinsip yang dimilikinya. “Karena lo udah milih mata kuliah ini, maka lo bertanggung jawab atas apa yang udah lo pilih.” Dengan berpegang pada itu, ia mengupayakan agar tak terdapat nilai buruk di sejarah perkuliahannya. Baginya, semua yang dijalaninya harus memberi hasil yang terbaik. Tidak boleh tidak, itu harga mati. “Makanya, pilihlah apapun yang kita senengin biar bisa ngejalaninnya dengan sepenuh hati.”
Dengan hati yang deg-degan, Farah berharap agar di Jepang nanti ia bisa mempelajari tak sekedar bahasa. Hal lain itu misalnya ingin belajar mengembangkan diri, juga beragam kebiasaan dan budaya Jepang.
Tak ada pintu ke mana saja yang bisa mengantarkan ke manapun kita mau pergi. Menuju negeri impian memang butuh usaha. Tak harus melalui beasiswa universitas, mungkin, masih banyak cara yang tersedia yang sekiranya tidak kita ketahui. Selalu ada jalan, sisanya tergantung bagaimana usaha kita menjemputnya. Yang penting, jalani dengan sepenuh hati dan berani bertanggung jawab atas setiap keputusan. Insya Allah.
Interviewed and written by Nn – Japanology 2010
Prodi : Sastra Jepang 2008
TTL : Jakarta, 28 Oktober 1990
Web : http://fuyucchi.deviantart.com